Wajib Masuk Bucket List Penggemar K-Pop!

Kayaknya udah jadi hal yang wajar bagi para penggemar Hallyu untuk kepo dan ingin tahu segala hal tentang idolanya, termasuk tempat makan favorit mereka. Benar tidak? Berkunjung ke tempat favorit idola merupakan kepuasan tersendiri bagi fans K-pop. 

Nah, Korea Tourism Organization (KTO) Jakarta punya beberapa pilihan café atau restoran favorit bintang K-pop, yang wajib masuk ke dalam bucket list kalian nih. Simak dulu yuk~


1. Yoojung Sikdang

Penggemar BTS pasti tidak asing lagi dengan restoran satu ini. 

sumber foto @yoojungsikdang

Yoojung Sikdang menjadi popular di kalangan penggemar setelah BTS menyebut restoran ini sebagai restoran favorit mereka dalam sebuah acara siaran langsung, tidak lama setelah mereka debut. Saat ini, interior Yoojung Sikdang dipenuhi oleh jejak-jejak yang ditinggalkan oleh BTS dan hadiah dari para penggemar mereka. 

sumber foto: @yoojungsikdang


Menu yang paling dicari disini adalah “Bangtan Jeongsik”, yaitu menu makanan favorit anggota BTS. Menu tersebut terdiri dari ssambap (nasi yang dibungkus sayuran) dan heukdwaeji dolsot bibimbap (nasi campur babi hitam yang dihidangkan di hot pot). 

Restoran ini selalu penuh dikunjungi oleh penggemar BTS baik dari Korea maupun luar negeri, yang ingin mencoba “Bangtan Jeongsik” tepat di meja restoran yang selalu ditempati oleh BTS.

Cara menuju ke restoran: Pintu keluar 7 Stasiun Hakdong (Seoul Subway Line), jalan kaki sekitar 10 menit.


2. Chosun Hwaro

Chosun Hwaro, yang dulunya terkenal dengan iga bakarnya, kini terkenal sebagai tempat makan populer di kalangan selebritis, terutama BIGBANG. 

sumber foto: kto indonesia

Karena lokasinya yang dekat dengan YG Entertainment, banyak selebriti dari YG yang menjadi pelanggan tetap restoran ini. 

Pengunjung dapat menikmati sajian barbeque khas Korea di tengah dekorasi restoran yang dihiasi oleh tanda tangan dan foto anggota BIGBANG. 

sumber foto: kto indonesia

sumber foto: kto indonesia

Jangan lupa untuk berfoto dan membagikannya di akun Instagram, ya!

Cara menuju ke sana: Pintu keluar 1 (Seoul Subway Line 2, Kereta Bandara, Gyeongui-Jungang Line, jalan kaki sekitar 5 menit

 

3. Jilhal Bros

Terletak di Apgujeon, Gangnam, Jilhal Bros ini merupakan restoran ramah Muslim favorit Yugyeom, anggota termuda GOT7. 

sumber foto: dreamers id

Dari sekian banyak menu yang ditawarkan, menu favorit yang direkomendasikan oleh Yugyeom adalah combo rice, yaitu kombinasi daging ayam, daging domba, salad, dan saus krim yang disajikan dengan roti pita. 

Yugyeom menyebut menu ini sebagai soul food-nya. Penggemar GOT7 pastinya wajib datang ke sini!

Cara menuju ke restoran: Pintu keluar 2 Stasiun Apgujeong Rodeo (Bundang Line), jalan kaki sekitar 15 menit.

 

4. Myeongjangjok

Masih di wilayah Gangnam, Myeongjangjok adalah restoran favorit Taemin SHINee. 

sumber foto: kto indonesia

sumber foto: kto indonesia

Restoran ini dihiasi dengan beragam kerajinan tangan para penggemar dan tentu saja foto Taemin. Meja di mana Taemin duduk pun diberi tanda “Taemin’s Seat”. 

sumber foto: kto indonesia

Selain itu menu favoritnya pun diberi nama “Menu Set Taemin”, yang terdiri dari Makguksu (mie soba pedas) dan jokbal (hidangan kaki babi yang dimasak dengan kecap dan rempah-rempah).

Cara menuju ke Restoran: Pintu keluar 10 Stasiun Hakdong (Seoul Subway Line 7), jalan kaki sekitar 5 menit.


5. Solbin Superdog

Solbin Superdog adalah salah satu restoran yang direkomendasikan oleh Kim Hee-chul Super Junior. 

sumber foto: line today

Restoran di Apgujeong ini menawarkan menu seperti taco, hot dog dan rice bowl. Menu favorit Kim Hee-chul adalah spicy dog, yang sangat pedas tapi membuat ketagihan. Namun, hidangan andalah restoran ini adalah nasi galbi yang disajikan dengan nachos, krim asam, cabai jalapeno dan sayuran.

Cara menuju ke restoran: Pintu keluar 5 Stasiun Apgujeong Rodeo, jalan kaki sekitar 1 menit



sumber artikel, di sini. 

Al Fine. [ episode kesebelas - B ]

 

Rasi's POV

 

"Ini beneran bisa nih Kresnus di tanggal 30 ini?"

Saya tolehkan kepala pada sosok Javaskara yang saat ini tengah memutar kemudinya untuk keluar dari parkiran. "Yaaa ini kita ke sana 'kan, Mas?"

Demi seluruh penghuni semesta, saya ingin jujur bahwa berada satu mobil dengan Javaskara hanya berdua seperti ini buat saya tak bisa sepenuhnya nyaman.

