Al Fine. [ track 15 ]

 Utara's POV

 

Dulu, gue suka banget lembur. Alasannya? Supaya gue nggak perlu kepikiran hal-hal yang nggak penting. Apalagi sampai kangen-kangen yang nggak jelas, sama orang-orang yang nggak bisa untuk dipeluk.

Ya itu dulu.

Tapi kalau sekarang, gue rasanya mau marah kalau udah nggak bisa pulang tenggo. Apalagi sampai nggak bisa memastikan Rasi pulang dengan selamat. Bukan berarti gue nggak bersyukur dengan kesempatan kerja yang gue punya, tapi kesal juga kalau seminggu ini kerjaan gue bolak-balik lembur terus.

Biasanya kalau udah lembur dan kecapekan gini, gue lebih sering menginap di hotel yang ada di dekat kantor bareng sama beberapa teman gue yang lainnya. Karena demi apa pun, otak dan tenaga gue udah cukup terkuras habis sampai nggak ada sisanya lagi buat ganti-gantian injak kopling dan rem.

Lagi-lagi, itu dulu.

Karena kalau sekarang, cara satu-satunya buat re-charge energi gue di hari Jumat ini ya cuma ketemu Rasi. Gokil ya jatuh cinta tuh! Bayangin aja, cuma dengan lihat wajah orang yang kita sayang doang, semua rasa capek yang tadinya mau bikin badan copot, bisa langsung hilang. Bahkan otomatis bikin senyum terkembang.

Kayak gue sekarang ini yang lagi jongkok merhatiin Rasi tidur di sofa. Kebetulan tadi gue udah izin untuk mampir, dan dia bilang supaya langsung masuk aja, tanpa perlu membunyikan bel atau mengetuk pintu. Maka, jadilah gue di sini. Mengelus rambut dan memperhatikan wajahnya yang kelelahan, tapi kecantikannya justru nambah berkali-kali lipat.

Tangan gue masih mengelus rambutnya, ketika dia membuka matanya perlahan.

"Dit," Rasi menyapa gue dengan serak di suaranya, membuat gue otomatis tersenyum dan mengangguk sebagai balasan atas sapanya.

Gue berdiri dan hendak menuju kamar mandi, namun tiba-tiba tangan Rasi menahan langkah gue. Membuat gue mau tak mau berbalik menatapnya, dan langsung dihadiahi sebuah pelukan.

"Hei kenapa kamu, Ras? Tumben banget. Aku belum mandi lho, biasanya kamu marah kalau aku nggak bersih-bersih dulu."

Bukannya menjawab pertanyaan gue, Rasi justru mengeratkan pelukannya, membuat gue juga membalas peluknya, namun dengan kening yang sedikit berkerut. "You okay?"

"Bentar dulu, Dit. Mau peluk dulu ih!"

"Iya boleh banget, tapi nanti ya, aku mandi dulu."

"Ntar aja."

Refleks gue tertawa mendengar ucapannya. Karena jujur baru kali ini Rasi mengizinkan gue memeluk dia, padahal gue belum mandi sama sekali. Ya, as you know, Rasi tuh selain sehat juga bersih luar biasa. "Kenapa kamu tiba-tiba clingy, Ras?"

"Gapapa. Hm... Dit, kamu ngerokok ya?"

"Nggak," lekas gue menjawab pertanyaannya karena emang gue hari ini nggak menyentuh nikotin itu sama sekali, walau kerjaan di kantor udah bisa banget bikin gue menjedotkan kepala di tembok. "Ini karena temen-temenku kayaknya. Aku kalau nggak--"

Belum sempat gue menyelesaikan kalimat, Rasi justru menempelkan hidungnya tepat di dada gue. "Enak."

Berani jamin, muka gue saat ini benar-benar melongo setelah mendengar kalimat Rasi barusan, "Haa? Gimana?"

"Wanginya enak, Dit. Bau rokok, bau parfum kamu, sama baunya kamu," Rasi mendongakkan kepalanya menatap ggue, sembari tersenyum.

Andai dia udah biasa kayak gini, gue pasti nggak akan menatapnya bingung, bahkan sampai harus khawatir dengan dirinya. "Kamu beneran kenapa, Ras?"

"Gapapa, Dit," jawabnya dengan gelengan kepala dan ingin kembali memeluk gue, namun lebih dulu gue tahan. Gue perhatikan dirinya dari atas sampai bawah, dan baru gue baru menyadari kalau dia juga belum berganti pakaian kerja.

"Kamu kok belum ganti baju, Ras? Belum mandi juga ya kamu?"

Ia mengangguk, lalu kembali membenamkan wajahnya ke dada gue. "Kok tumben? Kamu kenapa? Udah makan?"

"Males."

"Males buat jawaban yang mana tuh?"

"Dua-duanya."

Gue meraih kedua tangannya yang sejak tadi melingkar di pinggang, sedikit memaksanya untuk melepas peluk. Walau sejujurnya nggak rela, tapi gue lebih khawatir melihat sikapnya yang berbeda seperti ini. "Kamu kenapa? Coba jelasin dulu."

Ia hanya menatap gue dengan kedua matanya yang terlihat begitu lelah. "Capek doang, pusing aja kepala aku sama kerjaan di kantor, Dit."

"Lucu banget."

Rasi menautkan kedua alisnya, "Kenapa lucu?"

"Baru kali ini aku denger kamu ngeluh, biasanya 'kan nggak pernah." Kali ini sepenuhnya Rasi melepaskan tangannya dari genggaman gue lalu menjauh, dan kembali duduk di sofa.

"Di kantor lagi sibuk banget ya, Ras?"

"Hmm."

Gue menyusul dan duduk di sampingnya, "Ya udah kamu mandi sana, mau aku siapin bathtub aja sekalian, Ras?"

"Nggak!" dengan cepat ia menggeleng, lalu menolehkan kepalanya menatap gue. "Yang ada aku tidur di kamar mandi, kalau harus pakai bathtub-nya."

Kadang gue lupa, Rasi yang ada di depan gue ini tuh udah balik ke mode awal-awal kuliah dulu. Yang nggak ada jaimnya lagi, yang bisa clingy tiba-tiba, yang bawelnya juga kadang kebangetan, bahkan yang ngambeknya juga selalu masuk akal.

"Kamu ngantuk banget, ya?" Rasi mengangguk sebelum menyenderkan kepalanya di pundak gue. "Mandi dulu sana, abis itu makan, baru kamu tidur. Malem ini aku aja yang masak."

Rasi lekas mengubah duduknya menatap gue, "Dit, males banget sumpah!"

Helaan napas akhirnya lolos dari bibir gue. Bukan karena lelah, tapi jujur kalau dia begini terus yang ada gue tergoda dan membiarkan dia nggak mandi, dan nggak makan sampai pagi.

Bukannya enak itu badannya, yang ada besokannya dia malah sakit. Tambah panik aja gue yang ada kalau dia begitu.

Akhirnya gue mengawali untuk berdiri, dan menyodorkan tangan kepanya. "Iya tau kamu capek dan males. Tapi berdiri dulu yuk, Ras. Mandi dulu kamunya. Aku juga mau mandi, baru habis itu masak. Gih sana kamu masuk kamarmu."

Rasi masih bergeming, ia justru menarik tangan gue untuk kemudian memeluk gue kembali. Mau tidak mau, gue justru tertawa menatap sambil mengelus rambutnya. "Kamu tau? Aku nggak akan nolak kalau kamu mau gini terus, Ras. Tapi sayangnya, ini udah malem, makin malem kamu mandi, makin kasihan badan kamunya. Ditambah belum makan juga, nanti malah jadi sakit."

Gue kembali mengusap surai hitam legamnya, "Mandi dulu, Ras."

Kini giliran Rasi yang menghela napas menatap gue sebal, membuat gue membantunya untuk berdiri dan memintannya beranjak ke kamar. "Gih sana, i promise you, setelah mandi kamu aku kasih something delicious."

 

***

 

Writer's POV

 

Utara lebih dulu selesai membersihkan diri, dan kini tengah sibuk bergerak ke sana sini di dalam dapur, ketika Rasi keluar dari kamarnya. Perempuan yang mengenakan piyama tidur itu menatap Utara yang saat ini berjalan menuju ke arahnya; di meja makan.

"Semangat dong kamunya! Malam ini 'kan mau makan masakan aku."

Rasi kembali gulirkan senyumnya menyambut ucapan Utara yang sudah duduk di sampingnya, dan menyodorkan satu piring mashed potato dan juga steak daging padanya. "Dih apaan tuh senyum doang? Mahal nih masakan aku, soalnya jarang-jarang aku yang masak."

"Iya percaya, Dit, percaya," Rasi hanya menjawab singkat lalu menekuri piringnya.

Utara yang sudah lebih dulu menyantap beberapa sendok makanan di piringnya akhirnya menolehkan kepala pada Rasi. Ia letakkan alat makannya, lalu meraih tangan Rasi yang sejak tadi memainkan mashed potato, tanpa menyendokkan apa pun ke mulutnya. "Mau aku suapin aja? Biar nggak dimainin itu makanannya? Pamali, Ras, kalau digituin makanannya."

Malam ini sebetulnya menyenangkan bagi Rasi. Bisa menikmati waktu bersama Utara, bahkan bisa kembali mencicipi masakannya yang jauh lebih enak dibandingkan saat ia sakit kemarin. Ya setidaknya menurut Rasi, level kemahiran memasak Utara sudah berkembang sedikit lebih baik.

Kedua anak manusia ini menikmati makan malam mereka dengan hening yang tidak membuat canggung. Sebetulnya, ada alasan tersendiri mereka tetap larut dengan piring makan masing-masing. Ini semua sebab kebiasaan keduanya yang sepakat untuk nikmati rezeki yang dititipkan Sang Maha Pemilik Hidup, tanpa harus menginterupsinya dengan percakapan-percakapan yang mungkin bisa mengurangi nafsu makan, pun mengganggu kenikmatan dari makanan tesebut.

 Utara dan Rasi adalah dua manusia yang masih begitu percaya, obrolan selepas mengisi perut jauh lebih baik daripada obrolan di tengah kegiatan makan itu sendiri. Ya walau sebetulnya, hal itu hanya bisa dilakukan jika keduanya bersama. Mengingat tak semua orang bisa pahami hal yang sama dengan kebiasaan mereka.

Tujuh menit berselang, keduanya membalikkan garpu dan juga pisau mereka masing-masing. Saling memandang, namun percikkan terima kasih lewat senyum yang dituangkan. Utara yang tadi selesai lebih dulu akhirnya bangkit, usai melihat Rasi sudah menandaskan piring dan juga gelas minumannya.

Sang puan yang sejak tadi memangku lelah akibat pekerjaan pun menghentikan gerakan tangan lincah Utara. "Biar aku aja besok, Dit."

Utara tersenyum sembari menyingkirkan tangan Rasi setelah mengenggam jemari gadis itu sebelumnya, "Aku aja sekalian, Ras. Gapapa kok."

"Besok aja, Dit."

Yang diminta hanya tertawa kecil dengar juwitanya kembali seperti saat ia tiba tadi. Dengan tangan yang sudah mengangkat dua tumpuk piring, dan juga dua buah gelas, ia alihkan pandangan juga gerakkan dagunya pada kompor yang tadi digunakan. "Look, what i've done. Itu kalau aku biarin, besok pagi mood kamu bisa jelek karena lihat berantakan. Udah gapapa, dikit doang kok ini."

Lelaki itu tahu betul, Rasi tak pernah suka menunda pekerjaan, apalagi untuk urusan sederhana yang tak perlu libatkan banyak tenaga seperti ini. Utara tentu saja tidak keberatan untuk mencuci piring, sebab biasanya salah satu cara untuk dia menenangkan diri di antara lelah dan resahnya ialah membersihkan sesuatu. Entah itu mencuci piring, mencuci pakaian, mencuci mobil, atau bahkan membongkar ulang isi kamar dan lemari.

Baru saja Utara meletakkan piring, dan ingin menyalakan keran air, Rasi lebih dulu menghampiri dan memeluk dirinya dari belakang. Mendapat serangan yang tiba-tiba seperti itu, jujur saja masih menimbulkan detak tak beraturan di dalam degup Utara. Hingga yang ia lakukan berikutnya ada mengusap tangan Rasi lalu berbalik menghadap jelitanya.

