If Your Wings are Broken, Borrow Mine --2015

 
"Lintang bingung mau makan apa. Kayaknya soto enak, tapi ayam bakar sambel hijaunya juga enak, tapi itu ada yang makan bakso sama batagor juga enak deh."

"Ya udah pas."

"Apanya yang pas Sisi?"

"Kita semua pesen itu, nanti lo cobain satu-satu aja. Mau yang mana, pilih aja."

Katanya, di lingkungan pertemanan yang kamu miliki, akan selalu ada satu yang mampu meringkas segala kerumitan dan perbedaan yang ada. Dan mungkin, di antara gue dan ketiga lainnya, Shira yang berperan melakukannya. 

Meski sebetulnya pun gue yakin dia sering melakukannya hanya agar perdebatan tak kian panjang, apalagi di cuaca terik Jakarta saat ini. 

"Ih beneran?"

Binar bahagia yang terpancar dari manik mata Lintang membuat gue justru tergoda untuk mengerjainya, "Gue nggak setuju sih."

"Tuh Utari nggak mau, Si," rajuknya diikuti dengan bibir yang sudah berlipat bahkan maju bermeter-meter.

Iya gue tahu itu analogi yang berlebihan. Tapi gue juga tahu bahwa meski semuanya kadang berlebihan, gue menyukai persahabatan yang terjalin ini. Persahabatan yang nggak sempurna, tapi gue tahu bahwa saling melengkapi jadi satu kesatuan di antara banyaknya keras kepala kami masing-masing. 

Sesuatu yang membuat gue setidaknya merasa jauh lebih hidup, dan sedikit berwarna setelah banyak gelap, bahkan abu-abu di hitam putihnya dunia gue.

Shira enggan menanggapi gue, ia hanya menggelengkan kepalanya dengan sedikit tawa kecil yang terdengar. Jaket jin yang semula dia gunakan untuk menutupi crop tee-nya bahkan kini sudah dia lepaskan, membuat angin semakin kencang menerpa kulit dan juga rambutnya yang di-curly pagi tadi.

"Ras, gimana?"  

Kali ini pertanyaan Shira dialihkan pada Rasi. Satu-satunya perempuan yang sejak tadi tidak mengeluhkan panas, bahkan kayaknya selama gue mengenal Rasi, gue nggak pernah mendengar dia mengeluhkan apa-apa di hidupnya. Seolah semuanya memang baik-baik saja dan tidak mengganggunya sama sekali. 

"Boleh aja, daripada kelamaan mikir juga."   

Tuh lihat, 'kan?

Rasi memang nggak akan pernah menuai kontroversi apa-apa. Dia akan mencari jalan tengah, diikuti dengan alasan yang masuk akal, apalagi kalau dia tahu gue hanya menggoda Lintang, agar perempuan yang mengenakan rok berbahan denim semata kaki itu kesal semata.

"Haduh ujungnya emang tuan puteri yang diturutin. Ya udah buru, gue pesen soto aja."

***

"Besok gue ke apartemen lo dong!"

Kali ini gue beneran menjawab Shira dengan kecepatan yang mungkin setara dengan kecepatan cahaya, "Mau ngapain?" 

"Numpang nonton aja."

"Nggak punya rumah lo?"

Ini beneran pertanyaan yang akan gue ajukan mengingat dalam bulan ini saja, yang jelas-jelas masih pertengahan, sudah lebih dari tujuh kali Shira berakhir menginap di apartemen gue. Bahkan tanpa tujuan yang jelas, semata-mata karena, "Bosen hehe." Belum ada tuh gue bilang alasannya apa, tapi jawabannya udah template begitu terus.   

"Kecuali abang lo tiba-tiba ngajak gue jalan sih beda urusan."

Tawanya membuat gue cukup malas untuk menanggapi apa pun, selain hanya memutarkan bola mata, sambil tetap memeras jeruk nipis di atas soto yang baru saja dihidangkan di meja.

"Eh tapi serius deh, abang lo tuh beneran belum punya pacar kan, ya?"

Belum ada satu sendok soto pun masuk ke mulut gue, Shira lebih dulu mengajukan pertanyaan yang membuat gue jengah. Benar-benar jengah karena dalam sehari saja, gue sudah mendapatkan tiga pertanyaan serupa--dari teman di kelas gue.

"Tanya sama orangnya langsung aja, jangan tanya gue."

"Kan lo adeknya Utariiiiiii."

Gue menatap sedikit sebal pada Shira yang baru saja mengambil satu potong batagor dari piring Rasi. "Tapi bukan berarti gue tahu privacy dia, 'kan?"

"Tanyain dong yayaya."

"Males ah."

"Ta ta tapi, Si," suara Lintang yang sedikit terbata sebab pedas yang ia tengah rasakan membuat kami bertiga menoleh menatapnya, "Bang Utara tuh kayaknya lagi suka sama seseorang deh."

"Kata siapa?"

"Tahu dari mana lo?"

"Dari twitternya," jawabnya singkat lalu kembali memasukkan sesendok nasi yang belum ditiup uap panasnya, hingga membuat Lintang buru-buru menenggak es jeruk milik Rasi yang lebih dulu dihidangkan.