Pertama, ia adalah karib dari atasan saya yang tentu saja lingkup pergaulannya tak pernah ada di ruang yang sama dengan saya. Kedua, caranya bertutur memang lugas, santai, dan terkesan friendly, namun sosok dan kehadirannya adalah intimidasi paling ampuh yang sanggup buat ciut semua nyali. Dan ketiga, aroma mobil ini terus buat saya ingat dengan sosok yang seharusnya tak lagi pernah saya ingat.

Decit ban mobil terdengar nyaring ketika ia belokkan mobil dengan tajam, lalu berikan karcis parkir pada petugas yang terkejut tatap personanya. "Maksud gue kok bisa? Setau gue dia nggak suka ada unsur nepotisme deh."

"Nggak ada nepotisme, Mas. 'Kan tadi saya udah bilang kalau alasan booked itu bukan karena ada acara, tapi memang karena mereka habis ada acara, dan mereka nggak siap untuk harus ada acara dalam waktu yang dekat. Karena Gazebo Rahajeng itu sulit untuk dibersihkan dengan cepat," terang saya dengan harapan ia tak lagi ajukan banyak pertanyaan.

"Ya tapi buktinya bisa sama lo."

"Oh maaf, ini kayaknya yang saya lupa bilang."

"What?" ada raut penuh khawatir yang kini tampak di wajahnya, ketika ia lihat saya menepukkan telapak tangan pada kening.

"Saya nggak bilang kalau Mas nanti bisa pakai Gazebo Rahajeng itu gitu aja hanya dengan mengandalkan karyawan Kresnus yang cleaning. Tapi, karyawan Mas juga harus ikut, atau mungkin sewa jasa pembersihan gitu untuk bantu cleaning the areas."

Java tersenyum, sambil sandarkan tangan kanannya pada jendela lalu tatap saya begitu lekat. "Oalah, itu gampang. By the way, lo kenal Dewa udah lama?"

"Lumayan."

"How long?"

Tatapan saya sedikit menerawang untuk kenang semua cerita yang ada, dan menyampaikannya dengan singkat, namun cukup jelas untuk dipahami. "Sebetulnya, saya kenal Mas Dewa udah dari kecil, cuma memang nggak yang akrab banget. Tapi waktu saya kuliah di Aussie, Mas Dewa kebetulan lagi bikin restoran juga di sana. Jadi yaa, dari situ sih baru yang deket dan sering ngobrol."

"Kok bisa kenal dari kecil? Tetangga?"

"Orangtua kami sahabatan, Mas."

Javaskara menyalakan musik, dan membiarkan suaranya berada pada volume yang cukup, tak mengganggu percakapan, juga tak mengizinkan sepi mengisi. "Bukannya orangtua Dewa tuh di Ministry? Berarti orangtua lo juga?" pertanyaannya kembali.

"Hm, iya," jawab saya singkat, berharap ia tak bertanya lebih lanjut soal orangtua saya.

"Oalah. Eh tapi Dewa tuh gimana sih anaknya? Media kayaknya sering bilang dia judes dan ansos deh setahu gue."

Setengah mati saya bersyukur ia menghentikan tanya jawabnya perihal orangtua, namun saya juga mengutuk dalam hati sebab Javaskara selalu ciptakan hal lain untuk kemudian dibicarakan. Belum lagi pertanyaannya sungguh ingin membuat saya tertawa, sebab Dewandaru yang saya kenal tak pernah seperti yang ia sebutkan.

"Mas Dewa itu baik banget. Sangat amat baik dan sopan malah. Tapi yaaa namanya juga media, mungkin mereka begitu karena Mas Dewa selalu tolak semua interview, karena ya dia emang nggak suka spotlight aja."

Javaskara masih tatap jalanan dengan serius, meski kepalanya beri anggukan pada semua ucap yang saya lontarkan. Dari jarak sedekat ini, saya tahu betul presensinya benar-benar sanggup buat siapa pun manusia yang bersitatap dengannya akan suguhkan kata sungkan, untuk sanggah ucapannya.

Ponsel saya berbunyi tepat ketika Javaskara menoleh, "Mas, maaf saya angkat telepon, boleh?"

"Go on," jawabnya dengan senyuman yang saya pastikan buat seluruh juwita yang mengenalnya akan luluh.

 




"Lah, bisa nggak kaku lo?"

Saya baru saja hendak memasukkan ponsel ke dalam tas, ketika Javaskara sudah mengagetkan saya dengan pertanyaannya. "Maksudnya, Mas?"

"Dari tadi pas masuk mobil, sampai detik ini lo ngomong sama gue tuh kaku banget. Emang lo nggak nyadar?"

"Hmmm..."

"Gue bukan boss lo! Jadi santai aja, pakai lo gue aja lebih enak daripada harus saya-saya gitu," lanjutnya lagi.

"O... oke."

"Terus itu tadi Dewa, Ras? Nama lo Rasi 'kan bener?"

"Iya betul, Mas."

Ia menghela sambil menggelengkan kepalanya, "Javaskara, Ras. Panggil gue Java aja, nggak usah Mas Mas gitu. Terus kenapa tuh Dewa nelepon lo? Kresnus nggak bisa dipakai?"

"Bukan, itu tadi Mas Dewa cuma bilang kalau nggak bisa nemuin kita nanti."

"Yah," ia menoleh sekilas, "Gagal dong gue kenalan. Emang kenapa?"

"Ada keperluan katanya."

"Tapi ini yakin bisa, 'kan?"

"Hahahaha," saya lekas tutup mulut seusai satu tawa lepas dari bibir dengan tanyanya yang begitu meragu. "Ini tuh masih nggak percaya juga, ya?"

Javaskara tampilkan smirk-nya, lalu menyigar rambutnya yang agak kecokletan agar anak-anak rambutnya tak menghalangi pandangan. "Nggak gitu. Gue tuh takut aja nanti di-prank."

