Memulai Oktober dengan pertanyaan,
“Asli ini tuh udah hampir jelang akhir tahun? Setahun ini ngapain aja mohon maaf.”
Saya sadar ada begitu banyak wacana, banyak harapan, banyak banget hal yang kayaknya sebatas di kepala tapi eksekusinya memble. Ya gapapa sih sebenarnya, toh manusia memang sukanya begitu. Tapi balik lagi, ketika melihat sekitar kok rasanya sayang banget ya udah menyia-nyiakan banyak waktu dengan hal yang entah apa.
Mau mengutuk diri sendiri rasanya nggak tega. Karena pasti saya punya segudang alasan yang membuat saya mau nggak mau akhirnya memaafkan diri sendiri. Sebel? Nggak juga. Ya udah aja gitu rasanya.
Namun sesungguhnya menjelang akhir tahun gini, saya akan selalu diliputi dengan perasaan insekyur yang kelewat nggak penting. At least buat saya sebenarnya sih nggak penting, tapi mungkin buat orang tua, saudara, atau mungkin mereka yang selintas kenal—tetangga, teman kantor, teman main—menjadi sebuah hal yang cukup penting.
Tentang status.
Nggak bisa dipungkiri, setiap pergantian tahun pasti umur juga akan berganti. Dan ya, pertanyaan pun mau tidak mau akan bergeser menjadi lebih banyak kata, “Kapan?”
Dan pertanyaan yang paling sering diajukan tentu saja, “Kapan menikah?”
Sesuatu yang menurut saya sangat pribadi dan tidak sepantasnya ditanyakan oleh mereka-mereka yang selintas kenal. Bahkan kadang, saya juga merasa orang tua tidak selaiknya menanyakan hal tersebut kepada anak-anaknya, terlebih memaksakan keinginan mereka untuk kita menyegerakan hal sakral tersebut.
Well, saya paham betul bahwa menikah berarti meneruskan garis keturunan. Salah satu yang mungkin dicemaskan orang tua ketika anaknya tak kunjung menikah. Katanya sih, takut bila nanti mereka tiada, anaknya tidak ada yang menjaga dan mengurus lagi.
Padahal menurut saya, tanggung jawab atas diri sendiri adalah perlu. Sehingga tidak sampai memberatkan bahkan merepotkan orang lain. Tapi sudahlah, mari kesampingkan salah satu alasan tersebut, karena saya sebetulnya sedang ingin merenung perihal apa pentingnya status untuk diri sendiri. Bukan berdasarkan anggapan dan penilaian orang lain akan kebutuhan kita.
Selama dua dekade saya hidup, seingat saya deretan mantan saya itu tidak banyak. Masih bisa dihitung dengan satu tangan bahkan. Iya, semoga saya tidak salah. Tapi kalau urusan dekat dengan siapa hingga dikira jalin asmara, itu sih beda lagi ya. Nah, selama beberapa kali jalin kisah bersama itu juga, saya sebetulnya tidak menemukan perbedaan berarti dengan saya ketika sedang sendiri.
Saya masih senang jalan ke sana sini sendiri, sehingga tidak perlu bergantung apalagi menaruh harap dan berujung kecewa. Saya masih tidak bisa memperhatikan atau diperhatikan secara berlebihan dengan pesan-pesan yang sejatinya template belaka. Semisal pertanyaan, udah makan? Udah salat?
Dan sederet pertanyaan yang seharusnya nggak perlu ditanyakan pun, saya pasti sudah mengerjakannya. Lha wong itu semua kebutuhan dan kewajiban, kan?
Pernah saya berpikir mungkin komunikasi saya yang salah. Saya yang seharusnya membiasakan diri untuk menerima perhatian seperti itu. Tapi lagi-lagi, saya bertanya ke diri sendiri, apakah seseorang katakanlah pacar memang bertugas sebagai alarm pengingat? Tidakkah semestinya, ada hal lain yang lebih perlu dimiliki oleh mereka yang memutuskan bersama?
Bicara tentang pasangan, buat saya pribadi, seseorang itu harus bisa diajak komunikasi apa saja. Karena toh, tujuan akhirnya sendiri untuk menua bersama. Lalu bagaimana mungkin sanggup terus bersama, bila komunikasi saja tak bisa dibangun baik?
