Keinginan Menyerah



Kota yang sama yang membuatku tegak berdiri
Kota yang sama yang membuatku merasa sepi

Tahu kan ya penggalan lirik lagu di atas punya siapa?

Iya, itu dari lagu Jakarta-Jakarta milik Mas Kunto—yang semoganya bisa live mendengar beliyo di tahun ini—lagu yang nggak sengaja keputar di pagi ini.

Pagi di bulan November yang kembali berhasil dilalui setelah badai menerpa. Apalah, sok puitis banget hehe. Setiap dengar lagu ini, saya selalu merasa punya kekuatan untuk tetap bertahan hidup meski lagi-lagi harus menyeret langkah.

Tenang, saya nggak akan pernah bilang Jakarta lebih baik dari kota lain, atau Jakarta lebih buruk dari kota lain. Buat saya setiap kota punya masalahnya, individu di dalamnya juga punya beban dan perjuangannya sendiri-sendiri. Jadi ya, setiap kota akan selalu punya sisi terbaik dan terburuknya.

Namun mungkin buat saya pribadi, karena ya saya jauh lebih lama tinggal di Jakarta, jadilah kota ini punya sisi magis yang luar biasa sering bikin saya pengen nangis. Mulai dari ramainya yang nggak pernah rehat, perjuangannya yang udah kayak kejar-kejaran sama entah apa, belum lagi sederet keresahan lain yang timbul karena gaya hidup yang luar biasa bikin sesak.

Pernah nggak sih kalian ngerasa capek yang ya udah capek aja, gatau penyebabnya apa, tapi tahu bahwa lelah udah merundung pundak dengan terlalu?

Kalau pernah, saya penasaran rasanya kayak apa? Mirip nggak kayak yang sering saya rasakan? Atau mungkin rasanya tuh kayak orang mau tenggelam, nggak?

Tadi pagi, sewaktu lagi siap-siap ke kantor, saya keinget satu waktu di mana saya udah hampir tenggelam. Ini maksudnya tenggelam yang beneran tenggelam di kolam renang lho ya hehe.

Rasanya gimana? Nggak enak, panik, takut.

Karena waktu itu, saya udah usaha minta tolong dan melambai-lambai, tapi nggak ada yang lihat. Padahal life guardnya ada, tapi tetap aja di saat itu nggak ada satu orang pun yang sadar kalau saya lagi butuh bantuan. Terus kalau sekarang diingat-ingat lagi, aneh juga kenapa saat itu saya bisa hampir tenggelam, padahal saya bisa berenang, ya walau nggak jago-jago amat, setidaknya bukan gaya batu yang pasrah tenggelam gitu ajalah pokoknya.

Terus gimana bisa selamat? Saya lupa jelasnya gimana, tapi saya ingat ada tangan yang bantu saya sedikit mengapung lalu dituntun buat ke pinggir. Saya nggak inget banyak kecuali kata-kata dia yang bilang, “Kram ya? Gapapa, mungkin tadi kurang pemanasan aja.” 

Lalu ya udah dia pergi tanpa sempat saya ucapin makasih. Karena sumpah saat itu saya kaget dan nggak bisa mikir sama sekali. Kosong yang sebenar-benarnya kosong. Dan terakhir kali sebelum diselamatin, saya sempet mikir udah waktunya kali ya. Udah cukup juga berjuangnya minta bantuan, tapi nggak ada yang ngeliat. Mungkin saya memang harus pergi sendirian. Pasrah aja deh, karena kalau memang udah saatnya berpulang, ya saya nggak bisa apa-apa.

Dan pagi ini saya teringat kalau saya pernah ada di titik perasaan seperti itu. Bahkan mungkin, saya masih sering mengulang perasaan itu ketika semua hal dirasa sia-sia. Ketika menemui kata gagal, ketika merasa dunia nggak pernah mengerti dan mau untuk berpihak.

Ajaib ya, dunia tuh senang banget ngasih ingat kita dengan kejadian yang udah lampau lewat macem-macem cara, hanya untuk memastikan bahwa kita pernah mengalami dan kita sanggup melewati.

Jadi ceritanya, kemarin sempat saya ingin pasrah, sepasrahnya hidup untuk akhirnya mengakhiri semuanya yang dirasa ya udahlah sia-sia. Dan ya, kata percuma itu berputar terus-terusan di kepala. Bahkan belum cukup hanya di kepala, akhirnya semua kata percuma itu kembali dilontarkan di hadapan saya. Merasa dipojokkan, merasa disalahkan, merasa nggak bisa pernah dimengerti di saat semua yang saya lakukan selama ini adalah upaya untuk mengerti.

Ya manusia mah memang gitu, selalu akan berakhir dengan merasa lebih super dari yang lain. Mengaku lebih cinta daripada yang lain, mengaku lebih suka dari yang lain, mengaku lebih berjuang dari yang lain, dan sederet pengakuan lain yang akan mengintimidasi lengkap dengan sederet bukti pembenaran.

Gapapa sih, wajar. Lalu kemudian, pagi ini saya diingatkan lagi dengan kejadian waktu hampir tenggelam dulu, dan akhirnya saya berpikir ulang dengan kejadian itu.

