I Had A Nightmare, But Now That I'm Not Scared --2016

 

Jakarta buat banyak orang ialah kota yang tidak akan pernah tidur, meski manusia yang hidup di dalamnya mengaku lelah, dan rela berjudi dengan nasib serta peruntungan. Jakarta bisa jadi sangat memuakkan karena berisiknya yang membuat tenang tak jua datang, namun bagi beberapanya lagi ramai tersebut adalah tenang yang dicari agar tak selalu merasa sepi dan sendiri. 

Mungkin, itu juga yang kemudian membuat Rasi memilih menepikan dirinya di salah satu taman yang ada di daerah Jakarta barat, pada terik yang telah menua di pukul lima petang ini. 

Buku yang sejak tadi menemaninya kini ia tutup, lalu ia lepaskan sebelah earphone-nya untuk melihat seorang pria yang baru saja ikut duduk di sampingnya, setelah tadi sempat bertanya di mana keberadaannya.

Senyumnya merekah, sebelum kembali menatap beberapa anak kecil yang masih berlarian saling mengejar sebayanya. "Jadi, apa yang bikin kamu ke sini?"

"You."

Jawaban singkat itu berhasil membuat Rasi sepenuhnya mengalihkan tatap pada Athaya yang tetap menatap lurus, seolah apa yang baru saja dia lontarkan bukan sesuatu yang patut dipertanyakan. "Hah? Gimana, Tha?"

"Kamu," kini Athaya menoleh seraya membenahi kacamatanya. Ada tarikan napas yang cukup dalam ia hidu sebelum melanjutkan ucapan. "Kamu yang bikin aku ke sini."

Dua tahun sudah Rasi mengenal Athaya dengan cukup dekat. Kedekatan yang tak begitu tampak di permukaan, namun teramat cukup dimaknai keduanya sebagai sesuatu hal baik, yang membuat satu sama lain yakin jika mereka tak pernah sendiri. Sebab masih ada seseorang yang selalu bersedia mendengar juga didengarkan di hari-hari paling berisik dan berat yang masing-masing miliki.

"Are you okay?"

Tawa kecil Athaya lepas begitu mendengar pertanyaan perempuan yang petang ini mengenakan hoodie abu-abu tersebut, diikuti helaan yang cukup berat. "Hhhhh, hidup pada akhirnya harus oke-oke aja nggak sih, Ras?"

"Nggak juga." Rasi menolak untuk sepakat dengan tanya yang tadi diucapkan Athaya. Ia sepenuhnya menatap hamparan luas langit dengan semburat jingganya. "Mungkin yang bener tuh, hidup pada akhirnya bikin kita mau gamau harus mengerti dan memahami, kalau yaaa ada hari yang oke, dan ada hari yang nggak oke."

"Tapi hari-hari di hidupku lebih sering nggak okenya."

"Kenapa kamu anggepnya gitu?"

"Karena..." Lagi-lagi helaan napas dari bibir Athaya terdengar, bersamaan dengan tubuh yang ia rebahkan. "Karena aku nggak pernah bisa punya pilihanku sendiri."

"Hmm, itu cakupan luasnya nggak sih?"

"Maksudmu?"

Masih dengan senyum yang merekah, Rasi berusaha memberikan jawaban pada Athaya tanpa ikut terpancing emosi yang tengah sahabatnya itu rasakan. Ia tahu apa yang Athaya maksud, namun ia juga tak bisa sepenuhnya setuju bahwa apa yang saat ini dijalani, sama seperti apa yang tadi Athaya katakan. "Hari ini, kamu ke sini, kamu duduk di sini, itu pilihanmu, 'kan?" 

Kali ini Athaya memangku diam. Ia cukup dibuat kehabisan kata-kata untuk menentang pertanyaan Rasi. Sebab ia sendiri tahu jika apa yang dikatakan Rasi adalah benar, yang tak sepenuhnya ia sadari. Athaya masih menatap punggung Rasi sesekali, bergantian dengan langit senja yang juga menarik perhatiannya.

"Kalau ngomongin soal sesuatu yang besar, emang nggak semuanya bisa sesuai pilihan dan mau kita, Tha. Tapi kalau mau coba cek kanan kiri, banyak hal-hal kecil yang udah sesuai dengan mau dan pilihan kita."

Athaya suka bagaimana Rasi selalu bisa memberikan pandangan baru untuk pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Kerap ia merasa bahwa Rasi memang sengaja jadi perwujudan tangan Tuhan untuk membawa sedikit tenang, di antara semua hal buruk yang membuatnya seolah dikejar-kejar oleh waktu serta harapan tak berkesudahan. Rasi menoleh pada Athaya, memamerkan gigi kecilnya yang rata, lalu memberikan earphone-nya pada Athaya, yang langsung diterima tanpa protes.

"Kadang, kita cuma lihat banyak hal dalam skala yang besar aja, Tha. Lupa kalau ada hal-hal kecil juga yang berhasil kita lalui. Kita selalu dan selalu merasa nggak puas, karena nggak pernah merasa cukup dengan hal-hal kecil tadi. Soalnya buat kita, selama yang besar nggak terpenuhi, hidup berarti hanya sebuah kegagalan."