Ya nggak melulu harus yang bisa diajak diskusi hal berat, namun juga bisa diajak bicara tentang sesuatu hal yang nggak penting bagi orang lain. Tapi sejatinya, bisa begitu melegakan ketika dibicarakan dengan pasangan.
Dibanding dengan pertanyaan kontrol makan, salat, dsb, saya lebih suka ketika ada seseorang yang bertanya hal sepele seperti, macet nggak tadi di jalan? Hari ini ada kejadian lucu apa? Atau juga, ia yang menceritakan tentang kegiatannya dalam satu hari tersebut. Susah ya? Mungkin bisa jadi itu juga penyebab track record saya dalam menjalin hubungan tidak banyak.
Balik lagi pada hal yang mengganggu saya belakangan ini; Sebenarnya seberapa pentingkah status pacaran hingga menikah bagi seseorang?
Sampai detik ini jujur saya masih belum dapatkan jawaban pastinya. Untuk jawaban-jawaban berkaitan dengan agama kiranya bolehlah disingkirkan dulu. Karena logika kadang nggak melulu bisa dicekoki dengan sesuatu yang agamis. Tapi bukan berarti dengan begitu saya dibilang tidak percaya Tuhan dan ajaran dalam kitabNya.
Ya pokoknya buat saya sekarang, semua masih abu-abu, dan saya merasa belum laik bersama dengan seseorang karena belum bisa membahagiakan diri sendiri. Saya tidak pernah ingin sampai menaruh beban pada seseorang untuk bisa membahagiakan saya, di saat saya sendiri belum tahu definisi bahagia itu apa.
Being
single is a high.
Pernah saya bilang
gitu, pernah juga saya baca mengenai hal tersebut. Dan nyatanya hal tersebut
memang benar. Nggak ada yang salah ketika kita memilih untuk sendiri. Karena
nyatanya banyak banget hal yang bisa kita lakukan untuk mengenal, memahami dan
menambah kualitas diri.
Pun nggak juga ada yang
salah ketika seseorang memilih untuk berpasangan dan nggak sedikit kadang yang terkesan
tergesa-gesa memutuskan bersama meski baru kenal satu dua hari. Toh saya juga
sadar, bahwa manusia nggak bisa hidup sendiri, dan mungkin beberapa hal lebih
mudah dijalani ketika dua kepala punya tujuan serupa.
Tapi ya, urusan jodoh
kan sama misterinya dengan kematian, mungkin saja saat ini saya terus merasa
sangsi atau bahkan terkesan tidak peduli dan anti pada status, serta pada
hubungan berpasangan. Tapi siapa kira, bisa jadi setelah ini saya justru sudah
sepenuhnya yakin untuk berlabuh, karena ternyata sudah bertemu dengan dia yang
dirasa ‘tepat’.
Nggak hanya tepat
menurut Tuhan, tapi dengan legowonya juga tepat dan bisa diterima oleh saya.
Duh postingan ini kayaknya jadi banyak banget dan ngalor-ngidul. Tapi biarlah,
saya juga sudah sepertinya sudah rindu untuk mengunggah tulisan-tulisan yang
nggak harus selalu berkaitan dengan buku.
Dan kayaknya sih, saya sampai
pada satu titik kesimpulan. Bahwa mungkin, saya yang belum siap menjalin
hubungan. Bahwa mungkin, standar saya yang terlalu tinggi atas seseorang. Bahwa
mungkin, saya yang memang belum nyaman berlabel status ini itu. Bahwa ternyata,
urgensi saya pada pasangan bahkan pernikahan belum tiba di titik yang menjadi
konsentrasi saat ini.
Eh bentar deh saya jadi
penasaran, apa jangan-jangan sebenarnya status bagi beberapa orang juga hanya
sebatas ada untuk mengurangi pertanyaan kapan, ya?
Kapan lulus, kapan kerja, kapan menikah, kapan punya anak, kapan punya rumah, kapan punya cucu, gitu aja terus sampek kapan kamu mati.
ReplyDeleteakan selalu ada pertanyaan kapan yang menghantui hehe :))))
Delete