Saya jadi merasa, mungkin memang kita harus selalu punya waktu untuk sendiri, terlepas dari benar tidaknya kita sendirian. Mungkin memang kita selalu akan berjuang sendirian, terlepas dari ada atau tidaknya orang di sebelah. Mungkin, memang lagi-lagi kita yang harus lebih punya kekuatan bangkit, terlepas dari ada tidaknya tekanan dan semangat dari sekitar.

Mungkin, mungkin memang kita akan selalu merasa sendirian meski sebenarnya kita nggak benar-benar sendiri. Karena dari sejak lahir hingga nanti selesai pun, kita tetap akan mempertanggungjawabkannya sendirian.

Kalau boleh mengutip salah satu dialog di Kdrama Extraordinary You; Hidup adalah penderitaan.

Mau nggak mau saya setuju dengan kalimat itu, karena ya memang hidup isinya berjuang, berjuang, berjuang, dan terakhirnya bertahan. Mungkin itu juga yang sedang Tuhan ingetin ke saya di pagi hari tadi.

Bisa jadi saya sudah lelah, bisa jadi saya sedang merasa ingin menyerah, dan merasa lebih baik tenggelam saja. Tapi di akhir dari semua rasa itu saya harus ingat lagi kalau sekuat apa pun keinginan saya untuk menjadi selesai, kalau Tuhan masih bilang belum, ya tandanya saya harus cari cara untuk tetap bertahan. Entah dengan cara seperti apa, bahkan mau sampai ubah kaki jadi kepala bahkan  kepala jadi kaki sekalipun, intinya Tuhan bilang masih harus berjuang lagi.
Dan lagi-lagi, pertanyaan yang akan selalu kembali menghampiri di saat saya sudah mau menyerah masih akan tetap sama.


Kalau bukan kamu, siapa lagi?
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Nggak pernah ada orang yang benar-benar mengerti diri kita dengan baik, selain diri sendiri. Nggak pernah ada orang yang benar-benar ingin tetap ada tanpa rasa lelah, selain diri sendiri. Nggak akan ada orang yang sepenuhnya tulus mengulurkan tangan, kalau kita nggak teriak minta tolong dengan sekuat tenaga. Dan ya, nggak akan pernah ada yang mau bantu kita, kalau diri sendiri nggak mau untuk dibantu dan bangkit lagi.

Selamat hari-hari menjelang November berakhir temans!

Mungkin hari ini jauh lebih berat dari kemarin, tapi percaya aja, kita masih bisa melalui segalanya sendiri meski pulang nggak pernah mudah. Karena mereka—yang selalu ada di sebelah,  bisa jadi masih menunggu kita untuk kembali. Walau kelihatannya nggak ada, walau seringnya dianggap nggak ada.





Melabeli Diri dengan Status

Memulai Oktober dengan pertanyaan,

 Asli ini tuh udah hampir jelang akhir tahun? Setahun ini ngapain aja mohon maaf.”


Saya sadar ada begitu banyak wacana, banyak harapan, banyak banget hal yang kayaknya sebatas di kepala tapi eksekusinya memble. Ya gapapa sih sebenarnya, toh manusia memang sukanya begitu. Tapi balik lagi, ketika melihat sekitar kok rasanya sayang banget ya udah menyia-nyiakan banyak waktu dengan hal yang entah apa.

Mau mengutuk diri sendiri rasanya nggak tega. Karena pasti saya punya segudang alasan yang membuat saya mau nggak mau akhirnya memaafkan diri sendiri. Sebel? Nggak juga. Ya udah aja gitu rasanya. 
 


Namun sesungguhnya menjelang akhir tahun gini, saya akan selalu diliputi dengan perasaan insekyur yang kelewat nggak penting. At least buat saya sebenarnya sih nggak penting, tapi mungkin buat orang tua, saudara, atau mungkin mereka yang selintas kenal—tetangga, teman kantor, teman main—menjadi sebuah hal yang cukup penting. 

Tentang status. 

Nggak bisa dipungkiri, setiap pergantian tahun pasti umur juga akan berganti. Dan ya, pertanyaan pun mau tidak mau akan bergeser menjadi lebih banyak kata, “Kapan?” 

Dan pertanyaan yang paling sering diajukan tentu saja, “Kapan menikah?” 

Sesuatu yang menurut saya sangat pribadi dan tidak sepantasnya ditanyakan oleh mereka-mereka yang selintas kenal. Bahkan kadang, saya juga merasa orang tua tidak selaiknya menanyakan hal tersebut kepada anak-anaknya, terlebih memaksakan keinginan mereka untuk kita menyegerakan hal sakral tersebut. 

Well, saya paham betul bahwa menikah berarti meneruskan garis keturunan. Salah satu yang mungkin dicemaskan orang tua ketika anaknya tak kunjung menikah. Katanya sih, takut bila nanti mereka tiada, anaknya tidak ada yang menjaga dan mengurus lagi. 

Padahal menurut saya, tanggung jawab atas diri sendiri adalah perlu. Sehingga tidak sampai memberatkan bahkan merepotkan orang lain. Tapi sudahlah, mari kesampingkan salah satu alasan tersebut, karena saya sebetulnya sedang ingin merenung perihal apa pentingnya status untuk diri sendiri. Bukan berdasarkan anggapan dan penilaian orang lain akan kebutuhan kita. 