"Pantesan jadi clingy, kamu anget gini, Ras."

Rasi menengadahkan kepalanya menatap Utara dengan pandangan yang sengaja dibuat memelas. "Makanya nanti aja nyuci piringnya," pinta gadis itu sedikit manja.

Jujur saja, setelah keputusan untuk membuka diri dan mencoba untuk membuka hati beberapa minggu lalu, Rasi pelan-pelan menampakkan kebiasaannya yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun, termasuk sahabat-sahabat dekatnya.

Melihat Rasi yang begitu manja di hadapannya, mau tak mau membuat Utara gemas dan menyentil ujung hidung bangir perempuan tersebut. "Kamu mau minum obat? Atau mending duduk aja dulu di sana?" telunjuk kanannya ia arahkan pada sofa di depan ruang televisi.

Membuat sang puan hanya bisa mencebikkan bibirnya kecewa, karena pilihan Utara tak ada yang menyenangkan untuk dilakoni. Utara terkekeh lalu mengacak rambut Rasi, sebelum menelisik dalam pada manik mata Rasi. "Gapapa, ya, kalau kamu duduk dulu? Nonton sendiri dulu kamunya, aku bentar doang kok ini." Rasi baru saja melepaskan tangan, namun Utara kembali menariknya. "Minum air mineral yang banyak sekalin, Ras. Biar turun panasnya."

"Hmm, iya," balas Rasi lirih, membuat Utara hanya tersenyum.

 

***

 

Writer's POV

 

Sudah lewat sepuluh menit berselang, namun Utara masih bolak-balik membersihkan kitchen island, membuat Rasi dilanda bosan yang cukup untuk membuatnya berulang kali menghembuskan napas dengan berat lewat mulut.

Rasi yang biasa dikenal orang-orang memang tak pernah tunjukkan keluh, bahkan rasa lelahnya. Sahabat-sahabatnya sendiri bahkan acap kali mengeluhkan ia yang terlalu positif, untuk ukuran manusia yang lewati hari di antara kantor-jalanan Ibukota yang tak pernah sepi-dan juga apartemen.

Namun untuk malam ini, di hadapan Utara yang akhirnya duduk di sampingnya kembali, Rasi tunjukkan dirinya yang juga hanya manusia biasa. Yang bisa merasa lelah sebab sudah seminggu tak pernah pulang tepat pukul lima. Dan juga bisa merasakan sakit di kepala, sebab terlalu penuh memikirkan pekerjaan yang bercokol di ruang-ruang memori. Hingga tangannya tak lepas dari kepala dan juga pelipis, untuk memijatnya berulang-ulang.

"Sini," Utara meminta Rasi untuk merebahkan kepala di pundak sebelah kirinya, yang langsung disambut anggukan super cepat milik sang hawa. "Kamu capek banget, ya? Di kantor ada masalah apa emang, Ras?"

"Nggak ada masalah. Eh ya ada sih, masalah kecil-kecil, tapi emang ini tuh cuma lagi ribet aja. Aku kebetulan jadi leader, buat proyek baru gitu deh, Dit."

Diamnya Utara, membuat Rasi paham bahwa lelaki itu tengah berikan ruang untuk ia menggulirkan cerita. Tak ayal hal tersebut, justru membuat Rasi melingkarkan tangannya pada tubuh Utara lalu membenamkan kepalanya di dada bidang lelaki itu.

Utara sempat terhenyak menatap Rasi yang kini mengubah posisi duduk menghadap dirinya. Ada debar yang sejatinya tak bisa dia sembunyikan, sebab gembira juwitanya mau bercerita padanya, diiringi dengan sikapnya yang juga menyenangkan untuk ditenangkan.

"Kemarin aja, habis kamu pulang dari sini, aku ada concall di jam 11, Dit. Terus tadi pagi, aku langsung meeting sampai tiga kali. Beneran deh, baru kali ini aku rasanya pusing banget, Dit."

Utara tersenyum maklum sembari mengusap dan memainkan rambut Rasi. Di sudut isi kepalanya tengah ia pinta dirinya untuk tetap temani Rasi di sini, membiarkan gadis itu bercerita sepanjang malam, hingga lelap memangku keduanya. Tapi di sudut lain pikirannya, ia sadar betul untuk segera pula, agar bisa beristiraha dengan segera, tanpa perlu interupsi kepulangannya.

Tak kuasa tentukan pilihannya sendiri, Utara akhirnya ajukan pertanyaan tersebut pada sang juwita. "Hari ini, kamu mau aku pulang atau nggak, Ras?"

Sempat ada jeda beberapa menit, sebelum Rasi menghirup pelan napas dari dekap sang tuan, dan duduk tegap menatap dwinetra Utara. "Gapapa kamu pulang aja, Dit. Tapi bentaran lagi ya, i need you right now. Aku lagi pengen ditemenin dulu aja."

I need you. Sebuah ucap yang terdengar begitu manis dari bibir Rasi. Membuaat Utara tersenyum, "Aku nggak pulang kalau gitu."

"Dit."

"Wherever or whenever you need me, i'll make sure, i'm always here, Ras. Di samping kamu, nemenin kamu."

Tidak pernah ada yang lebih manis dibandingkan rasa dibutuhkan. Setidaknya bagi Utara untuk sekarang demikian. Hingga saat perempuan yang sudah taklukkan hatinya itu gemakan kata butuh, Utara hanya punya satu kesimpulan di benak. Ia tak ingin Rasi menjauh, bahkan tak sanggup untuk menjauh dari sang juwita malam ini.

Rasi yang tengah rengkuh semua lelah, berakhir membalas tatap Utara yang malam ini terlihat amat teduh. Seolah ingin mengabarkan pada dirinya, bahwa saat ini fokus lelaki itu hanya ingin berikan nyaman, untuk rebahkan semua lelah milik Rasi. Tanpa terganggu dengan lingkaran hitam di bawah dua mata lelaki itu. Yang tandakan bahwa Utara pun rasakan lelah yang hampir sama dengan dirinya.

Hening cukup lama mengunci tatap keduanya, sampai kemudian Utara mengulurkan tangan yang kali ini mendarat di pipi kiri Rasi, membiarkan ibu jarinya mengelus permukaannya lembut. Pandangannya menilik setiap inci dari wajah Rasi, sebelum akhirnya dibenamkan penuh pada dwinetra legam milik perempuan kesayangannya itu. "Kamu boleh cerita apa pun ke aku, Ras. Capeknya kamu sekalipun boleh. Jangan disimpen sendiri, jangan juga ditutup-tutupin. Dibagi, biar aku dengerin dan ringanin beban kamu juga."

"Aku baru pertama kerja, Dit," jawab Rasi dengan tangan kanan yang kini berada di atas tangan Utara yang masih rangkum pipi kanannya. "Baru kali aku bener-bener yang pertama kalinya fokus kerja aja. Jadi semua emosinya numpuk gitu, Dit."

"I know," hanya itu jawaban yang Utara berikan. Tangan kirinya masih betah mengelus pipi Rasi, sementara tangan kanannya kini menggenggam tangan kiri Rasi. "Kamu gamau coba buka usaha sendiri aja? Biar lebih fleksibel atur jam kerjanya, biar lebih enjoy lagi juga, dan nggak sampai overload."

Sang puan tertawa kecil, "Aku tuh suka banget kerja di Alive, Dit. Cuma gatau, hari ini lagi manja aja. Efek pms juga kali, ya. I don't know, maaf kalau aku clingy ke kamu."

"Yakin?" Rasi berikan anggukan paling yakin yang ia punya. "Kalo kamu udah nggak nyaman bilang ya, Ras. Biar nanti aku bantu cari alternatif kerja lain atau sekalian aja kita bikin bisnis bareng. Wujudin impian kamu dan sama Tari. Dulu kalian mau bikin usaha bareng, 'kan?"

Pikiran Rasi melambung pada gurauannya dulu dengan Utari, yang ternyata didengar dan diingat oleh Utara. Ada hangat yang menjalar di relungnya. Dari dulu ia tahu betul Utara adalah orang baik, yang menyayanginya dengan tulus. Sesuatu yang sering kali ia anggap tak pantas untuk dirinya dapatkan. Dan di malam ini, ia kembali disadarkan bahwa perasaan Utara masih begitu dalam untuk dirinya.

"Yang penting itu nyamannya kamu dulu, Ras. Kalau kamu udah nggak nyaman, jangan dipaksa, oke? Nanti jadinya nggak ikhlas."

Rasi anggukkan kepalanya usai dengar kalimat demi kalimat Utara. Seulas senyum yang begitu indah tergambar di bibir dan matanya, membuat Utara terhipnotis dengan waktu yang kali ini seolah tengah berhenti di antara keduanya.

"Ras, izinin aku jaga kamu terus, ya. Izinin aku sayang sama kamu, dan kasih semua yang terbaik yang aku mampu buat kamu. Maybe I'll give you nothing but my love and we can cherish every moment. I just, i just wanna make sure that you're happy, Ras."

Bagi Utara saat ini, buang jauh-jauh upaya untuk pelan-pelan mendekati Rasi dan membawa hubungan ini pada satu jalin terikat. Karena melihat Rasi yang malam ini berani tunjukkan rapuh dan lelahnya, Utara takkan pernah rela bila gadis ini menghilang lagi dan pergi dari jangkauannya.

Manik mata Utara masih menelusuri tiap inchi wajah Rasi, bahkan Rasi tahu bahwa pandangan lelaki itu kini berhenti tepat di bibirnya. Dan ia juga lebih dari sekadar tahu apa yang akan mungkin terjadi selanjutnya. Namun sebelum itu terealisasikan, ia lebih dulu mengigit ujung bibirnya sendiri sembari berujar, "Wouldn't I be a fool if I turn it down?"

Malam ini perempuan itu mengaku jatuh. Tidak dengan tiba-tiba, tapi juga tidak ingin terburu-buru. Ia paham dengan pilihannya, meski ia tahu ada takut dan resah yang juga memeluknya. Tapi entah mengapa, ia percaya jika Utara bisa temani semua jalannya untuk urai semua perasaan itu.

Mendengar jawaban serta pertanyaanRasi tadi, senyum lebar Utara kembali terbit. He leans forward with one hand lifting her chin, and he slowly cut the distance between them. Tonight, for the first time for them, he kisses her lips. Softly, quietly, no pressure.

Detak jarum jam di dinding bersatu padu dengan debar di dadanya yang juga tak kalah berisik, namun berangsur tenang ketika Rasi juga balas kecupannya, dan lingkarkan kedua tangannya di leher Utara. Di sela ciuman keduanya, ada senyum yang masing-masing hadirkan. Seolah mereka tengah sampaikan semua perasaan yang selama ini hanya ada tersimpan rapi di dada, tanpa berani disuarakan dengan lantang.

Sesekali mereka melepaskan tautan itu untuk menatap satu sama lain, mencoba meyakinkan diri masing-masing bahwa ini yang memang dinanti dan selama ini saling dicari. Hingga dering alarm di ponsel Utara--yang biasa dia pasang bila sudah waktunya pulang--membuat keduanya tertawa dan saling rengkuh dalam pelukan masing-masing.

Al Fine. [ track 14 - C ]

 

Rasi's POV

"Ras, sejak kapan kamu punya kakak?"

Saya baru saja melangkahkan kaki menuju kitchen island untuk meletakkan barang belanjaan, ketika Utara sudah menatap saya dengan pertanyaannya yang membuat saya kebingungan. "Kakak? Kakak apa?"

"Kakak ya kakak, Ras."

"Dit, kamu tahu 'kan aku anak tunggal?"

Utara diam sambil menatap saya tepat di kedua manik mata. Membuat saya juga seketika bertanya-tanya apa yang kali ini ada di pikirannya, hingga menanyakan sesuatu yang membingungkan. "Mantanmu ada berapa deh? Selain Bintang ada siapa lagi aja?"

Kali ini saya menghentikan gerakan tangan saya untuk mengeluarkan sayur, buah, pun bahan makanan lainnya ketika dengar pertanyaannya yang semakin tak masuk akal. "Gimana, Dit?"

