Terlarut tapi Bukan Berlarut


Hanya sekadar ingin bertanya, pernahkah terlintas di benak kalian untuk sekedar menghentikan hari? Bukan cuma detik waktu, tapi sehari penuh sebab terlalu penuh saja rasanya. Terlebih ketika seluruh orang-orang yang dipercaya mulai menghilang, satu demi satu. Tak ada yang tersisa, sama sekali. Dan akhirnya kepercayaan diri mulai mengikis.

Saat ini yang tersisa tinggal pena di atas kertas. Masih tak tahu mau menulis apa. Sedikit rumit dengan perkara yang tersisa. Akhirnya hanya menyalakan laptop dan mulai tenggelam dalam beberapa kejadian. Beberapa waktu lalu, saya menghabiskan waktu di sebuah cafe yang kerap ramai bila sore menjelang. Duduk saja diam membaca buku. Melepaskan seluruh alat komunikasi yang terlalu sering digenggam. Ingin membunuh waktu tapi nampaknya aku yang sedang dibunuh oleh waktu.

Di tengah-tengah ramai yang teramat nyata. Sudut mata saya terpaku pada anak kecil–mungkin usianya sekitar 5 tahun–yang sedang asik berceloteh dengan ayahnya. Binar matanya tak mampu disembunyikan. Dia sedang bahagia, teramat sangat. Mungkin menceritakan hal apa saja yang dia alami di sekolah, pikir saya. Senyum saya mengembang tapi perlahan memudar. Ada yang menyentak di relung hati. saya memalingkan muka, enggan untuk sekadar menoleh lagi. Bukan tak turut bahagia, tapi entah mengapa ada yang diam-diam membuat nyeri.

Bagaimana rasanya bercerita dengan riang seperti itu? Bagaimana rasanya jatuh cinta pada lelaki pertama yang kamu temui di muka bumi? Bagaimana rasanya memiliki kenangan atas masa kanak-kanak yang tak perlu banyak pikiran untuk memahami? Di tengah beragam pertanyaan yang menyambangi kepala, ada yang tertahan di sudut mata. Ingin jatuh, tapi ego terlanjur menjadi juara.

Saya rindu, merindukan hal lalu yang tak pernah saya rasakan. Saya tersenyum getir, menertawai diri sendiri, bagaimana bisa rindu jika merasakan saja tidak. Kerap kali berpikir untuk tidak melakukan hal yang sama bila kelak menjadi orang tua, tapi tetap saja manusia hanya bisa berencana, penentu sepenuhnya adalah Dia.

Bila ingin, bisa saja saya murka dengan segala kesedihan yang datangnya bertubi-tubi. Dengan segala semesta yang seolah berkonspirasi membuat saya iri setengah mati. Tak memiliki orang tua yang utuh. Tak tahu rasanya disayang dan memiliki sayang yang seperti anak kecil tadi. Kekecewaan yang kadang dipendam seorang diri, rasa iri yang diam-diam kerap menghantui atau bahkan hal lainnya yang susah untuk dijelaskan. 

Tapi untuk apa marah atas apa yang sudah tergariskan? Untuk apa membuang energi dengan menyimpan amarah serta dengki berkepanjangan? Saya tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Bukan munafik, hanya saja memang rasanya tak perlu menyalahkan siapa atau apa. Sebab yang sudah digariskan oleh-Nya tetap akan terjadi meski sekuat apa pun kamu mencegahnya.

Lalu kembali dibuat bertanya, apa yang paling menyedihkan dari sebuah kehilangan sebab kepergian? Apa yang paling membuat rindu dari sebuah kepunyaan tapi tak pernah tergenggam sempurna? Jadi apa yang paling menyedihkan dan sesekali membuat rindu? Orangnya? Memori kenangan akannya? Atau waktu yang berlalu saat dia masih ada di sekitar? Atau bahkan kesempatan yang seharusnya ada tapi tak pernah diwujudkan?

Atas sebuah kehilangan sebab kepergian akan selalu hadir rindu yang tak berkesudahan. Tentang orangnya, tentang momen kebersamaan, atau juga tentang sebuah kebiasaan, dan bisa jadi tentang hal-hal yang belum pernah terjadi tapi terlalu sering diinginkan terjadi.  Perihal mengikhlaskan adalah kewajiban yang memang sudah sepantasnya untuk dilakukan. Sebab apa? Kita terlahir sendiri, memilih jalan kehidupan dan serangkaian pilihan di dalamnya atas alasan diri sendiri (meski pihak luar tak mungkin tak memengaruhi), dan pada akhirnya muara dari segalanya adalah kita kembali kepada-Nya pun sendirian dan pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukan pun hanya seorang diri.

Kehilangan boleh dihargai dengan kesedihan, jika dan hanya jika ada batas waktu yang kamu tetapkan untuk sedih itu sendiri. Jika bahagia saja tak selamanya, maka begitu juga dengan duka yang sedang dirasa. Sedihmu bukan selamanya, dia datang sesekali, jika kamu mengijinkannya menyelimuti harimu. Tapi perihal mengikhlaskan sudah ada kewajiban yang tak bisa ditanggalkan akannya.

Remember the time you thought you never could survive? You did, and you can do it again - Margret

Untuk mengakhiri segala kisah yang tertulis ini saya hanya ingin berkata satu hal, boleh sesekali terlarut tapi jangan sampai berlarut. Sebab hari esok masih butuh untuk dinikmati dengan bahagia! Selamat membaik bersama :)

nb : tak usah diambil pusing dengan menerka-nerka ini kisahku atau bukan, sebab kau tahu, apa pun bisa kujadikan aku dalam sebuah tulisan.


No comments

Post a Comment

© Hujan Mimpi
NA