[Rewind] Roller Coaster di 2018


Libur telah tiba, libur telah tiba, libur telah tiba~ 

Ayey, kini sudah berada di penghujung tahun! Tapi rasanya masih ada yang kurang kalau belum mengulang beberapa ingatan sepanjang tahun 2018. Warning, postingan ini akan sangat amat panjang. Skip aja kalau nggak mau ya, Beb.

Hm mari diam sejenak... seingat saya 2017 hadir sebagai tahun dengan bentuk kurva yang menjulang di akhir. Meski ya di sepanjang tahunnya ada garis naik turun yang cukup drastis, tapi semuanya benar-benar berubah di akhir tahun. Dan itu juga yang menjadi pemicu 2018 saya rasanya seperti naik roller coaster. 

Tangis, tawa, kecewa, bahagia, semuanya berkumpul jadi satu di tahun ini. Semua perasaan itu ada yang terjadi dalam bulan yang berbeda, dan nggak jarang terjadi dalam satu bulan yang sama. Kejutan-kejutan manis datang sebagai harapan, tapi beberapa kejadian miris yang tak terduga sempat membuat saya berkali-kali tersandung bahkan terjatuh. Namun beruntungnya, saya masih punya mereka-mereka yang membantu bangkit dan kembali tegak. Meski memang kadang tertatih dan merasa lelah dengan terlalu.

Naik turun 2018 benar-benar membuat saya semakin banyak belajar, terutama tentang kepercayaan dan persahabatan. Dimulai dari Januari yang diisi dengan kedatangan Kak Indi ke Jakarta. Dan membuat saya diperkenankan jadi bocah beberapa hari karena berasa punya kakak perempuan sungguhan. Padahal mah mainnya nggak jauh, cuma ke Sea World. Yaelah standar nggak? Tapi tanpa sadar semuanya bermula dari sini.


Manusia satu ini yang akhirnya membuat saya lebih percaya bahwa didengar juga kita perlu. Januari selain diisi racun drama Korea dari Kak Indi, saya juga coba-coba jadi seseorang editor. Nggak jago, belum jago, belum ada apa-apanya, tapi dikasih kepercayaan sebesar itu membuat semangat saya untuk belajar terus bertumbuh. Sebuah kejutan manis pertama yang mengawali kejutan berikutnya di bulan Februari, salah satu bulan yang menjadi highlight saya tahun ini.

Lebih dari enam tahun lalu saya pernah bermimpi dan berdoa dalam hati untuk bisa duduk di Gramedia Matraman. Bukan sebagai pengunjung, tapi sebagai seseorang yang bercerita tentang buku yang ditulisnya. Dan Alhamdulillah-nya, di Februari 2018 hal itu terwujud. Ada rasa haru, terkejut, serta banyak bahagia yang memenuhi saya kala itu. Bahkan sampai detik ini, saya masih merinding kalau mengingat kisah sepanjang perjalanannya. Satu mimpi terwujud tanpa pernah disangka, membuat saya semakin percaya bahwa Tuhan akan selalu wujudkan doa umatNya meski waktunya tak bisa diprediksi.


Awal tahun 2018 memang penuh dengan kejutan-kejutan manis yang membuat saya terus-terusan mengucap syukur. Pun begitu halnya di bulan Maret. Untuk kali pertama di hidup saya, Makassar menjadi pulau di luar Jawa yang berhasil di kunjungi seorang diri. Literally sendirian, bukan karena study tour yang pernah saya lakukan zaman dulu sekolah haha. Mungkin buatmu biasa, tapi buat saya ini pencapaian yang luar biasa.

Karena ajaibnya, perjalanan saya waktu itu direstui oleh Ibu saya yang biasanya melarang saya pergi jauh sendirian. Padahal waktu itu saya hanya berbekal kenal dengan teman-teman Tumblr, meski memang punya saudara jauuuuuuh sekali di Makassar, tapi beberapa hari saya di Makassar hanya bertemankan mereka yang baru pertama ketemu. Kecuali Kak Indi tentu saja~~~


Kalau Januari sampai Maret jadi hadiah saya untuk membuat diri bahagia dengan mencoba hal dan pengalaman baru. Maka April kembali jadi hari-hari saya berkutat dengan kesibukan untuk melahirkan Elegi Renjana bagi teman-teman pembaca. Dan ya tentu saja, membuat saya kembali mengakrabkan diri dengan tidur pagi dan isi kepala yang tak bisa rehat barang sejenak.


Namun rasanya hal itu bukan kelelahan jika kemudian dibalas dengan Mei yang penuh dengan sukacita karena saya bisa terbang kembali ke Makassar untuk jadi salah satu orang yang akan bercerita di MIWF (Makassar International Writers Festival). Mau nangis lagi kalau ingat hari itu, mengingat 2 tahun sebelumnya saya selalu bercita-cita ingin ke sana. Nggak lain nggak bukan karena ingin merasakan ambience-nya festival literasi di negeri sendiri.

Bulan lahir saya memang jadi highlight termanis sepanjang 2018, karena di bulan Mei pula saya ditawarkan  untuk membuat story video clip lagu terbarunya Aldy Maldini "Kiamat Kecil Hatiku." Rasanya masih nggak nyangka bisa kerjasama dengan mereka yang notabene di luar ranah saya (re: penerbitan).


Hidup kalau isinya manis aja, memang harus sedikit dicemaskan untuk hari esok. Karena ya, setelah diberikan hal menyenangkan sejak awal hingga hampir pertengahan tahun, Juni berubah menjadi bulan paling ter-asdfghjkl. I became overwhelmed by the disappointment towards certain people. 

Waktu itu sensitif saya masih ada di kadar awal memang, namun sudah bisa bikin saya super cranky. Beberapa hari saya bisa jadi anti sosial sekali, malas untuk berkomunikasi dengan siapa pun bahkan terlalu khawatir untuk keluar kamar. Tapi ada juga satu dua hari bahkan seminggu penuh, di mana saya rela tidur hanya satu dua jam untuk menyelesaikan beberapa deadline yang rasanya begitu menyenangkan meski underpressure. Mood saya berubah-ubah di bulan Juni, meski ya tetap ada yang bisa disyukuri dari rezeki yang kemudian datang di bulan tersebut.

Hingga kemudian Juli membuat saya mau tidak mau harus menyudahi segala macam rasa nggak jelas yang ada, karena harus menyelesaikan beberapa urusan yang kalau boleh jujur rasanya malas dilanjutkan. Nggak lain dan nggak bukan, penyebabnya karena saya yang terlalu enggan untuk kembali menurunkan ego pada seseorang yang selalu saja mau menyingkirkan dengan semua kelicikannya. Playing victim adalah kemahirannya, dan saya malas harus melihat semua omong kosongnya waktu itu. 