Utara melangkahkan kakinya mendekati saya, lalu memegang kedua lengan saya sembari bertanya pelan dengan tatapannya yang menenangkan namun dipenuhi pertanyaan. "Seriusan, gapapa kok kalau ada banyak. Tapi kamu masih berhubungan baik gitu ke mereka?"

Sungguh, untuk pertama kalinya semenjak mengenal Utara, rasanya baru kali ini saya kebingungan dengan pertanyaan yang dia ajukan. Kebingungan karena saya tak tahu asal usul pertanyaannya, juga kebingungan sebab tak tahu harus menjawab seperti apa, karena dia sendiri pun sudah tahu jawabannya.

"Bentar-bentar," saya menurunkan tangannya untuk kemudian saya genggam. "Mantan apa sih yang kamu maksud? Mantan gimana, Dit?"

Helaan napasnya terdengar, bersamaan dengan dia yang kini membantu saya memasukkan belanjaan ke dalam kulkas dan juga lemari penyimpanan. "Mantanmu ada yang orang keren banget, ya, Ras?"

"Keren?" saya sontak menaikkan sebelah alis, lalu menolehkan kepala kepadanya. "Mantanku bukannya emang keren?" jahil saya bertanya padanya demikian.

Utara yang semula hendak meneguk jus buah yang tadi pagi saya buat pun kini menolehkan kepala, seraya berdecak sebal. "Sombong!"

Saya tertawa melihat dia yang sebal dengan gurauan yang saya buat. "Lagian apa sih? Ini tuh kamu ngomongin siapa? Jangan cemburu-cemburu lagi, please. Kemarin udah lho kamu cemburu nggak jelas sama postingan ig doang."

Sungguh, bila ini harus dikaitkan dengan rasa cemburu yang Utara punya, rasanya saya harus angkat tangan. Karena saya memang tak pandai untuk mengurai kecemburuannya. Apalagi untuk memahami rasa cemburunya yang jujur kadang terasa tidak masuk akal. Kemarin saja, bisa-bisanya dia cemburu hanya sebab unggahan yang saya pun tak sadar, bahkan saya tidak tahu maksud dari unggahan itu apa.

Lantas, harus seperti apa saya meyakinkan dia bila saya saja tak paham dengan perilaku orang lain, yang dianggapnya tengah memancing perhatian saya?

Utara berjalan menuju sofa dan meninggalkan saya lebih dulu, "Kamu lagian mantannya banyak sih, Ras."

"Hahaha, perlu aku sebut list nama mantan dan korban kamu, Dit?"

Kini giliran dia yang menoleh, dan meletakkan dagunya di atas sofa sembari menatap saya dengan raut sedih di wajahnya. "Ya nggak gitu."

"Terus?" tanya saya sembari merapikan ecobag dan meletakkan di samping wastafel, lalu mencuci tangan untuk menyusul Utara beristirahat di sofa.

"Kamu punya mantan yang sekarang terkenal banget, ya? Chef? Restorannya banyak? Crazy Rich-nya Indonesia gitu nggak?"

Demi penguasa bumi dan bulan, saya tersedak ketika mendengar ucapan Utara barusan. Ingatan saya seketika berkelana pada chat Dewa yang sempat ia kirimkan kemarin, namun belum sempat saya balas hingga hari ini.

Saya duduk di samping Utara sambil tersenyum menatap dia yang masih menekuk wajahnya. "Kamu ketemu Mas Dewa di mana?"

"Beneran dia mantan kamu????" Utara lekas duduk menyerong menghadap saya dengan sebelah kaki yang ia naikkan. Membuat saya mau tidak mau akhirnya tertawa, sebab kecemburuannya yang lagi-lagi salah sasaran.

"Coba jawab aku dulu, kamu ketemu di mana, Dit?"

"Kamu dulu yang jawab, dia mantan kamu kapan? Sebelum sama Bintang, ya?"

"Dia bilang emang dia mantan aku?"

Utara menggaruk kepalanya, lalu menatap saya dengan tatapan yang begitu polos. "Nggak sih. Tapi dia ngaco banget, masa dia bilang dia kakakmu. Orang tuh ya kalau mau ngibul ya mikir dulu gitu, lagian kalau dia ngaku mantan kamu juga aku nggak masalah."

"Nah ya udah."

"Ya udah apa sih, Ras?"

Saya menoleh menatapnya yang kini terlihat gelisah. "Makanya aku tanya dulu, Dit. K amu ketemu Mas Dewa di mana? Terus ceritain dulu dia ngomong apa aja sama kamu?"

"Excited lagi 'kan 'kan 'kan," Utara melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menatap malas pada televisi yang baru saja ia matikan.

Jujur saya ingin sekali menjahili Utara atas tingkahnya ini. Tapi sayangnya, tawa saya lebih dulu hadir sebab tak sanggup lagi menahan diri atas hal lucu yang saat ini harus saya hadapi. Utara memicingkan matanya menatap saya yang tengah memegang perut, karena lelah tertawa. Membuat saya lekas beranjak mendekat ke arahnya, lalu memeluk lengannya erat dan menyandarkan kepala di pundaknya.

"Gausah cemburu, Dit. Mas dewa itu-"

"Gausah pake mas mas segala deh," potongnya membuat saya menatapnya dengan senyuman yang terulas di bibir.

"Aku pakai Mas itu karena emang dia mas buat aku, Dit. Dia udah kayak kakak aku sendiri," Utara menolehkan kepalanya menatap saya yang juga masih tetap melihat dirinya. "Serius, Dit. Dia itu udah kayak kakak buat aku. Kita tuh kenal dari kecil. Orangtua mas dewa itu sahabat papa mamaku."

Pandangan saya jatuh pada jemari Utara yang kini sudah saya kaitkan dan genggam dengan erat. Berusaha menyalurkan tenang padanya yang kini memangku resah. "Udah lama aku lost contact sama dia, apalagi sejak dia pindah-pindah juga karena orangtuanya pun punya kerjaan yang sama kayak papa mama. But turns out, kita ketemu lagi di Australia."

"Dia udah punya pacar? Atau udah punya istri?"

Refleks saya mencubit pipi Utara yang sejak tadi tak henti bertanya. "Kenapa emang? Kamu cemburu sama dia?"

Utara kali ini diam, hanya diam dan melepaskan jemari kanannya untuk kemudian membawa saya ke pelukannya. Saya balas mendekapnya erat, sembari menepuk pundaknya beberapa kali. "Gausah cemburu, aku nggak akan sama dia, Dit."

Utara melepaskan pelukannya, lalu menunduk menatap saya. "Kalau dijodohin?"

Pertanyaannya membuat saya tersenyum sebab ingat dengan ucapan Dewa di minggu lalu. "Kamu pasti cocok sama dia deh. Soalnya bercandaan kamu ini sama aja kayak dia tahu nggak?" balas saya seraya menyentuh hidung bangirnya.

"Itu bukan bercanda, Ras. Aku nanya serius."

Pandangan saya jatuh pada dwinetra Utara, lalu menyusuri setiap sudut wajahnya yang selalu berhasil kepakkan kupu-kupu di perut, tiap kali saya harus berhadapan dengannya apalagi dengan jarak sedekat ini. Saya tersenyum, sebelum kembali memeluknya dalam posisi menyamping. "Believe me, it's not gonna happen."

Utara masih diam dan mengelus rambut saya. "Dia belum punya pacar, Dit, Dia juga belum punya istri, and of course he's totally straight. Tapi ya emang nggak akan bisa sama aku, our parents know about it too."

Sisiran jemari Utara di rambut saya seketika berhenti, "Berarti dulu kalian pernah mau dijodohin?"

Ingatan saya kembali berkelana pada kejadian dua tahun silam. Pada satu waktu di mana saya dan Dewa tengah menikmati jamuan makan malam di kediaman orangtuanya. Malam di mana ketika kalimat itu terlontar sebagai candaan, yang jelas-jelas lekas kami tolak, sebab tak ingin gurauan itu berubah jadi boomerang bagi kami berdua bila akhirnya diseriusi oleh mereka.

"Hampir, but no. We're against them, Mas Dewa sih yang jelasin ke orangtuanya dan orangtuaku, kalau ya kita nggak bersedia buat dijodohin."

Kalau bukan karena Dewa, saya tidak pernah tahu bagaimana caranya melewati malam itu dengan tetap baik. Dewalah yang menyelamatkan saya, bahkan kami dari perjodohan omong kosong yang sudah tak selaiknya ada di zaman sekarang. Perjodohan yang mungkin bisa merusak hubungan saya dengan Bintang, yang ternyata tetap kandas meski tanpa ada perjodohan apa pun.

"Kamu sama dia sama kayak kamu ke Athaya, Ras?"

"It's a big different, Dit."

"Kalau sama Athaya, chance barengnya masih ada, ya? Tapi kalau sama Dewa Dewa ini nggak? Gitu, Ras?"

Saya tertawa lalu menangkup kedua pipinya dengan satu tangan, membuat bibirnya manyun karena tekanan yang saya berikan di pipi kanan dan kirinya. "Kamu tuh cemburu lagi, ya? Nggak usah mikir macem-macem deh, Dit."

Utara menarik tangan saya, lalu menahannya di udara sambil menatap saya begitu intens. Membuat degup di dada saya justru berpacu lebih cepat. "Ya gimana nggak mikir macem-macem coba, kalau ternyata kenyataannya emang gitu?"

Lekas saya menarik tangan dan sedikit menjauh dari Utara, dan mengambil sebotol air mineral di meja. Berusaha menenangkan diri atas sikapnya barusan, "Coba jelasin ke aku, kamu ketemu Mas Dewa di mana?"

"Di KResNus."

Saya mengerlingkan mata padanya, "Dia yang punya."

"I know," Utara merogoh saku celananya, dan mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam yang kini dia letakkan di atas meja. "Gara-gara dia kasih itu, makanya aku tau."

Senyum saya terkembang menatap nama Dewandaru dengan tinta emas di atasnya. Sikap antinya pada media, memang membuat orang-orang lebih mengenal nama lengkap dan sederet prestasinya, dibandingkan wajah dan sosoknya aslinya. "Terus dia bilang apa?"

"Dia kenalin dirinya sebagai kakak kamu, terus dia bilang kamu ceritain soal aku banyak ke dia. Like a lot, aku ngutip kata-katanya dia tuh."

Anggukan kepala saya hadir menyetujui ucapan Utara, "Emang."

"Emang apa?"

"Aku emang cerita soal kamu banyak banget ke dia. Dan kayaknya, rahasia aku sama dia semua deh, Dit." Saya mendekatkan diri pada Utara, lalu berbicara di telinganya tanpa berbisik. "Tapi kamu nggak boleh tanya-tanya ke dia!"

Utara sontak menoleh, menipiskan jarak di antara kami. "Why? Kamu cerita jelek ya soal aku?"

Pertanyaan Utara barusan membuat saya memiliki alasan untuk menjauh, dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. "Nih," saya menyerahkan ponsel kepada Utara, "Itu chat terakhir dia habis ketemu kamu, he likes you, Dit."

Beberapa menit kekosongan mengisi di antara kami, membuat saya hanya menatap Utara dengan bertanya-tanya, hingga ia kemudian letakkan ponsel saya kembali di atas meja. "Aku kayaknya banyak nggak tahu kamu ya, Ras?"

Saya mengernyit menatapnya bingung. "Aku nggak tahu kamu kenal sama siapa aja. Nggak tahu kamu deket sama siapa aja, dan aku kayaknya... Banyak nggak tahu soal hidup kamu pas di aussie."

Entah memang karena saya terlalu berlebihan dan perasa, tapi saya menangkap nada kecewa dan sedih dari ucapan Utara barusan. Namun enggan untuk buat percakapan ini semakin awkward, saya lekas menanggapinya ucapannya dengan senyum dan juga jawaban. "That's why kita pdkt nggak sih sekarang?"

Saya kembali mendekapnya erat, berusaha menenangkan khawatir yang dia punya semampu yang saya bisa. "Nanti kapan-kapan ketemu Mas Dewa deh. Bet you gonna likes him like Athaya. Dia aja sekarang suka banget sama Mas Dewa, he adores him so much."

Utara memegang dagu saya untuk kemudian mendongakkan kepala menatapnya, "Athaya?"