"Trust in me, Jav. Lagian Mas Dewa udah bilang ke karyawan juga kok."

"Well, okay?! Okay," jawabnya diikuti dengan tawa yang bantu urai ragu serta canggung. Sebab tak lama berselang sesudahnya, Kahiyang Respati Nusantara sudah tampak di pelupuk mata dengan keanggunan dan kemegahan yang dia miliki di tengah padatnya Jakarta.


***


Saya tengah menikmati semangkuk wedang ronde, ketika Javaskara tertawa, dan membuat saya kembali melirik dia yang kini duduk di seberang saya.

"Sumpah! Hoki banget gue hari ini," jelasnya sambil lihat ke sekeliling yang dipenuhi oleh orang-orang yang tengah santap hidangan mereka.

"Kenapa?"

Tuhan mungkin benar sedang berbahagia ketika ciptakan beberapa umatnya di dunia, sebab senyum Javaskara sanggup berikan bahagia untuk siapa pun yang melihat. "Beban gue buat pesan tempat ini udah beres. Terus sekarang gue bisa makan di sini, tanpa perlu reservasi, bahkan gratis pula. Blessing banget deh lo, Ras."

Saya tertawa dengar jawabannya yang cukup panjang sambil gelengkan kepala.

"Resign aja deh lo dari tempatnya Kenzo, Ras. Terus lo kerja di tempat gue gimana? Eh nggak deng, jadi partner kerja gue aja."

"Bilang gitu langsung ke boss gue berani nggak?" pelan saya bertanya dengan biasakan diri untuk gunakan 'gue-lo' sesuai permintaannya. Sebab bila tidak begitu, saya enggan untuk berdebat lagi dengannya seperti di Gazebo Rahajeng tadi.

"Nggak sih," ia menggeleng masih dengan tawa yang tergambar jelas di wajah. "Bisa dihajar gue kayaknya sama Kenzo. Soalnya dia muji lo terus, like a lot."

"Eh, gimana?"

"Jadi, dia tuh suka banget muji karyawan-karyawannya, especially elo. Katanya, lo tuh anak baru tapi gokil banget otak dan kinerjanya. Dan setelah gue lihat hari ini, ya emang bener, apalagi tadi pas lo bantu gue arrange dadakan for the event. So, meski gue udah merasa cukup sama karyawan gue sekarang, tapi buat elo kayaknya lowongan di EO gue terbuka lebar, Ras."

Beruntungnya saya sudah terbiasa dengan kata-kata manis yang sering diucapkan Athaya dan Langit, sebab kalau tidak, bisa-bisa muka saya akan memerah usai dengar semua tutur pujian yang Javaskara berikan. "It's a compliments, right?"

"Of course. Gue nggak pernah ngibul."

"Tapi sering ghosting?"

Tawanya tercipta dan menembus koklea saya dengan pelan. "Damn! It hurts me anyway hahaha. Jangan percaya media ah."

Saya menggeleng, "Well, i'm not. Since I don't know you, Jav. Dan gue juga nggak pernah tahu berita di media Indonesia, karena emang nggak ngikutin."

"Terus kenapa lo bilang gitu ke gue?"

Sendok dan pisau yang tadi saya gunakan untuk memotong lumpia goreng, saya letakkan di atas piring dengan menghadap ke arah kanan, lalu menyeka mulut sebelum biarkan es beras kencur yang saya pesan membasahi kerongkongan. "Javaskara, semoga lo nggak lupa ya kalau tadi itu kita ngecek Gazebo Rahajeng sama Mbak Manajer yang udah bolak-balik blushing karena terus lo godain ya."

"Hahahaha, nggak, Ras. Gue cuma praising her. She deserve the praise and appreciation for what she has done, right? And if she is very easily flattered by eloquent compliment, terus salah gue?"

"Pujian yang terlalu banyak tuh jadinya sugarcoating. Mohon maaf aja nih, Javaskara."

"And surprisingly enough you are eyeing on me."

"No, i'm not. Gue cuma lihat apa yang ada di depan mata gue, Jav."

"It's a yes, Ras," jawabnya dengan penuh kemenangan yang terukir di bibir dan juga sinar matanya. Membuat saya hanya sanggup mengedikkan bahu dan enggan terjerat lebih dalam, dari pesona yang terbiasa ia umbar itu.

"Lo tinggal di mana?"

"Eh?"

"Sering banget sih lo ngomong eh, Ras."

"My bad, maaf," ucap saya sedikit terkejut karena ia perhatikan kebiasaan saya yang tak banyak orang tahu. "Nanti pisah di sini aja, gue pulang sendiri gapapa kok, Jav," lanjut saya.

"Emang gue nanya tuh mau nganter ya, Ras?"

Sontak saya lirik ia yang tengah menahan tawa, lalu memutar mata ke arah lain untuk menghindarinya.

"Hahaha cute! Kenapa lo gemesin kalau lagi muter bola mata gitu, Ras?"

"I'm not interested, sweet talker. But I really appreciate you."

"Terus apa yang bisa bikin lo tertarik?"

"Nggak ada," sanggah saya untuk hentikan semua upayanya memberikan bualan manis.

"Hahahaha. Oke serius, lo tinggal di mana? Gue anter baliknya, Ras. Udah malem juga ini, nggak baik cewek pulang sendiri."

"Bukannya malah bahaya kalau pulang sama lo?"

"I'll take it as a compliment, Ras. Serius lo tinggal di mana?"

"Apartemen Terracota, deket sama kantor."

"Oh ya udah gue anter aja."

Saya mengernyitkan dahi menatapnya bingung. "Emang lo tinggal di mana?"