Tapi ya, akhirnya saya mau nggak mau tetap mengalah. Dengan berbekal keyakinan bahwa Tuhan titipkan pelajaran di semua kejadian. Dan hal yang membuat mood setidaknya membaik adalah diberi kesempatan mengisi kelas menulis online MDK bersama dengan Uda Ivan Lanin. Ya subhanallah rasanya, setelah sebelumnya sudah sempat melihat beliau di MIWF. Jangan harap foto, karena Bella anaknya gitu, nggak pernah mau foto sama idola wkwk.

Agustus kembali hadir dengan senyumannya yang membuat saya deg-degan namun belajar bahwa ekspektasi harus diletakkan pada titik terbawah. Iya, nyaris, si novel biru akan divisualisasikan. Namun memang belum jalannya, sehingga atas beberapa alasan, hal tersebut ditunda. Hmmm, doa terbaik aja ya sayang-sayang ~

Mungkin Agustus mengajarkan saya banyak rasa ikhlas dan bersabar. Tapi ternyata itu belum seberapa, ketika sampai di akhir bulan dan beranjak ke September. Bulan sembilan adalah bulan di mana saya nggak mau untuk mengulangnya lagi. Cukup sekali aja seumur hidup, cukup untuk merasa kecewa yang sebegitunya pada orang terdekat. Yang dengan kerennya berhasil menghabisi semua kebaikan dan rasa percaya saya. Didorong, dikhianati, ditikam dari belakang sama teman sendiri yang jago playing victim tuh rasanya kayak ditampar. Lebay ya? Tapi sungguh, saya nggak nemu kata yang lebih pas untuk menggambarkan perasaan saya waktu itu.

Semua hal rasanya menguap, kenyataan demi kenyataan yang saya dapat membuat saya semakin jatuh terluka bahkan berujung dengan munculnya simtom-simptom depresi. Mulai dari tidur gelisah, khawatir yang berlebihan dan hal lainnya lagi yang sudah cukup saya simpan saja sendiri. Hal itu terus terjadi sepanjang September hingga kemudian saya lelah, sebegitu lelahnya menjadi manusia.
Hingga kemudian di bulan Oktober saya menemukan coping terbaik untuk mengatasi kejenuhan saya akan rasa capek itu. Dan tahu apa yang terjadi? Saya menemukan titik balik dan membawa saya ke rasa seperti habis patah hati dan kecewa berkali-kali sama orang yang sama. Terus dengan bodohnya selama ini saya nggak sadar bahwa manusia itu, nggak worth it buat ditangisin apalagi kehadirannya dianggap ada dan menganggu laju saya.

Berbenah dan perubahan besar-besaran terjadi pada diri saya di bulan Oktober. Mungkin ada banyak sisi diri saya yang retak bahkan hancur, tapi saya sadar jika masih bisa bernapas, berarti Tuhan masih sisakan saya sisi yang kokoh untuk menopang dan terus berjuang. Dan puncaknya adalah saya kembali melanjutkan passion saya dalam menulis. Meski harus berjuang dengan semua kehesemehan yang sudah terjadi, saya sadar bahwa saya tidak akan kalah hanya karena pernah membantu orang yang salah. Namanya juga hidup, yang baik bukan berarti berwujud teman, pun yang jahat bukan selalu musuh. Maka nikmati saja selagi bisa, dan tetap berjalan karena bumi masih berputar.

Setelah memulai Oktober dengan pergulatan batin pun serangkaian kejadian untuk melanjutkan Keping Ingatan, saya akhirnya berhasil rehat sejenak ke Jogja di bulan November. Liburan? Bukan kayaknya, tapi lebih cocok disebut pulang ke rumah kedua. Karena selama di sana, saya nggak datang ke tempat-tempat wisata selain Ratu Boko. Saya dan Kak Indi hanya menghabiskan waktu di kamar hotel, makan tteokbokki dan nonton bioskop di Amplaz, sepedaan di Malioboro, isi perut di Raminten, hening di Affandi, berisik di Trans Jogja, motoran di tengah padat Jogja dan sederet hal sehari-hari lainnya yang seolah hanya pindah tempat ke Jogja sejenak.

Meski ya, menjelang hari kepulangan drama kehidupan kembali berlanjut dan membuat saya hampir hilang kendali pada diri sendiri. Tapi lagi-lagi saya beruntung masih punya orang-orang yang memeluk. Dan karena itu pula, saya tetap berusaha keras untuk bisa melewati bulan sebelas dengan sisa tenaga dan rasa percaya yang ada.

Di setiap tahun, Desember adalah bulan yang selalu saya tunggu-tunggu. Ambience-nya sih yang sebenarnya saya nantikan. Selain karena ada banyak tayangan anak-anak di tv, juga karena adanya hawa liburan, serta wangi-wangi damai menjelang akhir tahun. Saya selalu merasa Desember jadi penanda bahwa perjuangan baru akan dimulai lagi, pun sudah waktunya untuk menyudahi apa-apa yang sudah seharusnya berakhir. 

Keping Ingatan berakhir di bulan ini, beberapa deadline juga berhasil dituntaskan, meski beberapa lainnya memang masih setengah jalan. Rumah baru untuk tulisan dalam jagat maya pun akhirnya berhasil berlayar. Tumblr kembali dibuka blokirnya, beberapa resolusi pun sudah sepenuhnya dibuat dengan senyum mengembang. Serta nggak lupa, di bulan Desember saya meluangkan waktu untuk bertemu dengan kawan-kawan lama.


Sebenarnya itu adalah momen penanda, bahwa saya siap untuk lebih terbuka dan menerima diri dengan sebegitu baiknya. Bahwa sudah waktunya saya kembali tersenyum, melihat semesta yang kadang suka melucu dengan semua kejadian yang menjengkelkan pun menyenangkannya. 

Saya nggak menyangka bahwa 2018 saya sebegitunya naik turun. Mood berubah-ubah, emosi kadang di luar ambang batas normal, peluh dan air mata bahkan seolah melekat, bahkan tawa kadang susah gambarkan bahagia. Begitu banyak pelajaran dan pengalaman di tahun ini, tapi semoga saya nggak kapok untuk terus berjalan.

Terima kasih 2018! Terima kasih untuk semua kejutan manis bahkan kejutan-kejutan lainnya yang tidak terduga. Semoga pelajaran di tahun ini, bisa mempermudah tahun 2019 untuk disikapi, dianalisa dan dimaknai. Terima kasih untuk diri sendiri yang bertahan sejauh ini. Love!


Lay Low~



Selamat siang di hari yang banyak dihabiskan orang-orang untuk belanja online!

Akhir tahun sudah tinggal menghitung hari tapi rasanya masih banyak hal yang mendadak buru-buru dikejar untuk rampung. Saya sebenarnya belum berencana update sesuatu di sini. Tapi berhubung satu deadline yang semula diperkirakan akan rampung di akhir bulan sudah disetorkan kemarin. Jadilah saya punya sedikit kelonggaran di kepala (meski nggak lama, karena paginya langsung bikin heboh diri sendiri lagi hehe)

Deadline saya nggak lain ya naskah, tungguin aja, wangi-wanginya akan ada di tahun depan! Kalem, siapin tabungan untuk bulan penuh cinta nanti pokoknya. Tahun belum berganti tapi rasanya kalender 2019 sudah hampir habis buat saya.