Kedua mata kami saling bertubrukan, membuat saya hanya sanggup mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaannya yang terdengar cukup terkejut.

***

Utara's POV

"Nanti kapan-kapan ketemu Mas Dewa deh. Bet you gonna likes him like Athaya. Dia aja sekarang suka banget sama Mas Dewa, he adores him so much."

"Athaya?"

Mata gue dan mata Rasi saling bertatapan dengan jarak yang cukup dekat. Anggukan dia beri sebagai jawaban atas pertanyaan kaget gue barusan. Ya lo pikir aja sendiri, siapa yang nggak kaget kalau Rasi bawa-bawa nama Athaya. Bahkan ternyata Athaya udah lebih dulu kenal Dewa, dibandingkan dengan gue.

Lagi-lagi gue enggan melepaskan pelukan dari Rasi, dan dengan tololnya kali ini gue juga tidak bersedia memutus kontak mata kami. Bahkan hal berikutnya yang gue lakukan hanya meniadakan jarak di antara kami, dan mendaratkan kecupan di keningnya. Seraya bertanya di dalam hati...

Ini aku yang emang ngerasa kita asing. Atau, aku yang terlalu jauh dan udah lama nggak kenal kamu ya, Ras? Is it right, Ras? Hubungan ini beneran harus dilanjut 'kan, Ras?

Al Fine. [ track 14 - B ]

 

Utara's POV

Setelah sekian tahun jarang ikut acara makan malam dengan keluarga besar, hari ini gue akhirnya memutuskan untuk hadir di antara para tante, om, dan juga sepupu-sepupu gue. Memandang sekeliling yang juga ramai dengan keluarga lain yang saling berbagi kehangatan, lewat obrolan yang saling dilontarkan.

Gue jadi sadar dan akhirnya tahu, kenapa tempat ini selalu disebut sebagai 'rumah' oleh mereka yang memenuhi daftar list pengunjung. Andai ada Utari, gue yakin dia akan sering bolak-balik berkunjung ke sini. Hanya untuk sekadar duduk menatap keluarga lain berkumpul, atau bahkan menikmati hidangannya yang tak gagal memanjakan lidah.

Langkah kaki gue baru akan menuju ke kamar mandi, ketika seorang pria memegang lengan gue sambil tersenyum. "Sorry, Utara, right?"

Ini kalau tempatnya nggak borju, gue kayaknya udah buru-buru mikir dia sales yang mau nawarin produk MLM ke gue. Tapi sayangnya, jam tangan mewah yang ada di lengan kirinya membuat gue sadar, bahwa manusia di depan gue ini bukan sembarangan orang. "I am, tapi siapa, ya?"

Dia mengulurkan tangannya, tanpa sedikit pun meluruhkan senyuman. Gue rasa ya, ini orang tahu betul bahwa senyuman dia tuh manis dan punya pesona. "Dewa, kakaknya Rasi."

"Hah? Rasi? Kakak?"

Ini kalau gue aktor, pasti juru kamera udah memainkan tombol zoom in zoom out buat menyorot ekspresi gue yang seratus persen kelihatan zonk. Buktinya aja nih, manusia yang tadi sebut namanya Dewa ini udah ketawa. "Dia sering cerita tentang lo, like a lot."

Asli gue masih bingung karena Rasi itu setahu gue anak tunggal. Terus kenapa bisa manusia satu ini bilang dia kakaknya? Ya kali kakak tapi lahirnya belakangan, apa deh? Gue masih belum bisa mencerna semuanya dengan baik, tapi dia udah memberondong gue dengan basa-basi lainnya. "Lagi sama keluarga ya ke sini?"

Kalau aja ngomong nyablak sama orang yang baru dikenal itu sopan, udah pasti gue akan teriak bilang ya menurut lo aja, mana mungkin di KResNus bisa buat ngomongin soal bisnis.

"Hmm iya," jawab gue singkat sambil memperhatikan dia yang kini menatap ponselnya yang bersuara.

"Duh, I want to talk to you, but I can't leave my appointment too. So, catch up later, ya?"

Lo ngerti nggak sih kalau ketemu sama orang sksd tuh harus ngapain? Karena jujur, gue sekarang masuk ke zona bengong bego, saking bingungnya harus bereaksi apa sama manusia di depan gue ini.

"If you don't mind, hubungin gue, ya." Si manusia yang namanya Dewa Dewa ini mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya sambil senyum ke arah gue. Tapi belum sempat gue membaca kartu namanya, dia lagi-lagi menepuk lengan gue. "Bingung banget, ya? Lo tanya Rasi aja kalau emang bingung."

Ponsel di genggamannya kembali berdering membuat gue dengan dia menjatuhkan pandangan ke arah yang sama. "Well, I gotta go, jagain adek gue, ya, Utara!" ucapnya sebelum berpamitan dan melenggang pergi meninggalkan gue yang cuma bisa diam kehabisan kata-kata.

Selepas kepergian dia, gue kembali berjalan ke kamar mandi sembari membaca satu persatu informasi yang tertera di sana. Yang seketika itu juga membuat gue rasanya mau menghilang aja dari dunia, saking malunya habis bertemu dengan pemilik restoran ini dengan tampang bloon.

Dewandaru Imba Gumilar.

Pantas aja dari tadi gue lihat beberapa orang menunduk sambil menyapa dia. Ya orang dia yang punya. Tapi sebentar deh, yang bikin gue bingung adalah gimana caranya dia kenal Rasi? Terus kenapa dia ngaku-ngaku kakaknya Rasi? Karena setahu gue, Rasi bukan bagian dari trah Gumilar pun konglomeratnya ibukota itu. Tapi kok...dia bisa bilang gitu, ya?

Al Fine. [ track 14 - A ]

 

Rasi's POV

Buat saya, punya kesempatan untuk bisa bebas bercerita itu langka. Bukan karena tidak pernah percaya pada orang lain, tapi kadang kala saya merasa bila tak seharusnya membebani mereka dengan hal-hal yang saya punya. Sebab mereka sendiri pasti punya hal berat dan rumit di hidupnya. Mungkin, itu yang kemudian membuat saya jarang bisa berbagi keluh kesah. Membuat saya pada akhirnya hanya terbiasa mendengarkan, dan minim didengarkan.

Tapi, setelah berjumpa dengan Dewa, kesempatan itu ada untuk kemudian sedikit meringankan saya. Namanya Dewandaru, salah seorang sahabat atau mungkin lebih baik disebut kakak namun tak sedarah. Dengannya, banyak cerita saya bergulir begitu saja. Seolah memang semuanya ada untuk dibagikan, tanpa perlu takut bila memberatkan.

Saya sepenuhnya menantikan hari ini tiba, ketika beberapa waktu lalu ia mengabari saya tentang waktu luang yang ia punya. Yap, mungkin ini juga salah satu hal yang membuat saya juga suka bercerita padanya. Adanya waktu temu yang jarang tersedia, bahkan komunikasi yang tak selalu bisa terjaga, seperti membuat cerita-cerita saya berhamburan meminta dikisahkan.

"Kamu nunggu kelamaan nggak, Ras?"

Sapaan pertamanya terdengar begitu saya mendudukkan diri di mobilnya. Saya hanya menggeleng menatapnya, yang hari ini mengenakan kemeja coklat muda yang lengannya sudah dilipat asal hingga siku, dengan celana chino berwarna hitam andalannya. "Nggak kok, aku juga baru turun."

"Padahal tadi harusnya kamu tunggu aku sampe lobby dulu aja, Ras."

Saya tertawa menatapnya yang juga menatap saya dengan rekahan senyumnya. "Apa sih, Mas? Gausah lebay, oke?"

Ia menggelengkan kepala enggan mendebat, "So...you ready?"

"Kalau aku bilang nggak, berarti aku turun lagi aja kali, ya?"

Kali ini gantian dia yang tertawa, sembari menginjak gas dan melajukan kendaraan. "Nggaklah, aku culik aja kamunya."

"Aku lapor ibu Asa aja gimana?"

"Oh kalau itu aku yang langsung dicoret dari KK."

"Hahaha!"

Kami tertawa bersama, dan saya baru saja menyadari bahwa sudah lama rasanya tak tertawa seringan ini dan khawatirkan apa pun yang terjadi. Entah di hari esok, maupun di hari kemarin. Rasanya bertemu Dewa memang sebuah keputusan yang tepat, setelah sekian banyak drama berhasil saya lalu.

"How's life, Ras?" Dewa menyandarkan tubuhnya dan melepas kemudi, ketika kemacetan sempat-sempatnya menyapa kami di hari Sabtu pagi ini.

"So so?"

Ia menolehkan kepalanya, menyipitkan kedua mata, lalu menampilkan ekspresi tidak puas, "Kok nggak yakin gitu?"

Saya menghela napas. Menahan diri untuk tidak menyuarakan semua lelah, pada temu kami yang baru kembali tercipta, setelah hampir satu tahun kesibukan menghalangi kami untuk sekadar bertegur sapa. "Ya mau gimana lagi, karena emang selayaknya hidup aja sih, Mas. Kamu sendiri gimana? Gimana hidup dengan banyak kesibukan, Mas?"

Sebelah tangannya lekat memegang kemudi, sedang tangan satunya ia gunakan untuk mengacak rambut saya. "Makin dikejar buat nikah, hahaha." Dewa menggeleng, dengan senyum dan tatapan yang kali ini sedikit dipenuhi khawatir. "Kayaknya kalau tahun ini aku nggak ngenalin calon, udah pasti tahun depan aku dijodohin deh, Ras."

"For real? Mas, ih jangan ngaco, omongan tuh doa," saya menepuk lengannya pelan.

Bohong kalau saya tidak terperanjat atas ucapannya barusan. Karena di kepala saya tak sekalipun hal itu terlintas untuk diucapkan olehnya. Tapi melihat senyumnya lenyap, dengan tatapan yang tak berubah, membuat saya mengerti jika ia tidak sedang bercanda.

"Hal yang udah pasti nggak sih, Ras? Udah bukan doa ini tuh, udah lebih ke ikhlas aja sekarang."

"Rich people problems sih yaa. I can't relate, Mas."

Menjadi putra tunggal keluarga Gumilar, membuat Dewa tidak akan pernah lepas dari tanggung jawab dan tuntutan untuk hidup baik bahkan mendekati sempurna. Termasuk soal memilih pasangan hidup, yang harus memenuhi ragam kriteria agar dianggap pantas sebagai pendamping. Sesuatu yang saya tak akan pernah bahkan enggan untuk saya rasakan.

Dewa menoleh pada saya sekilas, "Heh kamu juga pasti kayak gitu ujungnya, Ras. Udah ada penggantinya yang kemarin itu belum?"

Pertanyaan Dewa barusan sontak membuat saya terdiam sejenak, sebab teringat akan Utara dan keputusan yang saya ambil malam itu. Bagaimana akhirnya saya menerima uluran tangan Utara untuk membiarkannya masuk ke dalam hidup saya. Bagaimana Utara meyakinkan saya untuk pelan-pelan saling mengenal, tanpa tergesa terikat pada sebuah status, namun juga tak main-main dengan apa yang dijalani.

Bagaimana lelaki itu mengiyakan permintaan saya untuk tak mengumbar apa yang kami pilih sekarang, tanpa bertanya dan curiga dengan alasan yang tak saya ungkapkan. Bahkan bagaimana perubahan sikap saya dan dirinya beberapa hari belakangan, membuat saya mau tak mau tersenyum dan mearasakan hangat di pipi.

"Bentar-bentar," Dewa membuat saya menoleh, "Kok mukamu merah, Ras? Jangan bilang udah punya yang baru, ya? Iya?"

Sungguh, kali ini tawa saya kembali hadir usai lihat ekspresi Dewa yang kelewat penasaran. Kalau saya harus merahasiakan semua ini pada sahabat-sahabat saya, mungkin Dewa adalah pengecualian. Karena saya sungguh tak yakin bila sanggup membohonginya, apalagi harus berkilah pada dia yang sudah jauh lebih pandai berkilah.

"Heiiiiiiiiii! Tell me, sweet cheeks. Who's the lucky man?"

Ia tak henti bertanya, membuat saya kali ini duduk menyerong menghadapnya sambil memamerkan senyum yang sekiranya sanggup menggambarkan perasaan saya. "Sahabat lama aku, Mas."