"Senopati."

"Hah?" saya membelalakkan mata begitu dengar ia ucap salah satu kawasan di Jakarta Selatan. "Itu akan muter nggak sih, Jav? Gue sendiri aja gapapa."

Javaskara menenggak habis Ginger Ale yang dia pesan, lalu menyeka sudut-sudut bibirnya. "Lo tahu nggak, gue lebih baik muter dan ngadepin macet, daripada besok gue tinggal nama doang karena Kenzo ngamuk, soalnya dia harus kehilangan karyawannya yang paling berharga."

"Lebay!"

"Yeee lo nggak tahu aja Kenzo kalau udah marah kayak gimana."

Saya menganggukkan kepala enggan untuk menyanggah ucapannya. "Kalau gitu, semoga gue nggak pernah tahu marahnya deh, ya!"

"Amin. Anyway, Ras," Tatapannya lekat dijatuhkan pada saya "Do you have a boyfriend?"

Biasanya, saya akan tersinggung ketika dengar pertanyaan yang sudah menyangkut ranah pribadi dari orang-orang yang tidak saya kenal dengan baik. Biasanya, saya akan langsung menilainya sebagai seseorang yang tak semestinya dikenali lebih baik. Namun entah kenapa pertanyaan Javaskara, justru picu tawa saya untuk hadir, meski ada keterkejutan juga di antaranya.

"Wow that's so.... Lo tuh to the point banget, ya, Jav?"

Javaskara hanya berikan senyumannya. "Gue mau coba daftar kalau belum ada. Cause i never imagine that you're really really gorgeous."

"Besok coba lagi, ya, sugarcoating-nya. Tapi sama perempuan lain aja, gue nggak minat dimanisin sama lo, Jav," tukas saya sebelum akhirnya berdiri untuk lekas pulang sebab notifikasi di ponsel sudah tunjukkan beberapa pesan dari Utara.

"Mulai hari ini gue maunya ke elo aja, Ras."

"Berhenti sekarang atau gue pulang sendiri, Jav?"


***


Untuk kali ini, saya biarkan Javaskara mengantarkan saya, daripada harus temui perdebatan dan juga perselisihan yang justru akan membuat hubungan kami menjadi canggung. Javaskara menghentikan mobilnya tepat di depan lobby apartemen, membuat saya juga lekas melepaskan seatbelt lalu bersiap turun dari kendaraannya.

"Nggak ngajak gue mampir nih, Ras?"

Pertanyaan Javaskara masih saja membuat saya menggelengkan kepala, sebab usahanya yang kini kembali, padahal sejak tadi sudah banyak obrolan yang saya pikir akan buatnya tak perlu lancarkan aksi serupa yang sering dia beri untuk deret wanita-wanita di hidupnya. "Makasih banyak udah dianter pulang ya, Jav."

"Hahahaha," tawanya terdengar lebih rileks dan juga lepas. "Kok langsung tanpa jawaban banget sih, Ras?"

"Lo hati-hati, ya. Makasih sekali lagi karena udah mau anter gue balik.

"Iya sama-sama."

Saya baru saja membuka pintu mobil, saat Javaskara kembali membuat saya menoleh sebab panggilannya. "Eh Ras Ras."

"Hm?"

"Nggak perlu dikabarin udah sampe atau belum gitu?

Lagi-lagi saya abaikan pertanyaannya dan lebih memilih untuk turun dari mobil, lalu berdiri tepat di samping pintu kemudi.

"Gue tanya nomor lo ke Kenzo boleh nggak?"

"Enggak."

"Buat jawaban yang mana tuh?"

"Dua-duanya."

"Okay, i'll try again nih ya berarti."

Kalau dipikir-pikir lagi, Javaskara dan Langit sepertinya cocok untuk berteman. Sebab keduanya benar-benar hobi memancing emosi, terlebih pada orang-orang yang tak berselera untuk dengar semua bualan manis yang sudah mendarah daging pada lidah dan bibirnya.

Lambaian tangan saya berikan, sembari ucapkan kalimat yang jadi pamungkas percakapan malam ini. "Selamat malam, Mas Javaskara."

"Oh c'mon. Don't set the boundaries again, Ras."

"I'm not. But this is me trying to be profesional as one of your buddy workers, Jav."

Javaskara tampilkan senyumnya yang saya jamin terlihat rupawan dan juga memesona. Sebelum ia naikkan jendela dengan sepenuhnya, ia kembali pandangi saya lalu lontarkan satu kalimat penutup yang entah mengapa buat saya percaya, bahwa ucapannya bukan sekadar bualan. "I promise you, after this we'll meet me everyday. Good night, gorgeous."



Al Fine. [ episode kesebelas - A ]

 

track 10: memulai kembali
untuk mengenal dan dikenal

 

 

Rasi's POV

Saya tidak akan pernah bilang, bahwa saya tidak menyukai bekerja di tempat saya saat ini menikmati koin-koin yang mengisi rekening setiap bulannya. ALIVE. adalah satu dari sekian banyak social startup yang juga tengah berkembang di Jakarta.

Alasan saya memilih tempat ini sebetulnya hanya satu, ALIVE. tidak bekerja untuk kepentingan pribadi. Ia tumbuh dan hadir untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat. Sebuah hal yang wajar, mengingat CEO-nya termasuk dalam dua puluh besar orang terkaya di Asia. Untuk apa mereka mencari keuntungan, bila dalam tidurnya pun rupiah sudah terus mengisi tabungan?