Kenapa? Karena kalau boleh jujur mungkin tahun depan akan jadi tahun di mana saya kembali rajin menerbitkan buku (bismillah, semoga aja sanggup dan ada yang bersedia menerbitkan haha.) Anggaplah sebagai aksi balas dendam saya setelah di tahun 2018 kebanyakan leha-leha dan hanya menghasilkan Elegi Renjana semata. Meski memang, proyek lain di balik itu Alhamdulillah-nya lebih dari cukup. 

Akhir tahun ini seharusnya dalam prediksi saya ada satu judul lagi yang bisa dikeluarkan. Tapi tahu lah ya manusia hanya bisa berencana, sisanya tergantung rencana di kepala-kepala manusia lainnya pun juga izin-Nya. Alhasil judul tersebut kembali ditunda, hingga entah kapan~

Adakah saya punya target menulis? Sebenarnya nggak ada, toh buat saya menulis adalah kegiatan menyalurkan hobi. Hitung-hitung menyembuhkan diri sendiri juga dengan melihat lewat sudut pandang yang lain. Meski nggak ada target menulis, kadang saya merasa bersalah aja kalau doing nothing di antara sela kegiatan sehari-hari. Karena buat saya, usia 20an itu masih amat bisa untuk dimaksimalkan kinerjanya. Jadi sungguhlah, sedih rasanya kalau waktu hanya habis untuk leyeh-leyeh.

Saya mau cerita salah satu lagu yang akhir-akhir ini selalu berhasil ngebuat saya lebih sering bilang, "yaudahlah ya."

Judul lagunya sama kayak postingan ini; Lay Low yang dinyanyiin sama Benjamin dan Conro. Sebenernya 'yaudahlah' yang saya maksud itu lebih kepada menerima apa yang sudah seharusnya terjadi dan nggak ambil pusing lagi dengan hal-hal tersebut.

Where we can lay low

Where we can get high
Where we can run away, we can go today
We can leave the world behind
So honey, let's go
Let's do what we lust
Do all the things that we've been dreaming of

Mungkin liriknya nggak pas-pas banget untuk menggambarkan apa yang saya rasa. Tapi musiknya setidaknya bisa  menggambarkan ke temen-temen, ketenangan yang saya dapat saat muter lagu ini menjelang tidur dengan temaram lampu kamar. Plis kebayang kan ya? Hehe.

Entah kenapa makin ke sini saya ngerasa ada banyak banget hal di masa lalu yang sering bikin kita ngerasa males untuk ngelangkah lagi bahkan melangkah lebih jauh. Entah ketakutan untuk merasakan hal tak enak yang serupa, entah juga karena merasa bahwa ya buat apa sih dilakuin lagi kalau ujungnya sama-sama aja.

Saya juga sempet berpikiran begitu, beberapa kali, terlebih ketika ada banyak hal yang membuat saya kecewa bahkan ngerasa hopeless. Tapi saya percaya kalau itu semua proses yang memang harus dijalani, sampai nanti akhirnya akan ketemu momen untuk sadar bahwa ya buat apa sih ngerasa gitu terus. Momen di mana, kita akan tahu apa sih yang dicari dan apa yang dibutuh. 

Tapi itu nanti, saat momen ketakutan dan momen ter-gloomy sepanjang sejarah hidup udah berlalu dan membawa kita ke sebuah titik balik untuk lebih mengenal diri sendiri. Yang ujungnya adalah kesimpulan bahwa hidup pilihannya hanya satu, tapi cara untuk milihnya ada dua; menerima atau lari karena terus menolak.

Eh bentar deh, makin berat ya bahasan tulisan ini kalau dilanjutin, saya belum siap kalau harus nulis berat-berat. Jadi udahan aja deh! Tapi sebelum itu saya mau bilang, kadang kita tuh terlalu nyaman ada di lingkungan itu-itu aja sampai lupa untuk kenal dan cari tahu apa maunya diri. Oleh karenanya, sering-sering kasih jeda dari sekitar. Bukan untuk menarik diri, hanya saja lebih ke kembali memahami apa maunya hati dan untuk apa hidup masih dijalani :)

Boko, Senja dan Cinta yang Tak Sampai


Selamat menjalani hari terakhir di bulan November! Cie udah Desember, udah wangi liburan nih kayaknya. Baiklah, kalo boleh jujur saat ini saya sedang terlalu penuh dengan energi setelah mendengar banyak kisah dari teman-teman terkait urusan keluarga. Yoi, di akun yang baru itu lho~ Promo terus ya, Bell ck!

Iya kepenuhan, karena saya percaya kalo energi itu nggak pernah habis sebenarnya, dia hanya berganti dan atau berubah jadi hal lainnya. Salah duanya emosi dan rasa lelah. Istirahat dan ruang jadi salah satu hal yang kemudian dibutuhin untuk mengembalikan lelah dan menetralkan emosi. Harusnya saya juga kayak gitu sekarang. Tapi ya gimana, saya merasa kegiatan mendengar dan didengar harus seimbang. 

Itu kenapa sekarang nekat nge-post dan lagipula ini juga sebagai pembuka dan ucapan, 

"Selamat Berkunjung ke Rumah Tulisanku yang Baru."

Anggap aja rumah sendiri, nyaman-nyamanin aja buat berkunjung ke sini, sampe jadi sayang juga gapapa. Asal jangan minta tanggung jawab kalo nanti udah kepincut hatinya. Nanti saya kewalahan terus dianggap php lagi *eh ini kenapa jadi curhat ya~

Jadi, setelah insiden blokir Tumblr yang mengakibatkan kegiatan menulis rasanya berkurang kecuali deadline naskah. Saya terus mencari gimana caranya menulis lebih produktif lagi, hingga sampai pada keputusan ya udahlah sekalian aja bikin rumah baru. Dan inilah hasilnya, maaf masih banyak kurang tapi semoga tetep bikin betah!

Oke pembukanya kepanjangan, jadi langsung masuk aja ke cerita. Saya lagi ingin cerita salah satu momen di Jogja yang mengantar saya ke pemahaman baru lainnya. Gila ya, hidup tuh emang nggak akan berenti ngasih kita pelajaran kalo kitanya juga mau terbuka dan sedikit lebih merendah.

Boko jadi salah satu tujuan saya untuk menikmati senja di Jogja. Padahal nggak tau gimana cara ke sana dan siapa yang akan nemenin. Pun dari pagi mau nyewa motor semua rental bilang udah nggak bisa. Saya udah seberserah itu untuk kembali gagal menikmati senja di Boko. Untuk ngehibur diri saya cari alternatif lain, nikmatin senja di Parkir Abu Bakar Ali yang di Malioboro itu juga kayaknya nggak masalah. Jangan dikasihanin, ini namanya nggak memaksakan apa yang memang nggak bisa terlaksana.