Matanya membulat sempurna sambil menggeleng tak percaya, diikuti dengan senyum cerah yang juga tandakan bahagianya. "Who? Athaya?"

Lekas saya menggelengkan kepala ketika nama Athaya yang justru disebutkan. "Absolutely not, yakaliiiiii, Mas!"

"Why not?" Dewa menengadahkan tangan kirinya sambil melihat saya, "He's falling deep for you, Ras."

Kedua jemari saya saling tertaut untuk kemudian membuat saya menggenggamnya erat, sembari menatap Dewa yakin bahwa bukan Athaya orangnya. "Nggak ih,"

"Did you forget our last conversation after I met him at Sydney?"

Untuk pertanyaan ini jelas saya menggelengkan kepala dan menatap lurus pada jalanan. Saya ingat betul pertemuan Athaya dan Dewa kala itu. Pertemuan yang tidak pernah direncanakan, namun akhirnya terjadi dengan menyenangkan, sebab keduanya terlihat begitu akrab seperti karib lama.

Tak lama berselang setelah Athaya kembali ke Jakarta, saya ingat betul bila Dewa lekas menemui saya untuk ungkapkan semua pemikirannya soal Athaya. Tentang hal-hal yang akhirnya saya akui dan juga saya ceritakan pada Dewa. "We're not talking about it anymore, Mas."

Dewa tergelak, sambil mengetukkan jemari ketika lagu Youth milik Troye Sivan berputar, "Hahahaha, ya udah terus siapa?"

Saya tersenyum menatap layar ponsel yang kini menampilkan namanya tertera, berserta dengan pesan yang dia ucapkan sebagai sapaan di hari ini. Senyum saya jelas tak mungkin hilang setiap kali Utara mencurahi saya dengan perasaan yang dia punya, entah lewat tingkah laku, bahkan hanya sekadar kata-kata seperti saat ini.

"Ah I know! One of your bestfriend's brother, right?" Seruan Dewa membuat saya menatapnya dengan buncah senang yang tak bisa ditutupi. "Oh damn! Faktor umur kayaknya deh, aku sampe lupa namanya, siapa deh, Ras?"

"Hmmmm, siapa, ya?"

"Namanya siapa, Rasi?"

"Kepo!" Saya menanggapinya dengan candaan yang sontak membuatnya menoleh malas, dan fokus kembali menatap jalanan. "Kamu tuh ya, Mas, baru juga ketemu yang dibahas malah aku doang. Kapan cerita soal kamunya coba, Mas?"

"Hahaha, ask me then. Mau tahu apa?"

"Kamu cerita, aku males nanya."

"Sambil brunch deh yuk," ajaknya setelah menghentikan mobil tepat di sebuah kedai kopi yang cukup nyaman. Membuat saya mengernyitkan kening dan menatapnya dengan heran.

"Baru juga jalan bentar, udah mampir makan aja ih. Susah nih jalan sama chef, heran banget semua tempat kayaknya harus diicip."

"Job shaming nih kamu!" timpalnya sembari mengambil ponsel dan membuka kunci pintu.


***


Ada jeda panjang sejak saya dan Dewa memutuskan singgah untuk nikmati brunch favorit kami masing-masing. Saya dengan Croissant dan Iced Americano, sedang Dewa dengan Ginger Ale dan juga Blueberry Cheesecake-nya. Kami banyak bercerita soal hal-hal yang dirindukan dari Jakarta, hingga pesanan kami tiba dan Dewa membuka percakapan dengan satu tanya yang membuat saya lagi-lagi tercekat.

"Ras, kalau aku dijodohin gimana menurutmu?"

Dewa menatap saya lekat dengan air muka yang tak bisa saya tebak artinya dengan pasti. Selama saya mengenal Dewa, baru kali ini saya lihat dia tak tunjukkan wajah teduhnya seperti biasa. Ada guratan cemas yang juga terdengar dari tanyanya yang diliputi ragu.

"Mas?" Saya menatap tepat di matanya dengan penuh gamang. "Ini kamu beneran bahas ginian tuh serius, ya?"

Dewa tertawa setelah sesap minumannya. "Ya iya, Ras, masa aku bohongan sih."

"Emangnya bener-bener nggak ada yang mau sama kamu di dunia ini? Like dudeeeee, really?"

"Kenapa deh?"

Saya menyandarkan punggung pada sofa, lalu menggeleng tak percaya menatapnya. "You're perfect, Mas. Baik? Nggak usah ditanya. Sopan? Apalagi. Mapan? Itu juga seluruh dunia pasti tahu. Pinter? Capek banget kalau harus dijelasin, what else? Definisi mantu idaman nasional kamu tuh."

Bukannya mengada-ada, tapi bila harus gambarkan sosok pria sempurna yang sudah pasti diizinkan semua orangtua untuk pinang anak gadisnya, Dewa sudah pasti ada di deretan paling atas. Bukan hanya sebab latar belakang golden spoon yang dia punya, tapi pribadinya sendiri sudah sempurna sebagai manusia, anak, dan juga pria dewasa. Hingga rasanya tak mungkin bila tak ada seorang pun tak terpikat padanya, bila ia benar jatuhkan hati dan pilihan pada seseorang tersebut.

Dewa menatap saya intens, kali ini sembari menikmati cake yang dia bilang masih kalah dari buatannya itu. "Belajar sugarcoating dari mana tuh?"

"This is genuinely complimenting, Mas."

"Kinda fuss," jawabnya sembari mengedikkan bahu dan meletakkan ponselnya di atas meja, lalu rambutnya berkali-kali diiringi hela napas yang cukup dalam.

"Tuh tuh kamu malah belajar suudzon sekarang."

Di antara semua doa yang saya panjatkan pada pemilik semesta, nama Dewa ada juga di sana, untuk semua bahagianya di dalam hidup. Doa yang saya berikan sebagai balasan atas hadirnya yang temani saat-saat paling rapuh saya selama di Australia, juga ketika hubungan saya dengan Bintang berakhir.

"Ketemu 'the' one tuh susah, Ras," ia melirik saya sembari memainkan garpunya dia atas piring.

"Emang."

"Tuh kamu setuju juga 'kan?"

Saya menganggukkan kepala. "Ya emang nyari 'the one' itu susah, apalagi kalau role modelnya kayak ayah ibu-nya, Mas. Itu sih makin susah banget. Tapi ya bukan berarti nggak ada, Mas."

Oh untuk hal yang satu ini saya berani bersumpah, bila kedua orangtuanya tunjukkan sebenar-benarnya harmonis keluarga pada dunia. Ayah dan Ibu Dewa adalah perwujudan sempurna untuk dua pasang insan yang dilimpahi banyak cinta, tak berkurang meski usia sudah menuju senja. Salah satu yang buat saya kerap tak percaya, bila Dewa juga alami apa-apa yang pernah saya temui dalam hidup, padahal kesempurnaan lekat di hidupnya.

"Ada, tapi nggak pernah ketemu sama aku, Ras."

Keluhan Dewa sontak membuat saya mengigit bibir bawah, dan tatap dirinya yang kini menengadahkan kepala untuk lihat langit-langit dengan tatapan menerawang. "Kamunya yang nggak sadar kali, Mas."

Lagu Mahalini berputar pelan dari sudut ruangan, membuat Dewa menghela napas panjang, lalu memanggil seorang waitress untuk kembali pesan minuman bagi kami. "Apa aku nunggu dijodohin sama kamu aja, ya?"

Sontak saya lekas menggelar tawa tanpa henti, hingga sudut mata basah sebab perut benar-benar dikocok oleh gurauannya. "Perlu aku bantu bilang ke Ibu Asa nggak?"

"Itu namanya kamu makin nyusahin aku, Ras."

Kalau saja ini bukan Dewa, sudah tentu dialog seperti ini takkan pernah berani saya lontarkan. Pertama, takut bila ditanggapi dengan serius. Kedua, karena tak enak rasanya mempermainkan perasaan seseorang, dengan candaan yang tak perlu dipikirkan hingga berlarut.

"Ya lagian kamu juga." Saya menyeka mulut dengan tisu, lalu kembali melemparkan pandangan padanya. "But seriously, Mas. What are you looking for? Kamu tuh cari tipe yang gimana?"

"Sederhana aja, Ras. Dia sayang orangtuanya, dia sayang Ayah Ibu, dan dia sayang sama aku. That's it. It's more than enough."

"Cantik? Baik? Pinter? Sepadan? Mapan? Gitu-gitu juga, 'kan?"

"Forget about it, Ras. Itu nggak penting dan nggak ada patokan khususnya."

"Ya nggak bisa," protes saya seraya mengucapkan terima kasih pada waitress yang baru saja antarkan sebotol air mineral. "Logikanya aja nih, Mas, nggak ada yang nggak kenal Trah Gumilar di seantero Nusantara ini. Yakaliiiii kriteria yang tadi dilupain."

Dewa tersenyum sembari menyanggah kepalanya dengan sebelah tangan. "Hehehehehe, aku keluar dari KK aja apa?"

"Boleh," saya mengangguk setuju dan mengerling jahil padanya. "Aku yang gantiin kamu oke juga sih kayaknya."

Tawanya terdengar lepas kali ini. Bahkan membuat beberapa pasang mata melirik pada kami. Hal yang memantik lega pada diri saya, sebab ia tak lagi diselimuti cemas seperti sebelumnya. Saya menanti gelak tawanya reda, untuk kembali pertanyakan satu hal yang terus berputar di kepala. "Ini tuh masih karena mantan sahabatmu itu, ya, Mas?"

Dewa berdeham bersama dengan raut wajahnya yang berubah serius. Tawanya resmi menghilang, berganti dengan decakan dan helaan yang berpadu. "Maybe, I don't know, Ras."

Ia mengedikkan bahu, lalu menyuap satu potong terakhir cake-nya sembari tersenyum. "Mungkin emang belum ketemu yang cocok aja kali, ya? Udahlah skip dulu bahasannya," ia mengaduk minumannya.

"Kamu sendiri gimana? Pacarannya udah lama? Udah dikenalin orangtuamu belum? Eh tapi kalau kalian sahabatan, harusnya udah kenal dong, ya?"

Saya mengusap wajah dengan pelan dan memijat kedua alis untuk ciptakan tenang, sebelum menjawabnya. "Aku belum pacaran, Mas."

Dewa membelalakkan matanya, "Kamu gantungin?"

"Enak aja!"

"Ya terus apa? Pdkt? Malu sama umur, ma cherie!"

"Umur kamu lebih malu-maluin sih, Mas." Saya membalasnya setengah bercanda, lalu menghidu aroma kopi yang menaungi ruangan. "Aku takut yang dulu keulang lagi, Mas."

Lama Dewa tak merespon, membuat saya menatapnya namun justru dibalas dengan senyuman paling manis yang dia miliki. Yang bila sekarang kami tak ada di tempat umum, sudah pasti bisa buat saya menangis tersedu. Sadar dengan saya yang mungkin sudah berkaca-kaca, Dewa mengubah topik menjadi hal lain untuk mengalihkan sedih yang saya punya.

"Penasaran deh, mau ketemu dong sama orangnya."

"Aku kasih liat fotonya aja deh, ya."

Saya mengambil ponsel dari dalam tas, dan memilih satu foto Utara yang pernah saya ambil diam-diam ketika ia tengah mengemudi beberapa hari kemarin. Dewa menerima uluran ponsel saya, lalu memperhatikan potret itu dengan begitu lekat. "He's seems nice. Tapi," gantungan kalimat Dewa membuat saya berdebar. "Keliatannya playboy, ya?"

"Hahaha," saya tertawa dan menerima ponsel yang ia berikan, lalu tatap kembali wajah Utara yang ada di layar. "Little bit. Ya baik sama semua orang sih lebih tepatnya, Mas."

Tak mungkin saya pungkiri terkaan Dewa, sebab benar adanya bila Utara selalu dicap seperti itu. Apalagi mengingat deret wanita yang pernah mendekatinya, sejak dulu di kampus bahkan mungkin hingga saat ini. Yang kadang, buat saya pertanyakan diri sendiri, apakah pantas untuk dapatkan dirinya yang dielukan oleh banyak juwita.

"Seleramu, nggak berubah."