Namun kemudian, alasan-alasan saya untuk bertahan di ALIVE. pun kian bertambah, salah satunya ialah suasana kekeluargaan yang melingkupi. Mungkin penyebabnya adalah Nayaka Kenzo Hutomo; sang founder yang alih-alih dipanggil Pak, ia justru selalu membiasakan kami untuk memanggilnya 'Mas' dan dan melarang kami untuk bersikap formal di luar jam kerja.

Meski di sudut-sudut pikiran pun kami acap kali merasa sungkan, sebab mengerti bahwa circle-nya bukanlah sesuatu yang bisa ditembus oleh manusia-manusia biasa, tanpa label nama besar keluarga di deretan asma yang tercetak di kartu tanda pengenal.

Bahkan saya, yang masih terhitung anak baru pun sudah dipercaya menjadi IT Project Manager, dan tak timbulkan kesenjangan di antara karyawan lainnya. Berulang kali saya haturkan terima kasih pada Tuhan dalam semua sujud yang ada, sebab diberikan berkah yang berbalut keluarga, meski tak harus mengalir darah yang sama pada nadi. Sesuatu yang sempat hilang, sebab rumah tak ubahnya kosong yang nyata menyambut saya setiap waktunya.

"Zo, gue nyerah! Kresnus mau pakai duit berapa pun nggak akan tembus. Bikin acara di tempat lain deh."

Pintu terbuka dengan lantunan keluhan yang menelusup, membuat saya dan Kenzo menoleh, untuk lihat siapa yang hadir.

"Kebiasaan banget! Ketok pintu dulu kek, Jav. Bentar dulu bahasnya, ini gue masih ada kerjaaan."

"Makan siang kali, Zo."

Lelaki yang baru tiba dengan kemeja putih yang sudah tak lagi terkancing rapi itu, langsung menempati sofa kosong tempat Kenzo biasa menjamu beberapa relasi. Menatap tak peduli pada racau atasan saya yang sudah hela napas lelahnya.

"Ya udah, Ras," saya kembali menatap Kenzo. "Detailnya bisa kamu kirim by email hari ini juga, 'kan?"

Saya berikan anggukan dan juga senyuman padanya. "Bisa, Mas. Setelah ini langsung saya kirim, ya."

"Thank you, Ras," untaian sakral itu tak pernah absen dari tutur kata Kenzo.

"Kalau gitu saya permisi, Mas," pamit saya dan membuatnya lekas berdiri menghampiri kawannya.

"Jadi gabisa banget nih pake Kresnus? Bayar berapa pun?"

"Hm, kecuali ada orang dalam yang lo kenal, eh nggak deh, dia anti jalur nepotisme. Ya kecuali lo keluarganya, pasti bisa-bisa aja."

"Tapi gue bukan keluarganya."

"Ya udah, gausah berharap."

Percakapan mereka jujur saja mengusik saya yang sebetulnya familiar dengan Kresnus. "Maaf sebelumnya," saya berbalik menatap mereka tepat sebelum membuka pintu ruangan. "Maaf juga kalau saya menyela. Ini maksudnya Kresnus itu, Kahiyang Respati Nusantara 'kan, ya?"

"Iya, lo tahu, Ras?"

"Eh?"

Kenzo tertawa mendapati saya yang terkejut dengar pertanyaannya. "Udah jam istirahat, Ras. Pakai lo gue aja."

Saya melirik jam tangan, lalu mengangguk paham dengan perubahaan pilihan katanya. "Yang ownernya Mas Dewa, 'kan?" sekali lagi saya coba memastikan.

"Tahu?"

"Kenal sih, Mas," jawab saya dengan senyum yang juga tutupi canggung.

Kali ini kawannya yang bereaksi dan mengubah duduknya dengan tegak. "For real?"

"Iya, Mas. Tapi maaf sebelumnya, emang ada masalah apa, ya? Mungkin saya bisa bantu."

Kenzo menggulung lengan sweater coklat yang hari ini dia pakai. "Gini, gue, bukan gue sih tapi nyokap gue ada acara anniversary, dan maunya cuma di situ. Sebenarnya dari awal tahun dia udah bilang maunya di situ. Tapi gue lupa untuk booking tempatnya. Terus," Kenzo menjeda kalimatnya dan melirik karibnya yang saat ini sudah menggelengkan kepala. "Gue 'kan punya sahabat nih, namanya Javaskara Khyaatama Loka yang katanya sih, katanya punya side bisnis EO paling kece se-Indonesia, katanya."

Saya mengangguk sambil tetap perhatikan ia untuk dengar kelanjutan penjelasannya. "Nah gue mikirnya ya udah aja, dia aja kalau gitu yang urus. Secara track recordnya juga oke."

"Tapi bukan buat dadakan ya, Zo."

"Iya itu salah gue, tapi 'kan elo Java, ya gue mikirnya mah bisa. Tapi ternyata, Ras, Kresnus tetap nggak bisa dipakai karena waiting list mereka masih panjang."

Saya baru akan bersuara ketika Kenzo kembali berdeham dan memberikan kalimat pamungkasnya. "Ya intinya, bayar berapa pun katanya gamau dan emang nggak bisa."

"Ya emang wajar, 'kan?" kali ini Javaskara bersuara dengan berapi-api. "Lo tahu sendiri waiting list di sana sepanjang apa. Kalau lo mau, ya lo urus deh tuh sana sendiri . Gue sih mending mundur ajalah urus acara lo and your classy fancy fams."

Anggukan saya berikan sebagai respon, sebab Kenzo kembali tatap saya seolah ingin jawaban. "Boleh tahu acaranya tanggal berapa, Mas?"

"Sepuluh hari dari sekarang." Javaskara lebih dulu bersuara, "Gila nggak bos lo? We talk about Kresnus yaaaa Nayaka Kenzo Hutomo. Dan lo, nyuruh gue reservasi di saat dadakan? Lo nyuruh gue jual ginjal pun, tetep nggak bisa ditembusin itu tempat."