Tapi Tuhan mah baik, saya percaya dia mewujudkan kebaikannya lewat Kak Indi dan temannya yang rela ngasih pinjeman motor karena nggak bisa ikut jadi penunjuk jalan. Ya emang dasar karena niat ke Jogjanya bukan untuk liburan, jadilah kita bener-bener harus berangkat ke Boko berdua doang. Hanya berbekal GPS dan motor pinjeman, sama satu lagi, keberanian buat tersesat haha.



Ternyata jalan menuju ke sananya baik pergi dan pulang nggak susah-susah banget. Nggak kayak review-review orang-orang di blog yang bilang ini itu. Dan kebetulan saya masih lumayan sedikit ingat daerah di mana saya pernah menghabiskan masa SMP itu~

Sampailah di Boko dengan matahari yang sangat apik dan prediksi bahwa senjanya akan menawan. Pas sampai di atas, ya taulah yaa, udah banyak banget pencari momen yang siap dengan kamera, tripod, dan outfit yang head to toe udah lebih dari sempurna. Tapi namanya juga harapan dan ekspektasi, yang ditunggu-tunggu ternyata nggak dateng secantik yang ada di bayangan. Pun yang ditangkap kamera nggak bisa sesempurna apa yang dilihat langsung.


Kadang gitu, ada beberapa hal yang memang hanya untuk direkam ingatan dan nggak bisa sepenuhnya diabadikan dalam gambar. Foto yang jadi pembuka tulisan ini pun didapat kebetulan (nggak deng, emang dasar tangannya Kak Indi diberkahi Tuhan) dengan saya yang duduk malas-malasan ngeliatin orang yang begitu ramai cari momen terbaiknya. Nggak terlalu banyak usaha, tapi bisa menggambarkan kesimpulan dari apa yang akan jadi inti dari tulisan ini.

Cinta juga gitu kan, ya? Yang kita usaha perjuangin mati-matian malah bertepuk sebelah tangan, dan nggak bisa untuk dipertahanin. Tapi pas lagi berserah dan fokusnya nggak di situ, entah gimana Tuhan malah izinin kita ketemu sama si The One itu. Kadang hidup sepenuh misteri itu, nggak bisa ditebak tapi penuh dengan perencanaan.

Kalo mau lihat fokusnya dari berapa rencana yang berjalan sesuai keinginan dan berapa yang nggak terlaksana, hidup kita cuma akan gloomy aja sepanjang waktu. Sedih mah nggak pa-pa, nikmatin aja, toh nggak akan selamanya. Hanya, nggak usah sampe berlarut, sayang waktu dan sayang kesempatan lain yang bisa dibuat.

Terus bicara tentang cinta yang nggak sampe, saya lupa berapa kali pernah mengalaminya. Yaelah santai dong, masih manusia yang kerap patah akutuh. Kalo dulu sih rasanya dunia runtuh, bawaannya sedih mulu, dan terus bertanya kenapa dan kenapa. Sampe akhirnya saya ada di titik di mana saya percaya, Tuhan itu nggak pernah ngasih patah tanpa ada pesan. Nggak pernah ngasih sedih kalo nggak ada maksud dan tujuannya.

Kemarin, di Boko saya belajar bahwa apa yang kita tunggu dan duga akan seindah harapan, bisa dengan sangat untuk kemudian patah dan nggak berjalan sesuai bayangan. Mau itu mimpi, mau itu tujuan, mau itu kehidupan dan juga pasangan. Karena ya ada banyak faktor yang melatar belakanginya. Entah orang lain, entah keadaan, entah kesempatan, atau apa pun faktor-faktor lainnya. Tapi, terlepas dari apa pun itu faktornya semua sudah diatur kadarnya sama Tuhan.

Mungkin bagi kita kurang, tapi menurut Tuhan udah cukup. Mungkin bagi kita ingin rasa cinta yang berbalas, tapi bisa jadi kata Tuhan tunggu dulu karena bukan sekarang saatnya. Mungkin buat kita, dia yang terbaik, tapi bisa jadi bagi Tuhan kita belum sepenuhnya selesai dengan urusan diri, makanya harus berakhir dengan dipendam dulu saja rasanya.

Dan sekarang saya makin percaya, pilihan itu memang kita yang tentukan, tapi keputusan untuk akhirnya menentukan memang Tuhan yang menggerakkan. Jadi, nikmati ya kalo memang sekarang lagi merasakan cinta yang tak sampai. Gapapa, Tuhan tau kamu butuhnya apa, bukan kamu inginnya apa.


Kayak saya di foto ini. Sebenarnya saya pengin banget bisa foto ala-ala di tengah kayak tuh seleb-seleb hits (nggak biar apa-apa sih, cuma ingin tau sensasinya aja) tapi malah berujung dan diberi kesempatan dapet foto seindah ini tanpa harus berebut momen dengan yang lain. Dan ya ini yang memang saya butuh untuk kemudian bisa berbagi cerita sama kalian. Nah, misalkan apa yang saya ingin terwujud, kayaknya cerita ini nggak akan ada dan hanya berakhir dengan ke-aesthetic-an di feeds semata.

Udah ah, selamat bertamu, ada beribu peluk dan isi kepala bahkan keseharian yang mungkin kamu temukan di sini. Tapi tenang, itu juga bukan sepenuhnya saya. Karena saya yang sebenarnya hanya ada di hadapan Tuhan hehehehe :)







Bongkar Ulang Isi Hati dalam Dear Zindagi [Movie Review]


Director: Gauri Shinde
Writer: Gauri Shinde
Casts: Alia Bhatt, Shah Rukh Khan, Kunal Kapoor, etc
Genres: Drama, Romance  

Wah kacau sih, gatau harus gimana ngegambarin film ini. Sebenarnya udah lama banget nonton Dear Zindagi tapi baru sempat ngulasnnya sekarang. Ancur banget bagusnya, dari segi cerita pun sinematografinya. Duh, maaf nggak bisa biasa aja untuk rekomendasiin film ini buat kalian.

Film india itu nggak selamanya identik dengan nari di bawah pohon, atau nyanyi-nyanyi doang kok. Serius! Banyak film yang bagus dan cukup untuk menampar kesadaran. Salah satunya film ini. Fyi saya suka film India dan nggak malu untuk mengakuinya, kalem, jadi santai aja ya~

Meski genrenya drama, tapi jauh-jauh dari pikiran bahwa film ini akan menye-menye atau bikin menguras air mata karena sedih galau-galau. Karena yang saya rasa sepanjang nonton film ini lebih ke pengalaman dan perjalanan untuk menyembuhkan diri sendiri. Padahal yang lagi diterapi itu si Alia Bhatt, tapi saya sebagai penonton juga ngerasain hal serupa. Kan kan parah banget kecenya huhu. Gauri, thank you for this beautiful story, seriously!