Selama dua dekade saya hidup, seingat saya deretan mantan saya itu tidak banyak. Masih bisa dihitung dengan satu tangan bahkan. Iya, semoga saya tidak salah. Tapi kalau urusan dekat dengan siapa hingga dikira jalin asmara, itu sih beda lagi ya. Nah, selama beberapa kali jalin kisah bersama itu juga, saya sebetulnya tidak menemukan perbedaan berarti dengan saya ketika sedang sendiri. 


Saya masih senang jalan ke sana sini sendiri, sehingga tidak perlu bergantung apalagi menaruh harap dan berujung kecewa. Saya masih tidak bisa memperhatikan atau diperhatikan secara berlebihan dengan pesan-pesan yang sejatinya template belaka. Semisal pertanyaan, udah makan? Udah salat? 

Dan sederet pertanyaan yang seharusnya nggak perlu ditanyakan pun, saya pasti sudah mengerjakannya. Lha wong itu semua kebutuhan dan kewajiban, kan? 

Pernah saya berpikir mungkin komunikasi saya yang salah. Saya yang seharusnya membiasakan diri untuk menerima perhatian seperti itu. Tapi lagi-lagi, saya bertanya ke diri sendiri, apakah seseorang katakanlah pacar memang bertugas sebagai alarm pengingat? Tidakkah semestinya, ada hal lain yang lebih perlu dimiliki oleh mereka yang memutuskan bersama? 

Bicara tentang pasangan, buat saya pribadi, seseorang itu harus bisa diajak komunikasi apa saja. Karena toh, tujuan akhirnya sendiri untuk menua bersama. Lalu bagaimana mungkin sanggup terus bersama, bila komunikasi saja tak bisa dibangun baik? 

Ya nggak melulu harus yang bisa diajak diskusi hal berat, namun juga bisa diajak bicara tentang sesuatu hal yang nggak penting bagi orang lain. Tapi sejatinya, bisa begitu melegakan ketika dibicarakan dengan pasangan. 

Dibanding dengan pertanyaan kontrol makan, salat, dsb, saya lebih suka ketika ada seseorang yang bertanya hal sepele seperti, macet nggak tadi di jalan? Hari ini ada kejadian lucu apa? Atau juga, ia yang menceritakan tentang kegiatannya dalam satu hari tersebut. Susah ya? Mungkin bisa jadi itu juga penyebab track record saya dalam menjalin hubungan tidak banyak. 

Balik lagi pada hal yang mengganggu saya belakangan ini; Sebenarnya seberapa pentingkah status pacaran hingga menikah bagi seseorang? 

Sampai detik ini jujur saya masih belum dapatkan jawaban pastinya. Untuk jawaban-jawaban berkaitan dengan agama kiranya bolehlah disingkirkan dulu. Karena logika kadang nggak melulu bisa dicekoki dengan sesuatu yang agamis. Tapi bukan berarti dengan begitu saya dibilang tidak percaya Tuhan dan ajaran dalam kitabNya. 

Ya pokoknya buat saya sekarang, semua masih abu-abu, dan saya merasa belum laik bersama dengan seseorang karena belum bisa membahagiakan diri sendiri. Saya tidak pernah ingin sampai menaruh beban pada seseorang untuk bisa membahagiakan saya, di saat saya sendiri belum tahu definisi bahagia itu apa. 

Being single is a high. 

Pernah saya bilang gitu, pernah juga saya baca mengenai hal tersebut. Dan nyatanya hal tersebut memang benar. Nggak ada yang salah ketika kita memilih untuk sendiri. Karena nyatanya banyak banget hal yang bisa kita lakukan untuk mengenal, memahami dan menambah kualitas diri. 

Pun nggak juga ada yang salah ketika seseorang memilih untuk berpasangan dan nggak sedikit kadang yang terkesan tergesa-gesa memutuskan bersama meski baru kenal satu dua hari. Toh saya juga sadar, bahwa manusia nggak bisa hidup sendiri, dan mungkin beberapa hal lebih mudah dijalani ketika dua kepala punya tujuan serupa.

Tapi ya, urusan jodoh kan sama misterinya dengan kematian, mungkin saja saat ini saya terus merasa sangsi atau bahkan terkesan tidak peduli dan anti pada status, serta pada hubungan berpasangan. Tapi siapa kira, bisa jadi setelah ini saya justru sudah sepenuhnya yakin untuk berlabuh, karena ternyata sudah bertemu dengan dia yang dirasa ‘tepat’. 

Nggak hanya tepat menurut Tuhan, tapi dengan legowonya juga tepat dan bisa diterima oleh saya. Duh postingan ini kayaknya jadi banyak banget dan ngalor-ngidul. Tapi biarlah, saya juga sudah sepertinya sudah rindu untuk mengunggah tulisan-tulisan yang nggak harus selalu berkaitan dengan buku.

Dan kayaknya sih, saya sampai pada satu titik kesimpulan. Bahwa mungkin, saya yang belum siap menjalin hubungan. Bahwa mungkin, standar saya yang terlalu tinggi atas seseorang. Bahwa mungkin, saya yang memang belum nyaman berlabel status ini itu. Bahwa ternyata, urgensi saya pada pasangan bahkan pernikahan belum tiba di titik yang menjadi konsentrasi saat ini.