"Acaranya butuh a whole Kresnus, Mas?"

"Nggak, Ras."

"Ralat," mata saya beralih menatap Javaskara. "Boss lo yang nggak tahu diri ini, emang nggak minta a whole Kresnus, tapiii dia minta yang gazebo belakang, yang demi apa pun request-nya paling susah se-ujung dunia."

Ada jeda yang menggantung usai Javaskara berbicara. Saya sedikit menimbang, ada ragu namun juga keinginan untuk membantu. "Kasih waktu saya 15 menit boleh ya, Mas? Saya coba bantu hubungi Kresnus."

"Hah? Yakin bisa, Ras?"

Saya sambut tanyanya dengan senyuman. "Saya coba dulu ya, Mas. Permisi sebentar."

Rasanya bohong bila seluruh warga Jakarta, bahkan Indonesia, hingga mungkin mancanegara tidak tahu dengan tempat yang bernama Kahiyang Respati Nusantara. Restoran mewah nan elegan yang berada di jantung pusat Ibukota ini.

Restoran yang mengusung tema Indonesia, yang dibalut dengan ragam etnis serta citarasa yang dimiliki negeri ini merupakan kepemilikan Dewandaru Imba Gumilar. Salah satu kebanggaan Indonesia yang sepak terjangnya di dunia kuliner tak perlu diragukan lagi. Dan juga, salah satu kawan saya sejak duduk di bangku sekolah dasar, namun baru terjalin komunikasi apik ketika kami sama-sama melewati hidup di Australia.

"Halo, Mas Dewa," saya langsung menyapanya ketika panggilan sudah terhubung.

"Rasi!!! Duh girl i miss you so much. How's life?"

"Baik, seperti biasa. I hope you too."

"I am."

"Anyway kamu sibuk nggak, Mas?"

"Buatmu nggak akan ada sibuk."

Saya tersenyum dengan tutur manisnya yang tak jua hilang, meski kami sempat lama tak saling tukar kabar. "Kalau gitu aku tambah lagi sibuknya!"

Tawanya terdengar merdu di ujung saluran telepon. "Hahaha boleh. Kenapa kenapa?"

"Lagi di mana?"

"Baru banget sampai Kresnus. Biasalah, mau control."

"Kebetulan banget!" rona bahagia pasti sudah penuhi manik mata saya saat dengar jawabannya tadi.

"Waduh kenapa nih?"

"Hmmm. Gazebo Rahajeng full booked ya, Mas buat tanggal..." saya lirik tanggal di jam tangan dan menghitung hari yang tadi sempat disinggung Javaskara. "Tanggal 30 Juni."

"Sebentar, coba aku cek dulu, ya."

Deru napasnya tak lagi terdengar pada panggilan, digantikan dengan suara keyboard yang terdengar. Lucu ya, menunggu ternyata selalu picu debar untuk datang. Padahal penantian kali ini hanya soal tanggal, yang besar harapan saya tak berikan kata kecewa.

"Hmmm. Tanggal 30 itu penuh sampai jam lima sih, Ras."

"Terus malamnya kosong?"

"Kresnus tutup jam sembilan, ma chérie. Kamu tahu Rahajeng seluas apa, 'kan? Nggak mungkin bisa dibersihin dalam waktu satu jam. So yeah, jawaban paling mudahnya booked till close."

Saya embuskan napas kecewa, usai dengar jawabannya yang semula sempat bangkitkan harapan. "Yah, Mas."

"Kenapa? Kamu mau pakai?"

"Bisa diusahain nggak sih, Mas? Ini atasanku mau pakai buat acara anniversary orangtuanya. BM kayaknya sama restomu."

Tawanya hadir meluruhkan sedikit kecewa. "Hahahaha, gimana, ya. Tapi, kalau dekorasi nggak di-handle Kresnus, terus cleaning-nya juga dibantu, bisa nggak? Since you know, karyawanku di Kresnus nggak banyak."

"Tetep yaaaa quality over quantity," gurau saya untuk turunkan semua tegang yang tengah saya miliki saat ini.

"Of course, ma chérie."

"Hmmm, kalau aku jawab oke aku yang urus semuanya, gimana?"

"Then, Gazebo Rahajeng totally yours."

"Serius, Mas?"

"Bohong sama kamu itu bikin orang-orang ngerasa bersalah berkepanjangan, Ras. Aku nggak mau deh kayaknya ambil resiko itu."

Gantian saya yang sambut ucapannya dengan tawa pelan, sambil sesekali lirik ruangan Kenzo dan juga jam di tangan. "Oke berarti deal, ya! Awas kalau tiba-tiba cancel, aku bilang ke Ibu Asa supaya kamu disuruh balik tinggal di Australia."

"Itu jauh lebih seram sih, Ras. Kalau gitu nanti aku bilang ke Manajer Kresnus ya, kamu datang aja untuk ketemu sama mereka. Kalau kamu mau datang hari ini sih boleh banget, mumpung aku ada di Kresnus sampai sore nanti. Tapi kalau nggak bisa, ya gapapa, sesempatnya kamu aja."

"Mau banget ketemu kamu. I have a super duper long story ever, Mas!"

"Well, i would love to hear your story, ma chérie."

Dewandaru adalah sahabat yang saya temukan di antara semua resah untuk habiskan waktu selama hidup dengan orangtua di Australia. Cita-cita yang sempat saya inginkan, namun terpaksa patah karena leher sepertinya habis dijerat semua titah yang tak pernah sepakat bisa diterima, membuat dekat itu singgah untuk kemudian dipadu dalam cerita yang saling kami bagikan.