Saya bahas dari jalinan ceritanya dulu yang berawal dari seorang perempuan yang punya banyak ambisi dan mimpi tapi dikelilingi hal negatif dan respon negatif dari keluarga dan lingkungannya. I know that feeling, that's why i love this movie sooooo much. Nggak ada kesan dipaksakan, justru film ini sangat amat alami dan jujur banget untuk pengungkapan alurnya. Mulai dari soal pasangan, ketakutan, kekhawatiran, patah hati sampe ke hal-hal lainnya termasuk masa kanak-kanak.



Secara nggak langsung film ini ngajak kita buat membongkar ulang isi hati dan semua kegelisahan sampe ke akar-akar biar dapet permasalahan dan tau cara menyelesaikannya. Biar kita bisa say hi to life again. Gila nggak? Padahal kita hanya sebagai penonton yang dengerin dialog antara Alia dan SRK tapi udah berasa tamparannya.

Buat saya nggak ada kesan lambat atau buru-buru dalam menggulirkan keseluruhan cerita di film ini. Saya betah-betah aja nonton sambil ngegali isi kepala, bahkan saat udah nyampe ending rasanya bener-bener pecah dan semelegakan itu sampe gamau filmnya berakhir. Saya rasa, banyak orang yang akan jadi berubah cara pandangnya tentang hidup, tujuan, relationship dan perjalanan setelah menelaah semua dialog di film ini.



Tema umum yang diambil sebenarnya sederhana, tapi ya mana ada sih hidup yang sesederhana itu?  Terlepas dari semua sinematografi, latar, kostum dan segala printilan lainnya yang bener-bener cantik. Film ini nggak akan bernyawa, kalo Alia Bhatt nggak sebegitu kerennya mengeluarkan semua kemampuannya untuk me"nyata"kan karakter Kaira. Dan untuk SRK nggak mau komentar apa-apa lah ya, karena alasan awal saya nonton Dear Zindagi ya emang karena dia, dan yaaa dia kembali dengan aktingnya yang super!~~



Udah ah, nanti jadi kebanyakan basa-basi. Overall, kalian harus sih nonton film ini. Terus abis itu cerita ke saya gimana pengalamannya. Karena, saya gabisa nggak ngasih angka 9.5/10 untuk film ini! Huhu, i can't handle my feelings.



Me-/Di-, Kecewa, -kan



Plant an expectation; reap a disappointment -Elizabeth Gilbert, Committed-

Mungkin kamu melakukan sesuatu hal dengan tujuan baik, tapi belum tentu diterima sebagai hal yang baik juga oleh orang lain. Mungkin niatmu melakukan sesuatu hal adalah A, tapi orang lain bisa menganggapnya dengan A pula, atau B hingga bahkan Z. Sebab setiap manusia memiliki pola pikirnya masing-masing yang tak akan sama satu dengan lainnya. 


See? Apa yang kamu lihat tak selamanya seperti yang tampak. Apa yang kamu dengar tak selamanya seperti apa yang terucap. Yang nyata saja tak bisa dengan gamblang kamu pahami maksudnya, apalagi dengan hal-hal yang memiliki tersirat, bukan?


Bicara perihal kecewa, sadarkah kamu bahwa orang-orang yang paling berpeluang mengecewakanmu adalah orang-orang yang sangat amat kamu kenal, begitu juga sebaliknya. Mengapa katamu? Begini, harapanmu muncul--entah kamu sadari atau tidak--ketika kamu sudah cukup dekat dengan seseorang.

Dengan kamu mengenalnya kamu merasa sudah cukup tahu bagaimana sifat dan sikapnya, bagaimana dia kepadamu, dan bagaimana dia bisa memenuhi apa-apa saja yang kamu utarakan padanya; ekspektasi dan harapan. Dan dengan begitu harapan tercipta tanpa tedeng aling-aling, ekspektasi membumbung hingga ke langit. Hingga lupa menjejak, hingga lupa memberikan batas toleransi.

Kamu ingat kan, bahwa manusia memiliki kesempatan yang cukup besar untuk mengecewakan atau bahkan dikecewakan? 

Mungkin beberapa dari kita sering sekali merasakan kecewa. Bahkan menimbulkan trauma dan luka atas kecewa itu sendiri. Hingga akhirnya terlalu lelah untuk sekadar bertegur sapa. Terlalu letih jika harus bertatap muka. Atau bisa jadi air mata mengalir begitu saja jika ada yang berkaitan atau membuat kamu ingat dengan kejadian lampau. Ketika segala rasa bahagia, ketika segala hal-hal menyenangkan yang pernah dilalui bersama terkalahkan oleh setitik kecewa yang terjadi-entah disengaja maupun tidak. Pada intinya, kecewa menutupi segalanya.

Tidak ada yang lebih bersalah ketika kata kecewa terlontar. Setiap yang mengecewakan atau yang merasa dikecewakan memiliki porsi salahnya masing-masing. Kecewa ada karena yang merasa dikecewakan menaruh harapan dan ekspektasi berlebih kepada yang mengecewakan. Hingga fokusnya hanya pada hal itu saja-pada harapan yang inginnya bisa sesuai. Lalu lupa dengan rasa sayang yang sebelumnya tercurah begitu besar. Lupa dengan setiap detik waktu yang pernah bergulir dengan keceriaan. Dan yang tersisa hanya kejelekan-kejelekan yang sebetulnya tak perlu dibesar-besarkan. 

Kecewa hadir pada mereka yang disebut mengecewakan karena ada janji yang mungkin luput dari ingatan. Ada perkataan yang terlontar tanpa pernah terpikirkan akibatnya beberapa saat kemudian. Kecewa bukan hanya terjadi dengan orang lain, kecewa juga bisa dengan diri sendiri. Dan sering kali orang-orang yang merasa kecewa dengan dirinya sendiri, lupa pada apa-apa saja yang pernah mereka lakukan untuk dirinya. Yang menjadi fokusnya hanyalah tidak mampu memenuhi angan dan mimpinya pada saat itu. 

Kamu harus ingat, manusia itu makhluk dinamis-akan selalu ada yang berubah, sadar ataupun tidak

Lalu apakah kecewa salah? Apakah manusia tak boleh untuk kecewa? Tentu saja kecewa tidak salah, tentu saja kecewa itu boleh, menurut saya kecewa itu manusiawi. Kecewa adalah reaksi atas aksi yang tidak sesuai dengan harapan. Dan kamu harus lebih dari sekadar ingat,

Having a broken heart. It means we have tried for something -Elizabeth Gilbert, Eat Pray Love-

Setidaknya dengan merasa kecewa, merasa terluka, merasa sedih, kita tahu kita sudah melakukan sesuatu hal. Kita tahu kita sudah bergerak, meski tak sesuai dengan harapan. Lalu apa yang salah? Apa yang tidak diperbolehkan? Merasa kecewa yang berlebihanlah yang tidak diperbolehkan. Terlebih jika rasa kecewa membuatmu enggan untuk kembali melangkah, membuatmu terkungkung dengan penyesalan dan kesedihan semata, tentu itu yang salah.