"Maksudnya apa tuh?" kedua alis saya bertaut mendengar cibiran Dewa.

Pria di depan saya ini hanya mencebikkan bibirnya, "Ya yang sebelum ini 'kan juga gitu, Ras. Tapi males ah bahas dia, so what's next?"

"What? Apanya yang what's next?"

"Mau apa lagi kamu habis ini? Pacaran? Langsung nikah? Atau kejar karir? Atau jangan bilang kuliah lagi, off limits deh aku kalau itu, nggak sanggup denger keluhanmu soal kuliah lagi."

Lagi-lagi saya tergelak mendengar ucapannya, teringat semua keluhan saya padanya tentang deretan rutinitas perkuliahan yang di beberapa waktu terasa menyebalkan. "Mau jualan S aja, S aku kebanyakan soalnya, Mas."

Dewa menepukkan kedua tangannya sekali dengan menatap tak percaya pada saya. "Hell, Ras! Balik sana kamu ke rumah, kering banget itu jokesnya. Tahu nggak, kayak bapak-bapak yang pakai emoji jempol doang ituloh."

Gelengan kepalanya membuat saya tak bisa menghentikan tawa. HIngga satu tanyanya sontak membuat saya mematung, dan menghentikan gerak tangan yang sejak tadi memainkan ponsel di pangkuan.

"Gimana kalau Bintang balik dan kasih penjelasan, Ras?"

Al Fine. [ episode ketigabelas - B ]

 

Rasi’s POV

Terbangun dengan semua ingatan yang begitu jelas, membuat saya berulang kali merutuki diri yang membiarkan mulut berbicara di saat sadar sudah tak penuh. Mau berpura tak pernah berucap, sudah pasti Utara akan bawa semuanya hingga berhari-hari ke depan. Mau coba dihadapi, saya harus lebih dulu pastikan supaya diri tak perlu umbar semua malu di hadapannya. Hingga bisa membuat dia salah menafsirkan, bahkan menumbuhkan benih harapan yang saya sendiri belum sanggup antarkan kepastian.

Usai membasuh wajah dan menyikat gigi, saya melangkahkan kaki keluar kamar dan mendapati Utara tengah sibuk di dapur. Entah apa yang ia lakukan, tapi ia tampak begitu serius, hingga tak menyadari kehadiran saya yang sudah duduk menatapnya seraya teguk sebotol air mineral.

“Ini kalau gue tiap pagi masak begini lucu kali, ya? Tapi masaknya buat Rasi aja,” mata saya mengikuti gerak tangannya yang saat ini tengah coba cicip masakannya, sambil terus berdialog dengan dirinya sendiri.

“Ini enak sih, tapi menurut Rasi enak juga nggak, ya? Ini kalau udah matang, gue bangunin dia nggak, ya? Apa tunggu dia bangun sendiri aja, nanti diangetin lagi? Duh elah, bingung lagi aja setiap hari Utara.”

Saya tersenyum mendengar semua monolognya. “Gausah bingung-bingung. Aku udah bangun kok, Dit.”

Utara sontak menolehkan kepalanya, menatap saya dengan wajah yang begitu terkejut. “Lho lho lho. Ngapain kamu di sini? Balik ke kamar, Ras. Kamu ngapain sih di sini?”

Ia mengecilkan kompor, lalu beranjak mendekat ke arah saya dengan air muka yang berubah khawatir. Usahanya untuk mengajak saya pindah, berujung dengan saya yang letakkan tangan di lengannya. “Aku di sini aja ya, Dit. Udah enakan kok. Nggak enak juga di kamar mulu.”

Saya tolehkan kepala untuk tengok kompor yang ada di belakangnya, agar ubah fokusnya supaya tak lagi khawatirkan saya. “Itu udah matang belum? Itu sana lihatin dulu, Dit. Anggap aja aku belum bangun. Kamu lanjut aja kayak tadi, ngobrol sama diri sendiri. Lucu tahu,” goda saya pada dia yang saat ini masih berdiri di hadapan saya.

“Mulai deh ngeledeknya!”

Tawa saya mengikuti balas ucapannya, “Mending nanti kamu kalau masak tuh aku tidur aja, atau aku lihatin kayak gini?”

Utara tertawa sembari acak rambut saya. “Wahhh! Belum sembuh kamu, Ras! Beneran belum sembuh kamu kalau kayak gini. Yang semalam ingat nggak?”

Demi apa pun, saya rasanya ingin mengurung diri di kamar, dan tarik semua ucapan saya menjahilinya tadi. Karena bukannya mundur dan menjauh, Utara justru menarik saya untuk berada pada jarak yang lebih dekat. “Kamu mau dekat-dekat gini terus?”

“Masak sana masak, Dit!”

“Ini kapan dilepasnya tangan aku? Katanya disuruh lihat masakannya, kalau kayak gini sih akunya lihatin kamu terus, Ras.”

Saya kedipkan mata beberapa kali saat menyadari tangan saya yang tadi ada di lengannya, justru sudah berada di genggamannya. Bukannya membiarkan saya melepaskan tangannya, ia malah semakin erat menggenggam. “Mau dilepas? Nggak mau dekat-dekat gini aja, Ras?”

“Kalau iya mau dekat-dekat gini, kenapa?” tanya saya sembari bangkit dari kursi, untuk berdiri sejajar dengan dirinya.

Lelaki yang kini ada di hadapan saya justru dengan cepat mundur sambil menggelengkan kepalanya. “Wah beneran bahaya kamu, Ras. Habis ini periksa ke dokter yuk, beneran sakit parah kayaknya kamu,” pungkasnya sambil melangkah kembali ke kompor.

“Ras, ini tuh harusnya yang malu aku apa kamu sih?” Utara kembali menoleh kepada saya, “Yang harusnya deg-degan tuh aku atau kamu, ya?”

Tawa saya sambut pertanyaannya yang terlalu jujur tanpa sedikit pun malu. “Nggak taaaauuuuu, Dityaaaaa!” jawab saya yang kemudian buat seisi ruangan ini diguyur gelak tawa kami berdua.

Mungkin, ini yang kerap membuat saya rindu akan momen-momen bersama Utara. Saat di mana saya dan dia bisa tertawa bersama, tanpa khawatir untuk melukai siapa pun. Saat di mana saya dan dirinya bisa bebas bercerita, tanpa takut mengganggu atau dianggap buaya, karena sejujurnya kami sama-sama tahu ke mana maksud ingin mengarah.

Saya masih mengamati ia yang saat ini kembali berkutat dengan setumpuk peralatan masak yang membuat dapur teramat berantakan, dan membuat saya beranjak dari duduk untuk mendekatinya. “Kamu tuh masak apa sih sebenernya? Kok berantakan gini, Dit?” tanya saya seraya melongok ke dalam panci yang tengah ia aduk.

“Ras, pernah ada yang bilang nggak sih kalau muka bangun tidurmu tuh cantik banget? Sumpah, cantik!”

Pantas rasanya bila Utara sempat sabet gelar lelaki paling digilai di seantero kampus, bila ucap manis bibirnya bisa buat saya merona seperti sekarang. Saya tertawa cukup kencang untuk kesampingkan semua salah tingkah yang kian membuncah, namun sayangnya kepala saya juga ikut berputar dan sebabkan pusing yang tak tertahankan.

“Eh…ehh… Kamu kenapa, Ras?” tangan kanan Utara sudah berada di punggung saya menahan limbung diri. Membuat saya berusaha untuk tetap berdiri tegak, agar tak perlu jatuh dalam dekapan Utara, sembari tenangkan diri.

“Gapapa, Dit, agak pusing aja tadi.”

“Makanya jangan banyak gerak. Kamunya sih ngeyel, ya udah ayo ke kamar lagi aja. Atau mau dipeluk aja biar pusingnya berkurang?”

Belum sempat saya membalas gombalannya, suara bel berbunyi membuat kami berdua saling melemparkan pandangan. “Kamu ada tamu, Ras?”

“Nggak, Dit. Aku lihat dulu deh,”

“Kamu duduk aja, biar aku yang lihat ke depan.”

Utara beranjak menuju pintu, sedang saya dibiarkan duduk sembari membuka bungkus keju yang ada di atas meja. Belum selesai semua pusing yang ada di kepala, saya dibuat kian semakin pusing ketika melihat Shira, Lintang, dan Fajar sudah melangkah masuk dengan beberapa paper bag yang dibawa.

Pandangan Utara dan saya beradu dengan kebingungan yang mengikuti, “Kamu kasih tahu mereka, Dit?” bisik saya ketika Utara kembali berdiri di samping saya tatap tiga sahabat kami itu sibuk membongkar barang bawaan mereka di ruang tv.

“Nggak.”

“Kamu bikin story nggak?”

“Iya,” angguknya yang seketika buat saya menggeleng dan mengerti mengapa ketiga orang ini sudah ada di hadapan kami. Sebuah hal yang sudah bisa dipastikan akan mereka lakukan, sebab saya berani jamin usai lihat story Utara, mereka akan hubungi ponsel saya yang sejak kemarin belum lagi saya hidupkan. Rasa-rasanya, persahabatan ini memang sudah terlampau dekat untuk buat satu sama lain paham, meski hanya ada beberapa hint yang diberikan.

 

***

 

Ke-lima anak adam dan hawa yang sedang nikmati sarapan pagi masing-masing itu tengah asyik saling lempar topik pembicaraan ketika Fajar meletakkan ponselnya, “Ut, buka pintu gih! Langit bentar lagi sampai tuh, katanya dia bawa banyak tentengan.”

“Ya kenapa bukan elo aja yang berdiri terus bukain? Gue mau cuci piring elah,” omel Utara sambil mengangkat piringnya ke hadapan Fajar.

“Aku aja yang buka,” Rasi menyela pembicaraan sambil berdiri, namun lengannya lekas ditarik Lintang untuk tetap duduk dan tak beranjak.

“Rasi sini aja, biarin Fajar yang buka. Rasi tuh mending bantuin Lintang habisin salad-nya.”

Tanpa harus berlama berdebat, Fajar hanya mengangguk pasrah membiarkan ketiga sahabat perempuannya kembali larut dalam percakapan yang menurutnya tak benar-benar penting. Karena sejak kapan bisa penting, bila Lintang yang sudah memimpin obrolan?

“Ini lama-lama kayak kambing nggak sih kita kalau makannya sayur beginian?” Rasi berseloroh usai telan satu garpu penuh sayur berwarna hijau yang ada di kotak mika Lintang.

Shira tertawa, “Lintang dengan semua agenda diet-nya emang bagus banget disebut hewan, Ras.”

“Iya ya, kalau dipikir-pikir kenapa ini isinya sayuran semua sih?”

Shira sontak mendongakkan kepala dan menatap Lintang lalu Rasi bergantian, “Terus lo maunya apa? Daging?”

Utara yang baru saja menyelesaikan cuci piringnya kini berdiri di samping Rasi, seraya meneguk satu gelas air mineral, dan menggoda Lintang dengan ucapannya. “Lintang mah maunya sama Langit. Iya nggak, Tang?”

Pertanyaan itu membuat mereka terbahak tepat ketika Langit sudah berteriak di ambang pintu. “Welcome home!”

“Lo ngigo? Rumah lo bukan, malah main welcome home aja,” Fajar menyambar beberapa green bag yang dibawa Langit, meski bibirnya lontarkan pertentangan pada kalimat Langit.

“Rasi ‘kan rumah gue, ya, Ras? Bener nggak?” pertanyaan itu sontak membuat Utara pandangi kawan karibnya, juga jatuhkan tatap pada Rasi yang hanya menggeleng malas dengar celoteh Langit.

Belum ada semenit berselang, bel kembali berbunyi untuk bawa Athaya menjadi yang terakhir bergabung dengan yang lainnya. Athaya yang baru saja tiba hanya menyapa semuanya sekadarnya, lalu lekas menuju Rasi. “Little pony, udah lengkap semua, nggak usah beli lagi, ya.”

“You! Aaaaa, Athaya makasih banyak. Baik banget,” teriak Rasi langsung memeluk Athaya setelah melihat Chaki Meal kesukaannya—lebih tepatnya mainan yang lekat menjadi bagian dari promo restoran ayam cepat saji merah putih itu.