Eh bentar deh saya jadi penasaran, apa jangan-jangan sebenarnya status bagi beberapa orang juga hanya sebatas ada untuk mengurangi pertanyaan kapan, ya?




Kejebak Friendzone di Antologi Rasa [Movie Review]



Akhirnya tiba juga waktu di mana saya siap membagikan review ala-ala untuk Antologi Rasa. Asli ini review tersusah yang pernah saya buat. Karena Bella-nya dilema luar biasa coy sama film dan novelnya. Mau muji sepenuhnya, tapi ada kurangnya. Mau cerita kurangnya, tapi di buku tuh dahsyat sensasinya. Dan akhirnya, Bella tau apa yang terasa kurang dari si film ini~~~

Baiklah, mari dimulai dengan alur cerita novel dengan film yang hampir 90% sama. Dan semua bagian-bagian penting di novelnya memang berusaha ditampilkan. Bahkan saya nggak ngerasa ada penambahan lain di dalam film, kayak si Critical Eleven dulu, kecuali di ending tentu saja. Awalnya, saya nggak tau dan masih bingung nyari di mana sih letak nggak sreg-nya saya di film ini. Secara, untuk novelnya saya tuh suka banget, bahkan bacanya aja berulang-ulang dan tetap akan berakhir dengan sesak plusss derai air mata. Tapi pas nonton film ini, bahkan sampai di ending saya cuma, "hah udah nih? asli udah? yah gini aja, kok kentang?" 

sumber gambar: Soraya Intercine Films

sumber gambar: Soraya Intercine Films
Dan akhirnya setelah nulis ini saya jadi mikir ulang dan menemukan jawabannya *finally. Ternyata, letak kurangnya itu karena ada satu bagian yang buat saya penting, dan nampaknya kalau bisa ada di film akan makin yahud, tapi dipotong habis-habisan di film ini. Yang udah baca novelnya pasti tau, bahwa ketika Keara dan Harris lagi renggang tuh ada satu sosok baru yang makin bikin perasaan keaduk-aduk. 

Tapi kembali lagi, buku diadaptasi jadi film mah nggak bisa sepenuhnya memenuhi ekspektasi pembaca. Semua kembali pada durasi film, keputusan penulis dan PH-nya, serta sederet hal lain yang jadi pertimbangan. Jadi, mari hargai dan apresiasi kerja keras tim Antologi Rasa untuk film ini. Apalagi untuk sinematografi dan musiknya, hahhhhh, Soraya Intercine mah nggak pernah main-main. Sentuhan classy-nya pasti ada, jadi filmnya tuh berasa lebih mewah dan megah tidak hanya seperti sinetron di televisi. 

Nah di sisi lain, buat saya pribadi, banyaknya voice over di film ini yang memang ingin menggambarkan cerita dari sudut pandang masing-masing tokoh (re: kayak di novelnya) malah terkesan berlebihan. Maaf atuh ya, di awal aja saya udah langsung bosen karena liat penggalan-penggalan scene yang penuh VO itu. Rasanya tuh kayak baca ulang novel tapi ini versi dibacain orang lain. Dan nyawanya tuh kurang, nggak kayak denger orang ceritain hidupnya tapi kayak denger orang baca script.

sumber gambar: Soraya Intercine Films

sumber gambar: Soraya Intercine Films

Nyawa yang kurang sih nggak hanya di situ aja, tapi juga di chemistry antar pemain yang nggak terbangun kuat. Saya nggak jago dan nggak ahli juga buat akting, tapi melihat interaksi tokoh Harris-Keara-Ruly di film dan pas mereka lagi press conference atau di Instagram Stories tuh malah lebih mending yang di Instagram Stories dan PresCon deh. Kayak lebih asli dan nggak dibuat-buat, meskipun misalnya itu adalah gimmick. 

Kalau di film keterikatan emosi pas mereka harus adu akting tuh kayak ada jarak, sedikit kaku, dan berasa kurang dapat 'feel'-nya. Meskiiiiii, patut diacungi jempol juga untuk pendalaman karakternya yang wah luar biasa. Junot as Harris sudah tentu tengilnya naudzubillah. Refal as Ruly, ya udahlah yaaaa kharismanya mah kelihatan banget, mirip kayak waktu doi di Galih dan Ratna. Dan Carissa as Keara, sudah jadi sepenuhnya Keara yang independent dan mandiri, meski kalau di novel doi lebih easy going dan gampang flirting pun lebih mudah buat dijangkau. Sementara di film kan kayak yang anti sosial gitu kelihatannya.

Tuh kan, isi review saya komentar negatif kebanyakan, karena ya itu kenyataan dan pendapat saya atas apa yang saya rasakan. But overall, saya tetap masih bisa menikmati film ini sepanjang durasi kurang lebih 100 menit itu. Saya masih anteng duduk di kursi, sesekali ketawa, dan sedikit banyak gemes sama kelakuan Keara yang jauh lebih labil daripada abege. Berarti aktingnya keren kan ya? Orang saya aja jadi ikutan emosi nih mohon maaf haha. 