Dulu sekali saya pernah menulis bahwa bisa saja orang yang melukai kita adalah orang yang bisa menyembuhkan luka kita juga. Who knows? Jika kecewamu tercipta karena orang lain ataupun karena dirimu sendiri. Saya hanya mampu berkata, berdamailah dan mulailah memaafkan dirimu sendiri. Semoga sesudahnya, kamu bisa memaafkan kecewa yang tercipta karena orang lain. Dan mulailah untuk melepaskan segala rasa kecewa, sakit maupun luka yang pernah tercipta. Semoga setelahnya kamu mampu untuk berdamai dan menerima segala rasa, apa pun itu.

Beberapa hal memang tak bisa kita ketahui sebab maupun asal muasalnya. Dan yang bisa kita lakukan hanya perlu menerima apa-apa saja yang sudah, telah dan akan terjadi. Kamu hidup bersama harapanmu, bersama harapan yang harus memiliki batas. Bersama harapan yang sepenuhnya hanya bergantung kepada Tuhan, bukan pada ekspektasimu atau bahkan pada orang lain. 

Seperti kata Bruce Lee, “I’m not in this world to live up to your expectations and you’re not in this world to live up to mine.” 

Selalu ingat bahwa apa yang terjadi pada dirimu saat ini, baik sedih maupun bahagia adalah skenario terbaik dari Tuhan untuk hidupmu. Selamat melepaskan rasa kecewa-baik dikecewakan maupun mengecewakan. Teruslah menjadi pribadi yang lebih kuat dari hari kemarin, teruslah menjadi pribadi yang bisa memetik pelajaran dari setiap kesalahan di perjalanan, karena You Only Live Once :)))

Nggak Semua Hal Menjadi Baik Kalau Diulang, When We First Met [Movie Review]

Director: Ari Sandel
Writer: John Whittington
Casts: Adam Devine, Alexandra Daddario, Shelley Henning
Genre: Romance, Comedy, Fantasy

Sebenarnya nggak ada rencana mau nonton film ini, hanya bermodalkan iseng aja karena butuh hiburan dan kebetulan genrenya Romcom.

Ceritanya sendiri berkisah tentang seorang pria yang jatuh cinta sama sahabatnya sendiri--yang kebetulan akan segera bertunangan. Baik, kisah klise yaaa teman-teman. Lalu di balik semua keputusasaannya mempertanyakan kenapa bukan dia aja, kenapa ini dan kenapa itu. Dia berkesempatan untuk balik lagi ke masa lalu dan mengubah apa yang bisa diubah.

Entah dari perkenalan, dari caranya memperlakukan si sahabat dan sebagainya. Intinya mengubah situasi sampai si sahabat ini bisa melihat dia lebih dari sekadar teman aja. Komedinya di beberapa bagian bikin mikir, nggak  bisa yang langsung pecah ketawa. Meski ya, beruntungnya ada bagian yang bisa bikin ngakak. 

Sebetulnya film ini cukup bisa dieksekusi dengan baik, hanya saja sewaktu Noah time traveling ada bagian-bagiannya yang kurang rapi dan harusnya bisa untuk dipoles lagi. Karakternya sendiri lekat banget dengan kita. Apalagi buat kalian-kalian yang merasakan apa yang dirasa si Noah, keras kepalanya mah dapet banget!

Tapi di atas semua kekurangannya itu, pesan yang ingin disampaikan tuh sampai dengan amat baik. Nggak percaya? Gih nonton deh. Sekalian saya mau bilang, sebesar apa pun kita ingin dan bisa mengulang apa yang pernah terjadi sehingga bisa mengubah akhir cerita agar lebih baik. Maka, sebesar itu juga kemungkinan akhir cerita nggak lebih baik dan lebih indah dari apa yang saat ini dirasakan. 

Selamat menonton film di angka 7/10 ini!


There's Always a Reason, On Your Wedding Day [Movie Review]

Director: Lee Seok Geun
Writer: 
Lee Seok Geun
Casts: Bo Young Park, Young Kwang Kim, Jae Rim Song, etc
Genre: Romance


Mau nonton kisah cinta yang realistis? Bukan yang ftv, bukan yang selalu happy ending karena hidup nggak selamanya bahagia doang. Mau lihat sesuatu yang mungkin dekat banget dengan kehidupanmu atau bahkan kisah cintamu? Coba deh tonton film ini!

Saya nggak akan banyak cerita tentang film ini apalagi ending-nya. Karena ya, dari story line nya aja udah ketebak akan seperti apa dan bagaimana alurnya. Tapi ya dasar Korea, penggambaran detailnya dan hal yang semula cheesy banget kalau dilihat di ftv, nah di mereka tuh enggak gitu jadinya. Tetap bisa classy walau sebenarnya di ftv udah sering banget kita lihat dan kita rutuki.

Keseluruhannya manis, lucu, bikin senyum-senyum, sedikit menampar, tapi juga akan bikin sesak dan mungkin bikin nangis. Yaaa sebanyak ekspresi dalam kehidupan, sebanyak itu juga semuanya menyatu di film ini. Tenang, film ini nggak hanya akan bahas cinta kok. Karena masih ada bahasan tentang mimpi, perjuangan dan kegagalan untuk menggapainya.

Ada beberapa hal yang sampai detik ini masih melekat di saya. Salah satunya adalah pelajaran bahwa, "Nggak ada orang yang datang ke hidup kita tanpa memberikan pelajaran apa-apa. Nggak ada kejadian yang terjadi tanpa punya maksud dan tujuan. Apa-apa yang dikira terbaik, belum tentu selamanya memberi kebaikan. Begitu juga sebaliknya, tergantung mau lihat dari sisi yang mana."

Intinya gitu deh, saking nggak ngerti lagi mau bilang apa karena yaudahlah yaaa cepet nonton aja. Biar lega sedikit kalau memang butuh sedikit tamparan manis yang bikin menetes haru. Dan baiklah, karena udah dibikin nggak nangis tapi lebih dari sekadar sesak sama film ini, maka ada hadiah angka 8/10 !


More Than Love, A Star is Born [Movie Review]

Director: Bradley Cooper
Writers: Eric Roth, Bradley Cooper, Will Fetters (screenplay by), William A, Robert Carson (based on story by)
Casts: Lady Gaga, Bradley Cooper, Sam Elliot, etc

Genres: Drama, Music, Romance

Maybe, this is the best movie i've ever seen this year!

Setelah penantian panjang untuk rilisnya. Sengaja pakai nggak nonton trailer apalagi ulasan yang sudah lebih dulu nonton. Karena sebegitunya nggak mau naruh ekspektasi apa-apa. Dan begitu ada kesempatan nonton, baiklah, breathtaking sekali saudara-saudara. Heartbreaking juga tapi dibalut dengan keindahan. Kayak gimana tuh? Ya pokoknya nonton aja huhu.