"Hah? Emang Utara nulis apaan di twitter?"

Ini kalau gue kaget boleh dong, ya? 

Seumur-umur, sejak gue lahir sampai seperti sekarang ini, gue malah nggak tahu kalau Utara--iya abang gue--punya twitter. Sebenarnya nggak apa-apa juga sih, tapi dulu gue ingat betul dia pernah bilang jika media sosial hanya bikin kecanduan, dan bikin hidup fokus mikirin hidup orang lain.

Ya mungkin karena dia manusia, mau tidak mau, pandangannya akan berubah. Atau justru dia berubah karena merasa, ah sudah lupain aja karena gue sudah khusyu' memandangi Lintang, penasaran dengan informasi yang akan dia keluarkan. Kadang menyenangkan ya ternyata punya seseorang yang menyenangi apa yang tidak kita sukai. 

See? Gue mulai percaya bahwa kami memang ditakdirkan saling melengkapi.

"Ya gitu, Lintang sering lihat dia posting foto lagi di mana gitu. Di tempat yang vibe-nya buat nge-date. Atau nggak ya biasanya sih nge-repost tweets soal cinta-cintaan."

"Oalah," jawab gue kembali cuek setelah tahu informasi barusan. Ya jelas gue cuek, karena nggak ada keterangan apa-apa juga di cuitan yang Utara unggah.

"Lo tahu, Tar?"

Gue menggeleng menjawab pertanyaan Shira sambil melanjutkan makan, "Bukan urusan gue dibilang."

"Bentar deh," Lintang menghentikan suapannya, lalu menjawil lengan kiri gue. "Lintang tuh kalau nggak salah inget, hari Sabtu kemarin juga Abang Utara ada posting abis jalan gitu ke toko buku. Ada tangan ceweknya gitu deh. Coba bentar, Lintang stalking dulu."

Lintang baru akan mengambil ponselnya, namun gue lebih dulu mencegah. "Mending lo makan itu ayam deh, Tang, keburu dingin jadinya nggak enak."

"Iya bentar dulu."

Lirikan mata gue kini diikuti dengan kaki yang menyenggol perempuan di hadapan gue yang sejak tadi hanya sibuk memerhatikan, tanpa menimpali apa-apa. "Ras, tuh temen lo."

"Lintang, makan dulu, main hapenya nanti lagi."

"Eh iya iya, Ras, hehehe."

"Giliran Rasi yang ngomong lo dengerin, giliran gue nggak."

"Utari habisnya marah-marah mulu."

"Lah--" 

Belum selesai gue mengomentari ucapan Lintang, Rasi lebih dulu menepuk pelan tangan gue, lalu menggeleng meminta gue tidak melanjutkan obrolan. "Udah, makanannya dihabisin dulu. Kalian berdua habis ini ada kelas, 'kan?"

Yang dimaksud--Shira dan Lintang--lekas saling tatap, dan tak lama kemudian Shira menepuk kencang keningnya. "Eh iya anjir Lintang, gue belum ngerjain tugas. Mampus gimana dong?"

Belum ada satu menit berlalu, kali ini senyum merekah di wajah Lintang, membuat gue mau tak mau menggelengkan kepala tak menyangka memang perubahan emosinya semudah itu. "Lintang udah kok, nanti salin punya Lintang aja."

"Ya udah buruan makan deh, gue habis itu pinjem, ya." 

***

"Hari Sabtu emang ke toko buku mana, Ras?"

"Itu yang biasa sering kita datengin berdua, Tar."

Tawa gue sedikit kencang, membuat beberapa orang memandangi gue dan Rasi yang kali ini hanya berdua di bawah pohon usai menyantap makan siang. "Oh jadi beneran lo yang jalan sama Abang gue?"

"Eh," Rasi yang sejak tadi sedang menggeledah isi tasnya mencari buku bacaan yang katanya baru ia beli mendadak menghentikan jemari lentiknya.

Lucu banget melihat ekspresi perempuan di depan gue ini berganti jadi kepanikan, sebab menyadari ada keliru dari jawabannya tadi. Padahal yang nggak keliru juga, cuma ya memang agak sedikit kepleset dikit jujurnya. "Hahaha, udah gapapa, gue tahu kok, Ras."

"Tahu apa?"

Tangan gue menunjuk handcream yang menyembul dari balik tasnya, "Tahu kalau Abang gue naksir sama lo," sahut gue dengan sedikit tawa di ujung kata.

"Hah? Nggak kok, itu kebetulan aja, dia mau nyari buku juga."

"Terus pas pulang dia nenteng buku nggak?"

"Hmmm," melihat ekspresi Rasi yang berpikir membuat gue tertawa kencang di dalam hati, karena tahu Utara tidak mungkin membawa pulang buku sama sekali. Sebab dari kebiasaan yang sering gue dan Utara lakukan dulu, ia sama sekali tak ingin diganggu bila memang pergi ke toko buku untuk mencari buku bacaan, kecuali jika seseorang itu cukup berharga untuknya, mungkin memang lain cerita.