Saran dari saya sih, sesuai kayak tagline film ini. "Untuk yang sudah menemukan tapi tak bisa memiliki." Kalian harus coba nonton filmnya, untuk kemudian tertarik mendalami cerita mereka dan baca bukunya. Karena sungguh, tema yang diangkat itu hampir pernah dialami semua orang. Tentang jatuh cinta sama sahabat sendiri, eh sahabatnya suka sama sahabat yang lain. Tentang jatuh cinta diam-diam, kejebak friendzone, sampai dengan bucin yang akan melakukan apa pun asal orang yang disuka bahagia. Pokoknya mah sederet hal-hal klise namun berulang di percintaan ada semua di film ini. 

Kalau bicara tentang rate untuk film ini. Saya semakin susah-susah gampang menilainya, karena faktor yang dilihat juga jadi banyak, apalagi pembandingnya adalah novel dan film pendahulunya si Critical Eleven. 

Tapi baiklah, rate-nya: 7.5/10

Nggak mau sebenarnya kasih rate segini, harusnya bisa lebih tinggi, tapi ya gimana, nyawanya nggak dapat dan Bella tidak bisa bohong untuk tidak mengakui bahwa jauh lebih mending Critical Eleven daripada Antologi Rasa dalam hal eksekusinya. 

Sok, buat yang nggak percaya, gih coba ditonton, mumpung masih ada di bioskop. Salam dari Bella sang #teamHarris garis keras. Love you :*


Januari Berisik


Sudah berada di penghujung bulan Januari--eh sisa sehari lagi deh--dan rasanya tidak berasa (?) Naon sih, Bell -.-"

Taulah ya pasti maksud saya itu apa?! Intinya mah, Januari berlalu dengan begitu cepat sampai-sampai saya lupa kemarin sudah melakukan hal apa saja. Untungnya sih, mulai membiasakan diri untuk mengabadikan hal-hal itu di Twitter. Meski ya tetap aja kadang mangkir-mangkir juga buat ditulis karena ketiduran. Sebegitunya kekurangan waktu tidur banget Bella tuh :(

Mungkin kalau diibaratkan lagu, Januari itu kayak 'Thank You, Next'-nya Ariana Grande. Di bulan ini saya banyak dapat pengalaman yang menciptakan beragam rasa. Senang iya, sedih iya, kecewa iya, pusing-pusing juga iya. Tapi semua rasa itu akhirnya membentuk pelajaran yang nggak akan pernah saya sesali.

Saya betul-betul merasa Januari itu kayak lari estafet. Selesai satu, satunya lagi  sudah menunggu, bisa napas tenang saja rasanya sudah bahagia. Terus gimana dengan waktu istirahat? Hmm jangan harap banyak waktu. Entah benar atau tidak, tapi buat saya rasanya itu seperti sedang dikejar waktu, atau malah saya yang mengejarnya? 

Jika diingat lagi, sungguhlah bulan Januari menyita semua hari Minggu saya dengan kegiatan di luar rumah. Bahkan di hari-hari biasa pun, kegiatan saya selain di kantor dan di rumah juga masih ada. Nggak jarang, sampai rumah itu sekitar pukul 9 atau 10. Sampai kadang saya bertanya-tanya, "Ini serius gue kerjain sendiri? Serius harus kelar hari ini?"

Januari awal saya penuh dengan deadline yang berkaitan dengan si buku baru yang sebentar lagi akan mengudara. Di minggu kedua dan ketiga Januari, ada beberapa tawaran baik yang menarik untuk diiyakan, meski setelahnya baru mikir, "Dih orang gila, sekarang aja udah jarang tidur, itu semua diiyain mau nggak tidur-tidur apa gimana lo?"

Saya ingin cerita tentang tawaran-tawaran baik itu, tapi nanti saja, tunggu semuanya selesai baru pelan-pelan kembali dibagikan. Jadi marilah kita cari topik lain semisal Stefani Bella yang sedang belajar jadi manusia sesungguhnya. Berat yah, tapi kalau kata Kak Indi gitu.

Jadi di bulan ini saya bertemu dengan seorang kawan yang perjalanan untuk bisa mengenalnya itu sempit dan sebetulnya mutar-mutar aja. Oh ya anggap ini sebuah prestasi lain setelah Bella bisa nonton drama Korea. Karena sungguhlah, Bella itu nggak bisa ketemu stranger yang dijadwalkan. 

I mean gini, kalau ketemu orang asing di jalan, di kereta atau di tempat umum terus senyum dan sampai bisa saling ngobrol itu mah nggak masalah. Tapi kalau ketemu orang baru yang benar-benar baru, dengan janjian pula, Bella tuh jarang mau kecuali memang ada keperluan.

Misal, waktu dulu pertama ketemu penerbit, memang asing tapi tahu apa yang akan dibicarakan. Setidaknya nggak akan kehabisan topik pembicaraan. Setidaknya Bella tidak harus khawatir dan takut untuk berpikir hal yang sebetulnya semu.