Mengutip kata-katanya Lady Gaga, "You just need one person to believe in you." Gue sangat amat sepakat hal itu terbukti di film ini. Duh ini gimana, mau ngulas aja masih emosyenel. Baiklah mari kembali lagi ke lantai dansa *ehgmn

ASIB sampai detik ini masih benar-benar terbayang semua adegannya kalau kembali memutar soundtrack-nya. Gila sih, sebegitunya membekas. Musiknya aja udah seindah itu, dan sekhusus itu dibuatnya. Itu baru musik, belum waktu dinyanyiin dan penghayatan lagu di filmnya. Se-powerful itu dan nggak ngerti lagi deh kenapa suara Bradley Cooper pun keren padahal doi bukan penyanyi.


Jangan tanya soal chemistry kedua tokoh utamanya karena semua adegannya terasa alami banget bahkan sampai menusuk ke hati. Kalau ada yang bilang ini timeless love story ya memang benar. Karena, biarpun udah di re-make berkali-kali, film ini akan tetap petjah!

Cinta memang masih jadi bahasan utama, tapi di samping itu ada juga tentang perjuangan, tekanan, mimpi, kesempatan, sakit hati bahkan depresi. Pokoknya film ini penuh dengan ragam komponen kehidupan yang dikemas padat tapi tidak membosankan. 

Visualnya gimana? Ya gitu, bikin merinding selama nonton. Bahkan pas di awal aja udah berasa nonton konser langsung. Semuanya terlalu indah buat dilewatkan, padahal hanya senja di Arizona aja udah bikin remuk dan penuh rasa. 

Nggak ngerti lagi sih, mungkin ini subjektif tapi serius, ASIB benar-benar sayang kalau dilewatkan. Alurnya memang nggak meletup dan kaya plot twist, tapi karena alur yang mengalun itu juga kita jadi terhanyut bahkan lupa udah terbawa perasaan sampai akhirnya nggak sadar udah nangis.  

Sudahlah, mending nonton aja. Dan buat gue rasanya, hanya ada angka 9.5/10 untuk film ini!

Terlarut tapi Bukan Berlarut


Hanya sekadar ingin bertanya, pernahkah terlintas di benak kalian untuk sekedar menghentikan hari? Bukan cuma detik waktu, tapi sehari penuh sebab terlalu penuh saja rasanya. Terlebih ketika seluruh orang-orang yang dipercaya mulai menghilang, satu demi satu. Tak ada yang tersisa, sama sekali. Dan akhirnya kepercayaan diri mulai mengikis.

Saat ini yang tersisa tinggal pena di atas kertas. Masih tak tahu mau menulis apa. Sedikit rumit dengan perkara yang tersisa. Akhirnya hanya menyalakan laptop dan mulai tenggelam dalam beberapa kejadian. Beberapa waktu lalu, saya menghabiskan waktu di sebuah cafe yang kerap ramai bila sore menjelang. Duduk saja diam membaca buku. Melepaskan seluruh alat komunikasi yang terlalu sering digenggam. Ingin membunuh waktu tapi nampaknya aku yang sedang dibunuh oleh waktu.

Di tengah-tengah ramai yang teramat nyata. Sudut mata saya terpaku pada anak kecil–mungkin usianya sekitar 5 tahun–yang sedang asik berceloteh dengan ayahnya. Binar matanya tak mampu disembunyikan. Dia sedang bahagia, teramat sangat. Mungkin menceritakan hal apa saja yang dia alami di sekolah, pikir saya. Senyum saya mengembang tapi perlahan memudar. Ada yang menyentak di relung hati. saya memalingkan muka, enggan untuk sekadar menoleh lagi. Bukan tak turut bahagia, tapi entah mengapa ada yang diam-diam membuat nyeri.

Bagaimana rasanya bercerita dengan riang seperti itu? Bagaimana rasanya jatuh cinta pada lelaki pertama yang kamu temui di muka bumi? Bagaimana rasanya memiliki kenangan atas masa kanak-kanak yang tak perlu banyak pikiran untuk memahami? Di tengah beragam pertanyaan yang menyambangi kepala, ada yang tertahan di sudut mata. Ingin jatuh, tapi ego terlanjur menjadi juara.

Saya rindu, merindukan hal lalu yang tak pernah saya rasakan. Saya tersenyum getir, menertawai diri sendiri, bagaimana bisa rindu jika merasakan saja tidak. Kerap kali berpikir untuk tidak melakukan hal yang sama bila kelak menjadi orang tua, tapi tetap saja manusia hanya bisa berencana, penentu sepenuhnya adalah Dia.

Bila ingin, bisa saja saya murka dengan segala kesedihan yang datangnya bertubi-tubi. Dengan segala semesta yang seolah berkonspirasi membuat saya iri setengah mati. Tak memiliki orang tua yang utuh. Tak tahu rasanya disayang dan memiliki sayang yang seperti anak kecil tadi. Kekecewaan yang kadang dipendam seorang diri, rasa iri yang diam-diam kerap menghantui atau bahkan hal lainnya yang susah untuk dijelaskan. 

Tapi untuk apa marah atas apa yang sudah tergariskan? Untuk apa membuang energi dengan menyimpan amarah serta dengki berkepanjangan? Saya tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Bukan munafik, hanya saja memang rasanya tak perlu menyalahkan siapa atau apa. Sebab yang sudah digariskan oleh-Nya tetap akan terjadi meski sekuat apa pun kamu mencegahnya.

Lalu kembali dibuat bertanya, apa yang paling menyedihkan dari sebuah kehilangan sebab kepergian? Apa yang paling membuat rindu dari sebuah kepunyaan tapi tak pernah tergenggam sempurna? Jadi apa yang paling menyedihkan dan sesekali membuat rindu? Orangnya? Memori kenangan akannya? Atau waktu yang berlalu saat dia masih ada di sekitar? Atau bahkan kesempatan yang seharusnya ada tapi tak pernah diwujudkan?

Atas sebuah kehilangan sebab kepergian akan selalu hadir rindu yang tak berkesudahan. Tentang orangnya, tentang momen kebersamaan, atau juga tentang sebuah kebiasaan, dan bisa jadi tentang hal-hal yang belum pernah terjadi tapi terlalu sering diinginkan terjadi.  Perihal mengikhlaskan adalah kewajiban yang memang sudah sepantasnya untuk dilakukan. Sebab apa? Kita terlahir sendiri, memilih jalan kehidupan dan serangkaian pilihan di dalamnya atas alasan diri sendiri (meski pihak luar tak mungkin tak memengaruhi), dan pada akhirnya muara dari segalanya adalah kita kembali kepada-Nya pun sendirian dan pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukan pun hanya seorang diri.

Kehilangan boleh dihargai dengan kesedihan, jika dan hanya jika ada batas waktu yang kamu tetapkan untuk sedih itu sendiri. Jika bahagia saja tak selamanya, maka begitu juga dengan duka yang sedang dirasa. Sedihmu bukan selamanya, dia datang sesekali, jika kamu mengijinkannya menyelimuti harimu. Tapi perihal mengikhlaskan sudah ada kewajiban yang tak bisa ditanggalkan akannya.