Caterpillar in the tree
How you wonder who you'll be
Can't go far but you can always dream

Bersamaan dengan lirik lagu yang tengah Athaya nikmati alunan musiknya, ia bangkit untuk kembali duduk seraya menatap Rasi intens, dan membuat perempuan itu juga memalingkan wajahnya. "Ya wajar nggak sih, Ras, kalau manusia tuh nggak pernah puas?"

Rasi kali ini menganggukkan kepalanya, tidak menyangkal apalagi membantah. Kedua kakinya kini ia jadikan tumpuan untuk meletakkan dagunya, dan duduk menghadap pada Athaya sepenuhnya. "Wajar kok. Tapi mau sampai kapan? Emangnya nggak capek kalau terus-terusan merasa kalah, merasa gagal, merasa kurang. Dan ujung-ujungnya kita beranggapan semua hal di dunia ini, nggak ada yang berpihak ke kita."

"Hidupmu seindah itu ya, Ras?"

Pertanyaan Athaya barusan sukses membuat Rasi menggelar tawanya, meski tak kencang, namun sanggup membuat kening Athaya sedikit berkerut. "Kok kamu bisa bilang gitu? Indah apanya?"

"Ya indah. Kayak semua berjalan lancar-lancar aja, soalnya kamu bisa seenteng itu mikir hal kayak tadi."

Lagi-lagi Rasi tertawa dan menggelengkan kepalanya, "Di mana letak kata-kata yang bikin keliatan enteng dan indahnya coba, Tha?"

Athaya terdiam. Ia tidak memiliki jawaban apa pun, sebab ucapannya tadi terlontar hanya sebab egonya yang sedikit tersentil akan ucapan Rasi yang terdengar begitu mudah dalam menjalani hari. Meski di lain sisi ia juga tahu jika tidak pernah ada kata mudah, untuk siapa pun manusia di dunia ini.

"Tha, aku justru terlalu capek sama hidupku yang monoton. Yang gini-gini aja, yang ramai kalau di kampus, tapi begitu pulang ke rumah sepi lagi. Yang rutinitasnya begini-begini aja, karena semuanya juga udah ditata dan disiapin sama Mama Papa. Aku tuh capek, sampai bener-bener capek buat ngeluh dan ngerasainnya lagi. Jadi yaaaaa gitu, aku coba lihat dari sisi yang lainnya aja."

"Itu sebabnya kamu suka baca?"

Kesimpulan yang dibuat Athaya tiba setelah ia melihat buku yang baru saja Rasi masukkan ke dalam tas, juga mengingat keberadaan buku-buku dengan judul yang berbeda yang tak pernah absen dari isi tas Rasi.

"Hahaha iya," tawa Rasi kini diiringi dengan senyum yang tersungging cerah. "Aku hidup di antara bacaan yang aku baca. Aku ngerasain jatuh cinta, kalau tokohnya jatuh cinta. Aku nangis, kalau tokohnya nangis. Ya gitu, miris nggak tuh kelihatannya hidupku? Kayak gitu yang kamu bilang indah? Eh indah sih, karena aku kenal banyak perasaan dari buku."

Athaya kembali menggelengkan kepalanya, masih tak habis pikir dengan cara berpikir Rasi yang entah kenapa selalu bisa mengolah hal negatif menjadi positif, meski hidup perempuan tersebut tak sepenuhnya berjalan sesuai seperti keinginannya. 

"Kalau bandingin hidup sama orang lain dibikin jadi perlombaan, pasti pesertanya banyak nggak sih, Ras?"

"Of course."

"Kamu ikut nggak?"

"Nggak. Soalnya capek."

"Yahhh capeknya dibahas lagi."

Rasi tertawa, lalu berdiri sembari membersihkan celana yang ia kenakan. Topi putih yang tadi ia biarkan tergeletak juga tak lupa ia ambil, untuk kemudian dia kenakan. "Mau kopi nggak? Kalau iya, kita pindah yuk, aku kayaknya butuh sesuatu buat bikin kepala lebih jernih. Bacaanku udah mulai berat soalnya."

"Bacaan di bukumu atau obrolan kita yang makin berat, Ras?" goda Athaya menatap manik mata perempuan yang sejak dua tahun perkenalan ini, membuatnya nyaman mengungkapkan apa pun. 

"Both hahaha," timpal Rasi dengan menggerakkan bahunya, lalu merentangkan tangan kanannya untuk membantu Athaya berdiri.

"Boleh yuk, eh tapi bentar, Ras."

"What?"

"Will you catch me?"

Kedua alis Rasi kini bertaut. Athaya yang sudah berdiri di hadapannya pun belum mengatakan apa-apa. Lelaki itu hanya tersenyum samar, seraya merapikan helaian rambut Rasi yang mengganggu, menyembunyikannya di balik telinga, kemudian menangkupkan tudung hoodie yang Rasi kenakan di kepala perempuan itu. 

Dengan tangan yang tetap ia letakkan di atas kepala Rasi, Athaya kembali bersuara sebelum akhirnya beranjak lebih dulu seolah memang tak membutuhkan jawaban apa pun. "Will you catch me if i fall?"

 

--untuk jatuh apa pun yang akan dijelang nanti. entah pada perasaan atau memang sebenarnya jatuh sebab perkara dunia. apakah mungkin kamu akan menangkapku? menjaga sebaik-baiknya aku yang sepenuhnya terjatuh.

No comments

Post a Comment

© Hujan Mimpi
NA