Tapi kemarin, di awal tahun 2019 ini, akhirnya Bella melakukan hal itu dengan baik. Setidaknya cukup baik lah ya, meski saya tak tahu itu yang terbentuk di kepala si masnya tentang Bella kayak gimana. Ya bebas juga sih, kan yang penting bagaimana kita sebaik mungkin menilai orang lain, bukan sebaik apa akhirnya orang lain menilai kita. 

Oke, bicara tentang rasanya gimana? Wah jangan ditanya, susah, bingung, meski nggak sampai keringat dingin juga. Kalem, Bella tuh masih bisa sok cool ehehe. Awalnya saya kira akan krik-krik dan banyak hening, eh tapi dasarnya si Bella cerewet memang jadi aja semua dibicarain. Bahkan bisa untuk seterbuka itu bercerita tentang apa yang dulunya takut banget diceritain ke orang lain.

Sebenarnya sih, itu sebagai ajang uji coba juga, apakah saya pribadi sudah semenerima itu dengan diri dan masa lalu. Atau jangan-jangan semua yang saya tuliskan dan usahakan selama ini masih sebatas wacana. Bilang menerima diri padahal belum. Tapi Alhamdulillah, saya bisa menceritakan dengan baik tanpa harus berkaca-kaca, malah saya nggak sedikit menertawakan hal-hal tersebut.

Bagi saya, Januari ini punya banyak hal ajaib yang kalau saya ulang kembali di ingatan bikin senyum sekaligus menggeleng tak percaya. Ketemu banyak orang baru, melakukan hal yang saya kira tak mungkin, mengiyakan apa-apa yang kemarinnya saya pikir terlalu jauh, dan sederet hal ajaib lainnya.

Iya, Januari saya berisik, tapi saya bersyukur, punya begitu banyak orang yang melimpahi saya kebaikan meski rasanya badan sudah terseok dapat tekanan dan deadline dari mana-mana. Gapapa, semoga berkah dan semoga bisa jadi kebaikan yang kian membaikkan! :)

Dah ah, jangan lupa nabung, tanggal 5 Februari nanti saya akan buka pemesanan spesial untuk kamu yang selalu spesial menanti karya saya. Surprise? Love you!

nb: Bahaya laten kenal penulis itu semuanya bisa dijadiin konten, bhay! 

Kenapa? Ya karena postingan ini terinspirasi oleh mas-mas yang kemarin ngajak ketemu, terus udahannya malah ngasih tahu akan pergi lagi selama 3 bulan. Maaf maaf nih, jadi maksud ngajak ketemu tuh buat salam kenal apa salam ditinggal?

Better Late Than Never bersama Memories of the Alhambra [K-Drama Review]


Memories of The Alhambra adalah drama korea pertama yang aku ikutin selama masa penayangannya. Bukan marathon pas dramanya udah selesai, tapi benar-benar ikutin tiap minggunya. Gila, sebuah apresiasi luar biasa buat diri sendiri setelah akhirnya Bella bersedia nonton drama korea semenjak 2018 kemarin. 

Awalnya, selalu protes kalau dipaksa nonton drama korea yang panjangnya naudzubillah berepisode-episode. Belum lagi malas kalau harus nunggu-nunggu gitu per minggunya, tapi karena setting tempatnya Memories of The Alhambra ini di Granada, ya gila aja lo kalau Bella nggak tertarik mah. Apalagi sinematografinya, duh mari mengagumi keindahan dan keeksotisan Granada di malam hari~



Pun kebetulannya baru selesai mengerjakan naskah dan ingin memberikan hadiah untuk diri sendiri, maka mulailah menonton episode pertama Memories of The Alhambra. Walau di awal sempat bingung dengan Hyun Bin yang tiba-tiba udah K.O, tapi menjelang akhirnya malah hanya bisa melongo dan nggak sadar udah berakhir. 

Kayak ngerasa, "Wah gila sih, tadi itu gue nonton apaan? Kok keren? Jadi tadi itu teh game doang? Jadi, gimana lanjutannya lagi?" Se-excited itu karena akhirnya menemukan lagi tontonan yang bisa bikin kepala mikir. Karena kayaknya udah lama deh nggak nonton film yang seperti ini. Iya emang, Bella-nya aja yang kudet~




Kalau tadi tertarik buat nonton itu karena setting latarnya, tapi setelah lihat episode pertama sampai keempat tuh jadi makin banyak alasan kenapa pengin nonton. Pertama, karena nampaknya kisah romantis unyu-unyu berkya-kya itu akan jarang muncul. Kedua, mengusung genre fantasy dan yang dibahas tentang game AR pula.

Ketiga, menyadari bahwa ahjussi Hyun Bin punya lesung pipi yang tiada dua meski sudah berumur--eh ini abaikan saja haha. Keempat, akting pemainnya yang wah bikin geleng-geleng kepala. Kelima, plot twist di akhir episode yang bikin selalu bertanya-tanya dan akan terjebak dengan jawaban di next episode-nya. Dan juga sederet alasan lainnya yang bikin aku betah nonton sampai ke episode terakhirnya (re: episode 16)




Bicara tentang chemistry dua tokoh utama mah nggak usah diragukan lagi lah ya. Mereka ini nggak perlu banyak ketemu dalam satu scene, nggak perlu romantis ala-ala, bahkan skinship aja bisa dihitung. Tapiiii.... itu aja udah bikin pengin gigit-gigit bantal karena nyeri dan manis dalam satu moment. Kayak gimana kalau genre romantis yang diusung? Hhhhh, diabetes deh ah pasti!