Remember the time you thought you never could survive? You did, and you can do it again - Margret

Untuk mengakhiri segala kisah yang tertulis ini saya hanya ingin berkata satu hal, boleh sesekali terlarut tapi jangan sampai berlarut. Sebab hari esok masih butuh untuk dinikmati dengan bahagia! Selamat membaik bersama :)

nb : tak usah diambil pusing dengan menerka-nerka ini kisahku atau bukan, sebab kau tahu, apa pun bisa kujadikan aku dalam sebuah tulisan.


Crazy Rich Asians, Love Will Find a Way [Movie Review]

Director: Jon M. Chu
Writers: Peter Chiarelli, Adele Lim (screenplay by)., Kevin Kwang (based on the novel by)
Stars: Contance Wu, Henry Golding, Michelle Yeoh, Gemma Chan, Awkwafina, etc
Genre: Romance Comedy

CRA menurut gue pribadi sudah cukup berhasil membisualisasikan novelnya. Enggak, gue nggak bicara tentang penggambaran detail yang di buku. Karena ya kalau urusan itu mah tahu sendiri, gausah ekspektasi akan sedetail yang di buku pokoknya. Because who can? Film dan buku tentu saja beda banget untuk bicara soal waktu. Durasi untuk film yang kelamaan bisa bikin elo bosan untuk diem duduk doang di bioskop. Sedangkan kalau di buku kan masih bisa dicicil baca besok lagi atau kalau udah mood lagi. Lagian, selama story line-nya masih sama kayak di buku itu masih wajar-wajar aja, imho ya~

Memang agak sedikit tipikal sinetron-sinetron gitu untuk ceritanya. Orang yang super duper kaya, jatuh cinta sama seseorang yang ekonominya tidak sepadan. Alur dan ending-nya mah pasti udah ketahuan dong ya? Eh spoiler nggak? Nggaklah ya, tenang, untuk urusan ketawa, nangis, senyum bahkan adegan-adegan yang breathtaking-nya nggak akan gue ceritain, biar kalian nonton sendiri aja hehe XD

Cinematography-nya gimana? Huahhhhh, bikin pengin liburan ke Singapore langsung rasanya. Angle pengambilan gambar dan color display-nya udah lebih dari sekadar eye catching. Apalagi sewaktu di pulau... ya baiklah, berkemas aja yuk langsung, lupakan perihal kerjaan haha.


Terus karakternya gimana? Buat gue, dua pemeran utama dan pemeran lainnya sukses menebarkan pesona mereka masing-masing dan semakin menguatkan karakter yang tertulis di dalam buku. Apalagi akting si Michelle Yeoh. Idola!!! Doi nggak perlu banyak dialog, tapi matanya udah lebih dari bicara (mau tahu gimana orang bisa lihat semua diri kita dari mata doang? Perhatiin deh akting doi, matanya bicara, and you will know it.) Dia tuh... tegas tapi rapuh, menindas tapi sebenarnya tertekan. Belum lagi si Gemma Chan, pembawaannya dan semua gesture dia akan sangat menarik perhatian untuk kita menantikan sekuel filmnya. Dannnnnn, Awkwafna beserta seluruh keluarganya berhasil membuat film ini menjadi genre romcom. Kalau nggak ada mereka mah, ya udah lewat itu comedy. 

Sejujurnya bocoran untuk sekuel yang hadir seusai film malah menurunkan sensasi seusai nangis-nangis haru menjelang ending. Jadi mending nggak usah ditungguin, tapi kalau mau kepo ya silakan aja hehe. Overall, film ini sangat rekomendasi untuk ditonton. Apalagi setelah ini, yakinlah bahwa standar pria dan wanita Asia benar-benar akan bergeser mirip kayak si Henry Golding dan Constance Wu. Iyain aja udah, setelah demam Jo, Kavinsky-Lara Jean, sekarang demam Nick-Rachel, baik :))))

Karena belum sepenuhnya move on dari TATBILB jadi angka 8.5/10 untuk film ini~






To All the Boys I've Loved Before [Movie Review]

Director: Susan Johnson
Writers: Sofia Alvarez (screenplay by), Jenny Han (based on novel by)
Stars: Lana Condor, Noah Centino, Janel Parrish

Isi kepala lagi nggak asyik? Kerjaan nggak kunjung selesai? Pun waktu berlibur belum ada dan males untuk keluar rumah? Nah kalau lagi kayak gitu, gue sih nyaranin buat nonton film ini aja. Drama romance comedy satu ini tuh cukup amat menyenangkan untuk dinikmati! Ini serius, karena elo nggak perlu mikir konflik dan segala printilan misteri yang belum selesai~

Film ini emang diadaptasi dari novel yang berjudul serupa. Yang mana bagi pembacanya pasti tahu banget kalau nggak semua adegan di novel bisa divisualisasikan dalam filmnya. Kalau di film memang ada kesan sedikit terburu-buru, tapi buat gue yang udah baca trilogi novelnya sih merasa fine-fine aja.

Karena, balik lagi si film ini udah cukup padat merangkum semua yang ada di buku. Ya tahu sendirilah ya, kalau semua bagian di buku dimasukin ke film, akan sepanjang apa itu durasinya. Kasian juga sih, belum lagi malah akan terkesan bertele-tele.

Cerita cinta masa remaja sih tema umumnya. Tapi tunggu dulu, ini nggak cheesy kok, karena gue pun akan males liat film romance yang kadar kemanisannya suka bikin diabetes. Meski ya, pastinya pasar terbanyak film ini adalah perempuan. Padahal menurut gue sih, ini bisa banget kok dikonsumsi oleh pria. Secara, drama TATBILB ini jauh dari unsur menye-menye romantis yang akan bikin elo bilang, "Anjisss apaan sih?" atau "Dih nggak logis banget, mana bisa kayak gitu kalo seumuran mereka."

Kavinsky (si tokoh utama pria) buat gue berhasil menjadi semenggemaskan itu. Dia berhasil ngebawa keluar karakter di dalam novel dan malah melampaui khayalan pembaca sewaktu sekadar baca novel doang. Pun Lara Jean, ya yaudahlah yaaa dia adalah perempuan pada umumnya yang sedang mengalami masa-masa pubertasnya.

Overall, ini kisah percintaan yang manis dan terasa pas untuk umur segitu. Wajar pada usia tokoh-tokoh yang sedang dimainkan. Mesem sewajarnya dan sealami mungkin. Nggak ada kesan dipaksakan pun nggak penuh akan konflik bertele-tele sampai ke keluarga, orang tua, dan semesta yang jauh lebih kompleks. Premisnya buat gue kepegang banget.

Karena TATBILB termasuk romance comedy, tentunya ada jokes-nya juga, dan itu sukses bikin ketawa. Menyegarkan pokoknya, itu stress-stress bisalah sedikit menyingkir. Sedangkan kalau mau bicara soal color grading dan cinematography-nya udahlah ya cuma bisa bilang love it!

Gue nggak mau spoiler apa-apa tapi intinya, ada angka 9/10 untuk film ini!!!


© Hujan Mimpi
NA