Karena nyatanya, tak hanya latar belakang pekerjaan orangtua yang serupa yang kami miliki. Sebab rasa kesepian, kecewa, bahkan jengah yang saya rasa juga mirip dengan kepemilikan laki-laki yang pandu semua teduh untuk reda dalam wajah juga tuturnya.

Saya tersenyum setiap kali ingat dengan Dewandaru yang sudah jelma kakak bagi saya yang sendirian. "Soon, oke? Tapi pokoknya, makasih banyak ya, Mas. Aku mau bilang ke atasanku dulu kalau gitu. Talk to you later, okay?"

"Yap. See you, Ras."

Panggilan ditutup dengan saya yang juga bawa lega serta ulas bahagia, sebelum sampaikan berita baik untuk Kenzo dan juga karibnya; Javaskara.

Pintu ruangannya saya ketuk, lalu terdengar suara Kenzo yang izinkan saya masuk ke dalam. "Mas, acaranya tanggal 30 ini berarti, ya?"

Kenzo anggukan kepalanya dengan alis sebelah kirinya yang tampak ingin dengar kabar yang saya bawa. "Kalau acaranya mulai di jam tujuh, dan selesai di jam sembilan, is that okay?"

"Gimana maksud lo?" Javaskara buat saya tolehkan kepala dan juga mata untuk memandangnya. Belum sempat saya menjawab, Kenzo lebih dulu meminta saya untuk mendekat, lalu izinkan saya duduk bergabung di antara mereka.

"Gimana gimana maksudnya, Ras?" Kali ini Kenzo yang gaungkan penasarannya.

"Begini, kalau memang mau acaranya bisa di jam segitu, reservasi di Kresnus masih aman dan bisa diusahakan, Mas," pelan-pelan saya jelaskan jawaban atas ucapan Dewa lewat sambungan telepon tadi.

Seolah tak percaya, Kenzo yang tadi duduk bersandar, kini tangkupkan kedua telapak tangannya, lalu duduk menyamping menatap saya penuh telisik. "Bentar dulu, maksud lo gimana, Ras?"

Sikap dan tanyanya membuat saya tersenyum maklum sebelum kembali menjelaskan. "Begini, Mas, kalau acaranya di Kresnus di tanggal 30, di jam tujuh malam sampai dengan sembilan malam, Mas Kenzo bisa pakai Gazebo Rahajeng yang di belakang itu."

"KOK BISA?" Sontak saya dan Kenzo terkejut dengar satu oktaf suara pria yang bernama Javaskara itu bertanya.

"Tadi saya sudah bicara langsung ke Mas Dewa. Dan dia bilang, Gazebo Rahajeng bisa digunakan karena di tanggal itu sebetulnya hanya ada acara sampai jam lima sore. Tapi karena Gazebo Rahajeng itu luas, proses cleaning-nya nggak bisa sebentar. Dan itu yang membuat Gazebo Rahajeng nggak memungkinkan untuk dibuka lagi, mengingat mereka pun sudah harus tutup di jam sembilan. Jadi memang semua reservasi di atas jam lima, ditolak oleh Kresnus, Mas."

"Wait," Javaskara memicingkan matanya. "Elo? Nelpon dewa? Ownernya Kresnus?"

"Iya, Mas."

"Lah lo kenal, Ras? Bukannya dia anti buat dihubungi buat kerjaan lewat jalur pribadi kalau sama orang lain? Dan, aduh I dont get the point, Ras."

"Gausah ngertiin pointnya dong, Zo. Itu tuh nggak penting. Karena yang penting sekarang tuh," Javaskara menepis pertanyaan Kenzo untuk saya, lalu kali ini ia berikan sepenuhnya tatap legamnya untuk saya. "It's a yes buat tanggal 30 ini di Kresnus, di Gazebo Rahajeng?"

Tanyanya penuh penekanan di tiap kata, membuat saya juga berikan tatap yakin. "Iya betul, Mas."

Kenzo sembunyikan senyumnya dengan binar ceria pada dwinetranya, "Beneran, Ras?"

"Iya. Nanti sepulang kerja atau besok saya bantu untuk reservasi langsung ke sana, Mas."

Javaskara lekas menyela, "Lo pulang cepet deh kalau gitu. Siapa tadi nama lo?"

"Rasi, Mas."

"Zo, gue pinjem karyawan lo kalau gitu abis makan siang ini."

Saya dan Kenzo sama-sama menoleh dengar pernyataan sepihaknya. "Gabisa, Jav. Rasi masih ada kerjaan dan rapat habis makan siang ini."

Javaskara berdecak sambil memasangkan kembali jam tangannya yang tadi sempat ia letakkan di meja. "Lo take over dong, Zo. Lo mau acara nyokap lo lancar nggak?"

"Ya mau."

"Ya udah, kalau gitu biarin dia pulang, gue mau ajak dia langsung ke Kresnus, hari ini, siang ini."

Kenzo menggelengkan kepalanya sembari bersandar. "Gabisa. Kerjaan ya tetep kerjaan. Urusan nyokap gue ya beda lagi."

"Fine, gausah suruh lembur tapi! Tenggo ya ini anak, biar bisa langsung urus Kresnus sama gue."

"Tanya Rasinya dulu kali, Jav." Kenzo mengalihkan tatapnya pada saya. "Ras gimana? Bisa ikut Java?"

"Hmm. Sebetulnya nanti biar saya aja yang ke Kresnus sendiri gapapa, Mas"

"Gabisa. Gue tetap harus ke sana juga buat cek langsung."