Rasi menggigit bibir bawahnya, lalu menatap gue dengan ragu. "Nggak sih, tapi dia beli lego kayu gitu."

Senyum gue nggak bisa berhenti buat terulas mendengar penuturannya. "See? Cuma alesan aja dia buat jalan sama lo."

Jarang banget Utara berani mengajak seorang perempuan untuk jalan berdua, apalagi sampai harus diunggah di media sosialnya, khususnya twitter. Kalau di instagram sih udah biasa, apalagi memang teman dia kalau dikumpulin juga bisa jadi satu kelurahan atau bahkan bikin kota sendiri.

Bohong kalau gue nggak penasaran ada apa di antara hubungan Utara dan Rasi, walau sejak awal pertama bahkan di antara kumpul-kumpul yang sering kita lakukan, gue tahu Utara sering memerhatikan Rasi dengan begitu teliti.

"Udah sering jalan sama Abang?"

"Nggak juga, beberapa kali aja."

Kalau nggak cuma sekali itu berarti harusnya sering dong. Mau banget gue jawab gitu, tapi Rasi nggak akan pernah sepakat dengan ucapan gue, sebab buat dia hubungan mereka memang sebatas pertemanan biasa. 

Tapi lucu deh kalau gue pikir-pikir lagi, nggak ada hubungan pertemanan yang seharusnya ditutupi, bahkan bentuk kepedulian satu sama lain dilakukan sembunyi-sembunyi, 'kan?

"He is good, right?" 

"Ya iya."

"Seneng nggak?"

"Apanya?"

"Jalan sama Abang seneng nggak?"

Mungkin ini aneh dan sedikit canggung untuk dibicarakan sama gue, mengingat status gue sebagai adiknya Utara. Tapi andai aja Rasi tahu gimana bahagianya gue, karena Utara mulai kembali berani untuk dekat dengan perempuan--setelah apa aja yang udah dia lalui di hidupnya--bisa jadi dia akan lebih luwes bercerita.

Walau ya, gue juga nggak bisa memaksa apa pun, terlebih Rasi kelihatannya nggak nyaman untuk bercerita entah karena alasan apa. "Selama lo happy, dia happy, ya nggak usah ditutupin, Ras. Udah waktunya juga Abang buat serius sama satu perempuan, bukan main-main doang. Biar itu tuh yang pada ganjen doang ke dia pada minggat, capek juga dititipin salam sama hadiah yang nggak jelas."

"Cuma temenan kok."

Gue menganggukkan kepala, berusaha sepakat mesti tidak sepenuhnya percaya. "Iya sebebas lo aja, denial tuh nggak bikin orang lain rugi kok, paling juga elo sama dia yang bakal rugi."

"Kok rugi?"

"Orang-orang tahunya kalian nggak sedeket itu sampai bisa pergi berdua, 'kan?"

Hening lagi. 

Rasi benar-benar berpikir luar biasa setiap kali mau mengucapkan sesuatu, dan semuanya terlihat jelas dari kerutan di keningnya, juga tatapannya yang nggak pernah berani melihat manik gue. 

Padahal selama ini, gue amat kenal Rasi yang selalu jadi pendengar terbaik tiap kali salah satu dari gue, Shira, bahkan Lintang bercerita. Rasi yang selalu sepenuhnya fokus menatap mata kami, bahkan menyediakan telinganya dengan penuh, tanpa ekspresi apa pun yang membuat kami tidak nyaman bercerita. 

Ting.

Kali ini gue mengintip notifikasi yang muncul di layar ponselnya, yang saat ini tertera dengan jelas nama Utara di sana. "Bahkan, dia nggak serajin itu nge-chat gue, Ras."
Rasi mengabaikan ponselnya, lalu menghabiskan es jeruk yang tinggal tersisa sedikit, membuat gue kembali mengeluarkan kalimat-kalimat yang semoga saja bisa menyadarkan dia dengan perasaannya sendiri.

"Dia interest sama lo, lo juga kayaknya suka, karena nggak mungkin kalau nggak suka, lo mau keluar berdua doang. Lagian nih ya, kenapa nggak terang-terangan aja sih kalau emang jalan berdua? Segala posting seuprit gitu tuh Utara."

Rasi kali ini sepenuhnya menatap gue, dengan kedua bahu yang dia angkat ringan. "Ya karena nggak ada kepentingannya juga untuk diumbar, Tar. 'Kan cuma jalan biasa aja."

Gue menyerah, kedua tangan gue terangkat ke udara dengan telapak tangan yang terbuka lebar. "Okay okay, we'll see. Gue gamau aja sampai ada yang harus ngalah karena perasaan yang sama."

"Maksudnya?"

Senyum gue mengakhiri pembicaraan siang ini, karena di kejauhan, gue tahu ada empat anak manusia yang mulai masuk ke dalam kantin, dan membuat kanan kiri kami berisik serta berbisik, "Gapapa. Udah bales dulu tuh chat-nya, kasian dianggurin, nanti yang ada, dia ngomel pas ketemu kalau nggak dibales."

No comments

Post a Comment

© Hujan Mimpi
NA