Athaya balas memeluk Rasi, seraya mengusap punggung sahabat perempuan yang berhasil sita semua perasaan dan perhatiannya selama ini, diikuti dengan tatapan karibnya yang ikut tersenyum lihat pemandangan keduanya. Sebetulnya, hanya empat orang yang tersenyum, sebab Utara lebih memilih mengalihkan pandangan pada televisi yang kini ia nyalakan.

Memang sudah bukan hal yang aneh melihat kedekatan Rasi dan Athaya, yang kadang sanggup buat orang lain pertanyakan hubungan mereka. Tapi bagi Utara, masih tersisa sedikit rasa yang tak bisa ia jabarkan sebab posisinya pun tidak ada pada kejelasan.

Ia ingin sebut cemburu, tapi punya hak saja ia tak pernah, bahkan cemburu pun takkan pernah pantas untuk diletakkan pada dua karib yang saling bergantung itu. Bila cemburu saja tak bisa, marah pun dia tak punya kuasa, sebab sejak awal semuanya juga tahu bila Athaya takkan pernah izinkan perasaan miliknya untuk jadikan Rasi kepemilikan.

Rasi tak pernah paham dengan isi kepalanya saat ini. Tidak ketika ia menyadari Utara memilih diam usai kehadiran Athaya. Sebagian diri Rasi sadar, bisa jadi lelaki yang sejak kemarin temani dirinya sedang dilanda banyak pemikiran tentang bagaimana hubungan mereka. Namun sayangnya, Rasi juga tak kuasa beri banyak penjelasan, sebab ia masih punya beberapa hal yang jadi pertanyaan tanpa jawaban.

Kiranya jika Rasi harus disebut egois, maka ia terima semua hujatan yang ada untuk semua ketidakpastian yang berasal dari sikapnya. Sasimo alias sana sini mau, katanya muda-mudi zaman sekarang lekatkan label itu pada mereka yang dekat dengan semua orang, bahkan berani urai peluk tanpa status. Sepertinya Rasi takkan pernah coba mengelak bila label itu juga melekat padanya, karena ia lebih dari sekadar paham bahwa perangainya pada Athaya dan Utara bisa buatnya dicap seperti itu.

Tapi biarlah, biar saja bila dunia harus mencaci karena Rasi pun tak punya waktu jelaskan perasaan dan pikirannya, yang dipenuhi banyak abu-abu semenjak Bintang menghilang seolah tak pernah jalin apa pun. Padahal semestinya empat tahun bukan perkara mudah untuk lepaskan semua kebiasaan, ‘kan?

 

Al Fine. [ episode ketigabelas - A ]

 

track 12: can't help falling in love
untuk terjatuh, aku ingin

 

Kalau disuruh sebut hal-hal yang dibenci di dunia ini, Utara pasti akan dengan tegas dan lantang sebut, kalau dirinya benci harus menghadapi orang-orang yang terlalu suka menyimpan segala sesuatu sendirian. Apalagi kalau itu berhubungan dengan kesehatan.

Karena semenjak ibu dan adiknya berpulang, ia tak lagi punya kuasa untuk temui kehilangan dengan hal serupa. Baginya, perasaan khawatir dan panik yang ada benar-benar menyiksa. Segala bentuk kemungkinan skenario terburuk sudah ia hafal betul di dalam kepala, bak pemeran utama di drama sinetron.

Meski acap kali merasa terlalu berlebihan, ia tetap takkan pernah lupa rasanya kehilangan karena harus dengar, pun lihat orang terkasih yang terbaring sakit. Mungkin, itu juga yang buat ia hampir kehilangan sabar dengan terus-menerus membunyikan klakson mobilnya, di tengah macet yang berjaya pada rush hour hari Jumat petang kali ini. Sejak pagi sejujurnya ia sadar bahwa Rasi terlihat sedikit pucat. Namun, ia coba kesampingkan pemikiran itu sebab derai tawa dan juga gerak aktif sang hawa sanggup tutupi hal tersebut.

Utara yang sejak tadi sudah tak sabar menunggu lift terbuka sejak di basement, saat ini sudah tiba di lobby dan berlari kencang menuju lift yang hampir saja tertutup. Tak ia hiraukan tatap bingung orang-orang terhadapnya. Karena yang ada di pikirannya saat ini hanya Rasi yang pasti sedang terbaring lemah di ranjangnya.

Kalau bukan Rasi orangnya, sudah pasti Utara takkan pernah mau membawa pekerjaan kantor ke rumah. Karena baginya, berada di rumah sudah sepantasnya perkenankan pekerjaan memenuhi isi kepala. Kalau bukan Rasi orangnya, sudah Utara takkan menyelesaikan pekerjaannya dalam kurun waktu satu jam. Karena baginya, menikmati pekerjaan adalah bagian dari hidup yang harus dilakukan dengan pelan-pelan, bukan buru-buru.

Tapi sayangnya kali ini takdir bawa ia untuk memilih di antara pekerjaan dan Rasi. Dan sudah tentu, seluruh insan yang pernah bersinggungan dengan adam ini pasti paham bahwa Rasi sepenuhnya akan jadi prioritas utamanya. Meski entah, apakah hal yang sama juga berlaku untuknya.

Sudah hampir tiga menit berlalu ia menunggu pintu dibuka, usai tangannya berkali memencet bel di depan pintu. Hingga ia akhirnya menyerah dan memanggil nomor sang puan, untuk pastikan keadaan. Tak ingin lancang membuka pintu, meski sepenuhnya dihajar cemas yang memburu.

Panggilan diangkat pada dering ke lima, membuat tuan yang kini sudah tak sabar itu langsung menyelanya dengan pertanyaan. “Tidur, Ras?”

“Iya. Kenapa, Dit?”

Suara yang begitu lemah terdengar di ujung panggilan, membuat Utara sedikit tergesa merogoh saku celananya mengeluarkan kartu key card miliknya. “Nggak bisa bangun, ‘kan? Aku izin masuk pake key card-ku, ya?”

Belum sempat sang puan menjawab, lelaki dengan kacamata yang masih melekat di wajahnya itu pun memutuskan panggilan, dan bergegas masuk ke dalam apartemen kepemilikan mendiang adiknya. Usai mencuci tangan dan meletakkan bubur ayam di kitchen set, ia bergegas menuju kamar Rasi, setelah sebelumnya mengetuk pintu bercat putih itu lebih dulu.

Rasi yang sejak siang tadi memang hanya mampu terbaring lemah di ranjang pun membulatkan mata indahnya ketika melihat Utara sudah berdiri di hadapannya, dengan kemeja putih yang sudah terlipat asal hingga siku.

“Kok, kamu di sini, Dit?”

“Kamu yang kenapa sih kalau sakit nggak bilang?” Utara membalas tanya Rasi dengan pertanyaan lain, sembari memeriksa kening, tangan, dan juga telapak kaki perempuan itu. “Ini juga, kamu kenapa bisa sakit sih? Pasti gara-gara kemarin tuh kamu lembur terus, pulang malam terus, makannya juga nggak dijaga. Heran kamu tuh suka banget nyusahin diri sendiri.”

Yang ditanya hanya diam, seolah mengizinkan Utara untuk curahkan semua khawatirnya lewat tanya tanpa jeda yang dilontarkan. “Udah? Masih mau marah? Kamu kalau ke sini cuma mau marah-marah, aku nggak sanggup deh, Dit. Serius,” akunya sembari memijit pelipis membuat Utara hanya menggeleng dan menghela kesal.

Aroma vanilla yang berasal dari lilin Bath and Body Works kepemilikan Rasi menguar memenuhi hidung keduanya. Berusaha mencari tenang di antara deru khawatir milik si lelaki, dan rasa pusing milik si perempuan.  

“Kamu udah makan lagi belum?” Utara kembali bertanya, usai mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur. “Ngaku deh pasti belum, ‘kan? Ya gimana mau makan, bangun dari tempat tidur aja pasti udah nggak kuat.”

Rasi Alfa Karina hanya tersenyum. Sebab semua ucap Utara adalah benar yang tak lagi bisa dilawan. Perempuan yang kini tergolek lemah itu adalah satu dari sekian banyak orang yang jarang jatuh sakit. Namun apabila sakit sudah menyapanya, sudah bisa dipastikan untuk bergerak pun dia takkan mampu. Dan itu juga yang menjadi salah satu alasan Utara mengkhawatirkannya.

“Heran banget sama kamu, Ras. Kamu tuh suka nggak inget apa ya kalau sakit tuh pasti nggak bisa apa-apa. Sekarang kamu mau makan apa? Bubur ayam mau?”

“Apa aja, Aditya,” jawab Rasi sambil berusaha duduk, namun lekas ditahan oleh Utara.

“Kamu tidur aja, aku siapin makanannya dulu. Nanti kalau udah, baru aku bawain ke sini.”

Karena tak mampu lawan seluruh sakit di kepala dan juga perutnya, Rasi memilih untuk tak lagi tentang semua ucap yang keluar dari bibir Utara. Pun di lain sisi, ia sadar betul bila Utara sedang kalut dipeluk oleh seluruh khawatir dan juga amarah.

 

***

 

Biasanya sadar tak bisa dipeluk bila cairan yang dipenuhi kadar alkohol itu singgah di kerongkongan. Namun sayangnya, untuk Rasi, sadar takkan mampu dipeluknya dengan utuh bila sakit yang sudah singgah. Beberapa ucapnya akan menyakitkan, namun beberapa lainnya akan lebih jujur dari bocah umur lima tahun yang merengek dibelikan es krim, atau meminta dibelikan sepatu baru seperti yang dipakai teman sebayanya dengan warna favoritnya.

Rasi adalah murni apabila sakit berkunjung. Dan Utara yang kini duduk di sampingnya pada pukul sepuluh malam, adalah tempat pulang untuk semua kejujuran itu.  

“Kamu pernah nggak sih kayak gini pas di Aussie?”

Utara membuka obrolan malam ini, usai biarkan Rasi telan satu buah obat guna turunkan demamnya. Membuat sang puan menolehkan kepala, sembari tatap dwinetra legam milik Utara. “Maksud kamu sakit?”

“Ya iyalah, mau apaan lagi?”

Rasi tertawa kecil, “Ya pernahlah, Dit. Aku ‘kan juga manusia.”

“Terus? Kalau pas sakit gimana?”

“Gimana apanya?”

Kernyitan di kening Rasi membuat Utara menyentilnya dengan pelan. “Ya kamu kayak gimana kalau sakit?”

“Ya aku di kamar aja tiduran, Dit. Paling besoknya juga udah baikan.”

“Kamu nggak bilang mama papamu gitu?”

Satu pertanyaan Utara membuat Rasi melemparkan pandangnya pada langit-langit kamar, seraya ingat semua hari yang dilalui di Australia beberapa tahun kemarin. Rumah katanya perlu kata saling untuk jaga harmonis tetap setia. Tapi nyatanya, saling itu tak lagi bisa ditemukan Rasi bila berada bersama kedua orangtuanya.

Mereka ada, namun tak sepenuhnya tanyakan ingin paling jujur milik putri tunggalnya. Mereka ada, namun Rasi kerap kali kalah pada deret tugas yang diemban kedua malaikat yang dititipkan Sang Kuasa untuk jadi orangtuanya. Rasi ada, tapi sayangnya untuk penuhi semua keinginan yang jauh dari angan batinnya sendiri. Rasi ada, tapi sayangnya bukan saling yang dipupuk, tapi tuntutan yang tak kunjung selesai dituai.

“Hmmm, bilang ke Bintang sih biasanya. Itu juga kalau aku udah sembuh, Dit.”

Aditya Wira Utara masih rasa getir, bila nama Bintang diucapkan dari bibir wanita yang jadi pujaannya sejak di bangku kuliah itu. Apalagi, ia sendiri tak pernah tahu dengan pasti alasan kedua pasangan sempurna itu bisa kandas. Sebuah kejutan yang sejatinya bawa berkah, sebab ia bisa langkahkan kaki untuk mendekat. Tapi juga simpan banyak ragu, karena empat tahun bukan angka yang sebentar untuk rajut kata mesra.