Akting semua tokoh di film ini mah udah deh ya juara! Hyun Bin sama Park Shin Hye juga udahlah, jagoan! Tapi mungkin yang disayangkan adalah masih kurang strong aja untuk karakter lead female-nya di dalam cerita. Andai nih andai, andai doi ikut main dalam game juga seperti lead male-nya, mungkin akan lebih terasa ajib lagi. Karena, sungguhlah, akting PSH saat di episode terakhir sewaktu dia login game lagi itu, mantul sekali~~~


Belum lagi soal theme song. Duh, sebelas dua belas kayak A Star is Born, yang memang sebegitunya ciamik untuk menambah apik filmnya. Balik lagi ke alur cerita si Memories of The Alhambra. Ya namanya juga fantasy, yang nggak masuk akal bisa jadi mungkin. Yang udah diprediksi, bisa banget melesetnya. Sama kayak di ending, yang membuat orang-orang yang sudah merelakan waktunya nonton selama 2 bulan jadi kecewa.

Aku pribadi sih nggak ada masalah dengan endingnya--terlepas akan ada season 2 atau nggak. Karena buatku ya kalau memang udah sampai situ, ya udah cukup. Selain juga karena dari awal episode udah persiapan banget untuk endingnya yang ya udahlah ya terserah penulis skenarionya aja. Karena mau gamau, drakor udah terbiasa begitu, kan? Ini juga salah satu yang bikin gemes, kenapa mereka selalu bisa bikin drama yang keren sepanjang alur dan sejak awal, tapi endingnya selalu bikin ngerasa kurang. Syalalalalala, manusia mah emang suka ngeluh kurang terus ehehe~



Jadi mending gausah kasih ekspektasi tinggi-tinggi untuk ending Memories of The Alhambra. Selain juga karena, mau berharap sebesar apa sih sama genre fantasy? Beberapa west film pun banyak yang bikin cengo dan bingung untuk ending-nya. meski memang nggak semua, tapi cukuplah untuk akhirnya maklum dengan writer Nim yang agak anti mainstream dan doyan bikin penonton emosi hehe.

Kurun waktu 7 bulan untuk menghasilkan film seperti Memories of The Alhambra sih perlu banget untuk diapresiasi. Jadi kesampingkan dulu endingnya. Karena people seriously, film ini tuh overseas. Yang mana crew-nya beda-beda, dan pastinya banyak melibatkan orang serta pasti complicated selama pembuatannya.



Coba deh liat efek CGI dari film ini, wah gila sih bikin melongo dan ingin main juga. Bahkan gamenya sendiri bisa se-real time itu. So, asli nih, hanya gara-gara ending yang nggak sesuai keinginan dan ekspektasi tuh jadi membuat kita lupa sama keseluruhan cerita dan kerja kerasnya yang terlibat di Memories of The Alhambra? Bahkan sampai jadi Trending Topic, eh gapapa deng, itu berarti memang banyak menantikan drama ini.

Bagiku, semua karya itu nggak bisa sempurna, dan nggak semua karya bisa memenuhi keinginan setiap penikmatnya. Tapi buatku pribadi, dengan tidak melihat logika dan miss di beberapa episode Memories of The Alhambra aku masih ikhlas-ikhlas aja untuk kasih nilai 8,5/10.





Karena ya, drama ini berhasil bikin penasaran untuk nge-next episodenya terus-terusan. Dan itu berarti membuat Memories of The Alhambra layak untuk ditonton. Persis kayak kata-kata yang ada di ending

"Kepercayaan adalah keajaiban yang bisa mengubah dunia, bukan teknologi."


Percaya aja, kalau pun nggak ada season 2, berarti akhir Memories of The Alhambra ya memang cukup sampai di situ. Dan kalau ada season 2 itu berarti memang ada yang belum selesai dan masih harus dilanjut menurut kacamata si penulis skenario dan tim produksinya.

Dari Memories of The Alhambra ini juga kita akhirnya bisa belajar kalau better late than never, nggak sih? Mending disampaikan daripada sok unsaid, iya nggak? Haha. Kenapa? Nonton gih, biar tahu kenapanya! Oke, udahan segitu aja review ala-alanya. Sila nonton sendiri kalau penasaran, kenapa drama korea ini sukses bikin aku yang awalnya nggak tertarik menanti drama, eh ini jadi ketagihan setiap minggu. 

Dan btw, setelah menulis ini, entah kenapa logikaku jadi tercerai berai kalau flashback semua alur ceritanya. Happy weekend dan selamat menonton!


Workcation?! Di sini aja, gimana?



Ciat udah 2019 aja, gimana minggu awal tahunnya? Menyenangkan nggak? Kalau masih dirasa abu-abu, santai aja, hidup nggak melulu buram kok. Nikmati dan jalani, toh itu aja kan yang sebenarnya bisa kita lakukan sebelum akhirnya menerima, right?

Anyway, udah pada akrab kan ya pasti dengan kata staycation?

// stay.ca.tion // 
a vacation spent in one’s home country rather than abroad, or one spent at home and involving day trips to local attractions.