Utara menghela napasnya dengan pelan, sambil pandangi Rasi seolah perempuan itu satu-satunya hal yang bisa ia lihat di dunia. “Ras, minta tolong tuh nggak dosa lho. Apalagi kalau di deket kamu, ada orang yang mau nolongin. Minta tolong aja nggak dosa, apalagi cuma bilang kalau kamu lagi sakit. Orangtua kamu pasti mau ngurusin kamu, Rasi.”

“Iya, tahu. Tapi semua orang ‘kan sibuk, Dit.”

“Tapi ‘kan kamu anaknya mereka.”

Kali ini Rasi hanya menundukkan kepala, untuk tatap jemarinya yang saling terkait. Ia sadar bila meminta bantuan bukanlah sebuah kesalahan. Namun jauh di sudut sadar lainnya lagi, ia telah lama terbiasa untuk tak merepotkan siapa pun, karena yang dimilikinya hanya diri sendiri.  

“Mulai besok, kalau kamu ada sakit apa pun, ya tapi amit-amit semoga nggak sakit lagi. Pokoknya kamu wajib kabarin aku, Ras. Inget ya, Ras, kabarin aku.”

Rasi ulas senyumnya, lalu berusaha ubah topik pembicaraan, “Kamu tadi bukannya mau lembur, ya?”

“Kerjaanku udah kelar, beberapanya dikerjain sama temenku, sebagiannya lagi aku bawa pulang.”

“Eh? Aditya, kamu nggak perlu ke sini harusnya, kamu ‘kan nggak suka bawa pulang kerjaan,” Rasi tak sanggup tutupi keterkejutannya sebab Utara yang ia kenal, tak pernah rela bila harus menyibukkan diri di depan laptop kala istirahat seharusnya dia nikmati.

“Emang nggak suka. Tapi kalau kamu sakit, terus kamu nggak diurusin, yang ada nanti malah makin parah terus malah masuk rumah sakit, gimana? Kamu mau emangnya?”

“Aditya, mulai deh lebay-nya. Nggak bakal sampai masuk rumah sakit juga. Apaan sih kamu, nggak usah berlebihan gitu.”

“Lebay? Kamu bilang lebay?” Utara berdecak dan menggelengkan kepalanya, “Kamu tuh sama aja ya kayak sahabatmu,” sindirnya lagi.

“Eh? Siapa? Shira?”

Tawa Utara membahana, temani bunyi detak jam yang isi hening malam keduanya. “Dih, dia kalau lagi sakit mah nggak usah ditanya juga udah otomatis heboh.”

“Terus siapa? Lintang?”

“Apa lagi itu! Followersnya juga pasti lebih dulu tahu, Ras.”

Rasi menautkan kedua alisnya, “Ya terus maksud kamu siapa?”

“Utari lah! Siapa lagi coba yang sakit, diam-diam eh masuk rumah sakit. Habis itu udah deh, sekalinya sakit parah, kita telat tahu, jadinya nggak pulang-pulang ‘kan tuh.”

Tangan kiri Rasi lekas mampir menepuk pelan lengan Utara, ketika ucapan lelaki itu selesai digemakan. “Apa sih, Dit, omongannya ih.”

“Bener nggak sih, Ras? Lagian sahabatmu tuh aneh tahu nggak, di rumahnya ada kasur, eh dia malah lebih suka tidur di tanah. ‘Kan kotor, emang dia nggak gatel apa?”

“Dit,” Rasi mengamati raut wajah Utara yang tak sedikit pun guratkan kesedihan. “Kamu tuh berubah banyak, ya?”

“Kamu kira aku power rangers bisa berubah?” tanya Utara kali ini setengah tertawa sambil teguk satu botol air mineral dingin yang ia bawa. “Aku tuh ngasih tahu kamu serius ya, Ras. Kalau ada apa-apa tuh kamu bilang. Kalau lagi sakit atau butuh apa pun, ya kamu telepon aku aja. Nggak susah ‘kan buat nelpon aku?”

“Aditya, kamu tuh nggak punya kewajiban untuk ada di sini sekarang. Kamu juga nggak punya kewajiban untuk ngeluangin waktumu buat aku, Dit.”

Hening terpanjang di malam ini jadi saksi Utara tengah coba telan semua ucap menyakitkan yang diucapkan Rasi. Ia jelas sadar betul, mengajak perempuan ini berbincang di saat sakit adalah sebuah tantangan besar, untuk biarkan luka kembali ditaburkan garam serta cuka.

Masih dengan senyum yang mengulas, serta tangan yang sengaja memukul dada berulang, Utara menatap Rasi penuh raut memelas. “Ini kalau kamu lagi nggak sakit, omonganmu tuh nyinggung aku lho, Ras. Sakit tahu! Untung aja nih aku tahu kamu lagi sakit, makanya omonganmu pasti akan sejujur ini. Jadi ya udahlah, ya, anggep aja tadi lagi ditampar kata-kata.”

“Dit, maaf.”

“Maaf buat apa coba?”

Untuk kali ke-sekian juwita yang jadi pujaan banyak sahabatnya ini hanya diam. Menimang jawaban, agar tak lagi perlu raut kecewa apalagi gores luka. Utara yang sudah terlalu hafal dengan sikap Rasi, seketika tepuk punggung tangan sang juwita untuk letakkan tenang di pikirannya. “Ras, kamu nggak berhak ngelarang orang buat perhatian sama kamu. Belajar buat diterima, toh perasaan itu tanggung jawab masing-masing orang, ‘kan?”

“Kamu tuh berubah banyak banget ya, Dit,” ungkap sang gadis sambil tersenyum malu.

Bukan kali pertama ia tahu sisi Utara yang ini. Yang penuh dengan pengertian dan tutur bijak, namun tak terdengar menggurui di telinga. Yang penuh dengan perhatian hingga sebabkan kepak kupu-kupu di dalam perut. Jauh sebelum hari ini, Rasi telah mengenal Utara pada bagian terbaiknya itu. Bagian yang pernah buatnya terjatuh dan juga berharap bisa bersatu. Bagian yang tak pernah ia sesali, tapi penuh dengan kata yang berujung penyesalan.

Utara kali ini tak dapat menahan gelak tawanya, hingga cetuskan kalimat-kalimat jahil yang akan menggoda sang hawa. “Iya deh iya aku berubah. Tapi kayaknya ada satu yang masih nggak berubah sih, Ras.”

“Aku harus tanya apanya nggak?”

“Siap nggak kamu sama jawabannya?”

Keduanya kini saling tatap untuk jeda yang rekahkan tawa yang saling bersahutan. Masing-masingnya punya pikiran yang sebetulnya serupa, namun sayangnya untuk sampai di titik satu, bukan perkara mudah yang bisa berikan kepastian.

“Jadi, tanpa aku kasih tahu, kamu pasti udah tahu ‘kan, Ras?”

“Hmmm,” Rasi hanya beri gumaman seadanya, sebab jauh di lubuk hatinya ia teramat tahu dengan rasa yang dimaksud oleh Utara.

“Hmmm apa?”

“Dit, aku tuh ngerti apa maksud kamu, aku ngerti kenapa kamu kayak gini. Aku paham banget. Cuma,” helaan napas sang juwita buat Utara seketika berhenti untuk lontarkan kalimat jahil.

“Cuma aku tuh bingung harus ngasih kamu respon kayak gimana. Aku nggak tahu, Dit. Aku tuh bingung, dan aku juga ngerti kalau sikap aku yang kayak gini juga bikin kamu ikutan bingung. Tapi jujur, aku nggak tahu harus gimana. Tahu sih, cuma di lain sisi juga ini tuh nggak gampang, Dit. Aku masih punya banyak ragu, takut, dan masih banyak pertanyaan yang….”

Rasi usap wajahnya dan letakkan kedua tangan di wajah, berusaha tenang namun sesak dan ragam pertanyaan melesak di antara pikir dan juga hatinya. “Aku bener-bener nggak tahu, Dit.”

Jika bisa, Utara pasti sudah akan peluk Rasi saat ini. Jika saja bisa, ia ingin bilang bahwa dirinya sanggup tunggu Rasi hingga usai dengan seluruh kebingungannya. Ia ingin sampaikan kalau sampai kapan pun, dirinya sudah sepenuhnya yakin bahwa Rasi yang selalu jadi tujuannya.

“Ras, Ras, kamu tuh ya, kalau lagi sakit besok-besok sama aku aja, oke?! Soalnya, aku nggak kebayang gimana coba kalau kamu jujur ke orang lain pas sakit gini, gimana?”

“Apaan sih, Dit?”

“Ini besok nih ya, kamu bakal nyesel nggak habis ngomong kayak gitu tadi?”

“Nggak tahu,” jawab Rasi masih dengan keraguan pada dirinya sendiri. Padahal saat ini, Utara justru tengah berusaha memangku semua rasa malunya agar bersembunyi dan tak mencetak rona merah di pipi.

“Tadi siang kamu pulang sama siapa? Sama itu ya yang kemarin ngasih kamu kopi di lobby?”

Keterkejutan di mata Rasi tak lagi bisa ditutupi ketika topik pembicaraan baru sedang dibangun oleh Utara. “Hah? Emang kamu lihat, Dit?”

“Ya lihatlah, orang aku punya mata,” gerak tangan Utara memancing senyum yang tergambar tanpa sadar sudah terpampang di wajah Rasi. “Dia tuh emangnya nggak tahu ya pagi-pagi nggak baik minum kopi? Kamu kalau pulang malam, dan nggak bareng sama aku tuh selalu sama dia, ya? Iya? Dia tinggal di mana sih emang? Kamu sakit ini jangan-jangan gara-gara dia juga, ‘kan?”

Rasi menutupi mulutnya dengan tangan kanan untuk cegah tawanya meledak. “Dit, satu-satu ih. Kamu nanya banyak banget. Lagian yang kamu maksud dia-dia tuh siapa? Javaskara?” tanyanya dengan kedua alis yang terangkat.

“Mana aku tahu namanya siapa? Dan nggak mau tahu juga namanya siapa.”

“Kamu cemburu, ya, Aditya Wira Utara?”

Kali ini gantian sang juwita yang lontarkan kalimat penuh godaan. Hingga berikan decakan kecil dari bibir Utara, “Hahaha, aku punya hak nggak buat cemburu, Rasi?”

“Hmmm, harusnya punya nggak sih, Dit?”

Utara lekas berdiri dari duduknya sambil menepukkan kedua tangan. Dia tahu bila Rasi benar-benar sudah benar-benar terkena efek obat, hingga buat dirinya juga ikut pancing obrolan, yang keesokan pagi bisa amat disesalinya. “Wah! Yuk tidur yuk, Ras. Mending kita tidur aja, daripada kamu makin ke mana-mana ngomongnya.”

Sang puan yang masih menutupi tubuhnya dengan selimut, meski pendingin ruangan sudah berada di angka 27 hanya tertawa, tanpa berikan tanggapan apa-apa. Ia tatap sang tuan yang kini berkacak pinggang, dan tak henti menggelengkan kepala tak percaya.

“Oke gini, kamu mau tidur atau mau lanjut ngobrol nih? Kalau mau tidur ya aku pulang, kalau mau dilanjut, ya aku temenin kamu sampai besok pagi. Tapi jangan sampai dilupain apa yang kamu omongin. Jangan juga sok malu-malu, ya.”

“Tidur aja deh, Dit. Aku mending tidur aja, ngantuk,” elak Rasi sembari menurunkan bantalnya dan mengambil posisi untuk memejam.

“Beneran nih? Beneran gamau dilanjut aja? Aku masih mau lanjut lho padahal, Ras.”

Rasi menarik selimutnya untuk tutupi merah tomat yang ada di kedua pipinya. “Nggaaaaak, udahan. Aku mau tidur aja. Gih sana kamu keluar!” pintanya seraya mengintip Utara dari balik selimut, membuat Utara mendekat dan mengusap rambutnya.

“Haha ya udah.” Baru beberapa langkah ia ingin membuka pintu, Utara justru berbalik menatap Rasi. “Eh, Ras, kamu mau aku pulang atau tetap di sini aja?”

“Kalau aku jawab mau di sini, bakal diturutin nggak?”

“Oke, sekarang berarti kamu tidur. Kalau ada apa-apa panggil aja, aku di depan, ya.”

Rasi mengangguk, “Selamat tidur, Dit.”

“Night, cantik.”

 


© Hujan Mimpi
NA