Singkatnya, konsep staycation menurut gue pribadi lebih ke menghabiskan waktu luang di hotel atau penginapan—mau dekat dari rumah atau jauh sekalipun ya bebas. Walau di luar negeri sana (kalau nggak salah), staycation termasuk dengan mengunjungi musem-museum dan lokal pariwisata di wilayah tempat tinggal kita. Nah, buat yang nggak punya cuti banyak, waktu libur pun nggak ada kecuali Sabtu-Minggu atau bahkan Minggu doang. Ini bisa jadi salah satu alternative menyenangkan buat rehat dan mengurai penat.

Dan karena itu pula, semakin ke sini semakin banyak pengusaha dan penggiat bisnis kuliner untuk memperindah dan mempernyaman tempatnya. Selain didesain biar instagram-able, mereka juga sering menyatukan kafe dengan ruang kreatif terbuka ditambah lagi dengan tersedianya tempat menginap. Meskipun selama ini kan kita udah sering lihat ya beberapa hotel berbintang dilengkapi dengan restoran dan lalalili lainnya. Tapi sekarang, penginapan-penginapan kelas menengah ke bawah pun mulai merambah ranah lucu-lucu gemay itu. Seperti halnya salah satu tempat di Bandung yang pernah gue kunjungi beberapa waktu lalu.

Santai, ini bukan lagi endorse kok (lagian siapa gue di-endorse beginian haih), ini tuh cuma lagi mau sok ala-ala aja ngulas salah satu tempat yang pernah gue kunjungi beberapa waktu lalu. Kalem ya, ini murni emang pengen belajar nulis hal lain selain naskah. (BTW SIAP-SIAP NABUNG BUAT BULAN DEPAN YA! XD)


Yap, Summerbird Bed and Brasserie

Letaknya kira-kira hanya 10-15 menit dengan jalan kaki dari Stasiun Bandung. Serius nih, karena waktu itu gue memang ke tempat ini jalan kaki. Dari Stasiun belok kiri, terus belok kanan, baru belok kiri lagi, dan sampailah di tempatnya. (Tuh asli masih hapal kan, orang deket banget)




Jangan dikira gue ke sini buat liburan ya. Ini aja foto-fotonya ada karena dari pagi ke malam gue nggak ke mana-mana. Benar-benar cuma di bawah, di tempat makannya aja. Mulai dari say hi sama penerbit, ngobrolin kepenulisan, bahas naskah, sampai ketemu dengan teman-teman. Itu kenapa, gue nyebutnya workcation!

Buat gue pribadi, tempat ini lebih dari sekadar menyenangkan buat dijadikan lokasi kerja sambil nenangin pikiran. Kenapa gitu?

1. Karena lokasinya dekat sama Bandar Udara dan Stasiun. Yang dikejar waktu lumayan kan tuh bisa nggak tua di jalan hanya untuk duduk-duduk cantik yet serius. 

2. Suasananya tenang, teduh, dan bikin betah ngelamun lama-lama. Meski pengunjung yang makan bukan cuma mereka yang menginap, tapi mereka nggak berisik. Ada juga yang pakai tempat ini untuk bridal shower malah. Kurangnya paling satu, lagunya itu-itu aja yang diputar, krayyy. Ah ya, workspacenya yang di lantai atas juga asyik. Syahdu~ 



 
3. Makanannya enak huhu. Untuk ukuran makan berat, kalian merogoh kocek 60ribu/orang juga udah kenyang banget. Karena porsinya besar banget sungguh. Nah, buat yang mau ngopi-ngopi cantik juga nggak perlu jual ginjal kok, harganya masih wajar.

4. Instagram-able! Bahkan, di sudut pojokan tangga aja bawaannya mau difoto. Dan, kalau kalian naik mobil terus parkirnya di bagian dalam, pastiin lihat ke atas. Karena, kalian akan langsung keingat sama Greenhost Boutique di Jogja.


5. Selain interior desainnya yang unik, pelayanannya juga ramah pun kebersihan di tiap kamarnya udah bisa banget bikin senyum bahagia dan lelah jadi hilang.

Jadi, untuk yang cari rate penginapan di bawah 500ribu dengan tempat yang nyaman pun fleksibel untuk ke mana-mana, langsung aja bisa ke sini. Lokasi persisnya di Cicendo (terdeteksi kok di maps, tenang hehe) Mau mengerjakan pekerjaan tapi nggak kayak lagi kerja? Mau cari tempat yang atmosfernya nggak bikin under-pressure, tapi bosen ke kafe atau tempat kopi warna ijo? Atau mau ketemuan sama kolega, tapi waktu yang dimiliki singkat dan males buang-buang waktu untuk bolak-balik tempat nginap? Ya udah coba ke sini aja sesekali, dijamin ketagihan!


Anyway, maaf ya nggak ada foto kamarnya, karena emang ke kamar cuma numpang mandi dan tidur sekejap doang haha. Tapi cari di Traveloka atau Google juga tersedia kok, dan yang pasti tema tiap kamar katanya beda-beda. Plussssss, tulisan di tiap pintu kamarnya tuh wah banget pokoknya HAHAHA.



© Hujan Mimpi
NA