Kalau saja bisa jujur, kepala saya saat ini penuh dengan alasan yang harus saya berikan pada Utara, untuk tolak ia dan agenda pulang bersamanya. Tapi kalau saya tak iyakan ajakan Javaskara, sudah pasti akan lebih lama lagi saya harus terlibat dengan mereka, yang sejatinya belum bubuhkan nyaman untuk didulang.

"Ras?"

Panggilan Kenzo memecah lamunan saya, "Hm kalau gitu sepulang kerja bisa kok, Mas," keputusan itu yang kemudian saya ambil. Meski belum tahu nanti akan jelaskan apa pada Utara yang selalu tak ingin ucapannya ditolak, tanpa alasan yang masuk akal juga bisa diterima.

"Good then," Javaskara tersenyum untuk pertama kalinya setelah sejak tadi hanya suguhkan wajah lusuh yang pusing dengan semua permintaan karibnya.

Akhirnya dibuka lagi! Yuk ke Korea!

Setelah sekian purnama nggak bisa terbang ke Korea, sekarang border-nya udah dibuka lagi. Coba mana suaranya yang senang, karena akhirnya tabungannya bisa dipakai jalan-jalan, dan/atau justru baru mau mulai giat menabung, karena hilalnya udah muncul?

Ngomongin soal Korea, buat kamu yang mau berlibur, aku mau berbagi tentang destinasi yang wajib dikunjungi ketika kamu ke negara ginseng ini! Apalagi kalau kamu ke Gangwon-do.

5 Tempat Yang Wajib Dikunjungi di Gangneung & Donghae

Gangwon-do diberkati dengan pemandangan alam yang indah, tetapi memiliki lebih banyak hal lain yang ditawarkan. Kota pantai Gangneung dan Donghae yang indah menarik perhatian wisatawan dengan atraksi yang baru dibuka. 

Dengan naik KTX-Eum dari Stasiun Seoul, Gangneung dapat dicapai hanya dalam 2 jam dan Donghae dalam 2 jam 30 menit. 


  • ARTE Museum Valley Gangneung


Museum ARTE Valley Gangneung dibuka pada Desember 2021 dan merupakan Museum ARTE ketiga yang dibuka, setelah cabang di Jeju dan Yeosu. Museum ARTE adalah galeri pameran yang menggunakan video, cermin, suara, dan wewangian untuk menciptakan ruang yang menarik, di mana kamu dapat menghargai seni media menggunakan panca inderamu. 

Sesaat setelah kamu melangkah masuk, kamu akan diliputi oleh kegelapan dengan hanya cahaya dan suara dari karya seni media untuk memandumu. Galeri pameran ini dibagi menjadi 12 (dua belas) ruangan sesuai dengan tema yang berbeda; seperti bunga, ombak, dan pantai.

pameran BEACH-CLOUD (kiri) | toko ARTE, toko souvenir (kanan)

pameran WATERFALL-INFINITE (kiri) | pameran FLOWER-COSMOS (kanan)

Satu hal yang perlu diingat adalah perhatikan langkahmu dan berjalanlah pelan-pelan sehingga kamu tidak perlu menabrak cermin apa pun. Selain itu, lorong-lorong yang masuk dan keluar dari setiap ruang bertema dirancang seperti labirin, sehingga pengunjung disarankan untuk menggunakan pamflet sebagai panduan untuk menemukan jalan. 

Di ujung pameran terakhir terdapat Toko ARTE, di mana Anda dapat membeli souvenir seperti diffuser, sabun buatan tangan, lilin beraroma, dan banyak lagi. 

ARTE Museum Valley adalah tempat yang sempurna untuk menghabiskan waktu baik dalam hujan atau salju karena semua pameran berada di dalam ruangan.

ARTE Museum Valley Gangneung
Alamat: 
131, Nanseolheon-ro, Gangneung-si, Gangwon-do (강원도 강릉시 난설헌로 131)
Jam operasional: 10.00–20.00 (Kunjungan terakhir 19.00)
Pertanyaan: +82-1899-5008
Situs web: artemuseum.com


  •  Haslla Art World

Haslla Art World terletak di atas sebuah bukit kecil di tepi laut. Nama museum “Haslla” mengacu pada nama Gangneung di masa lalu. 

Museum ini memiliki beragam karya seni dimensi yang dipamerkan baik di dalam maupun di luar ruangan.



Kursi yang dikelilingi bunga warna-warni dan pameran luar ruangan dengan latar belakang laut biru adalah beberapa karya seni kontemporer yang dijadikan sebagai spot foto yang akan membuatmu lupa waktu.

Selain galeri pameran, Haslla Art World juga memiliki restoran, kafe, dan hotel dengan kamar-kamar yang didesain dengan sentuhan artistik.

Haslla Art World
Alamat: 
1441, Yulgok-ro, Gangneung-si, Gangwon-do (강원도 강릉시 강동면 율곡로 1441)
Jam Operasional: 09.00–18.00
Pertanyaan: +82-33-644-9411
Situs web: www.haslla.kr 


  • Rumah Ojukheon

Rumah Ojukheon dinamai demikian karena banyaknya ojuk, atau bambu hitam, yang ditanam di sekitar area tersebut. Rumah Ojukheon adalah objek wisata yang wajib dikunjungi di Gangneung, tidak hanya karena pemandangannya yang indah tetapi juga karena nilai sejarahnya. 

Rumah Ojukheon adalah tempat kelahiran Yulgok Yi-i, salah satu cendekiawan paling terkenal dari dinasti Joseon. Potretnya ada di pecahan 5.000 won Korea, dan potret ibunya--Shin Saimdang--ada di pecahan 50.000 won Korea.


Rumah Ojukheon yang dibangun pada awal periode Joseon (kiri)
Patung Yulgok Yi-i (kanan)

Jejak tangan akrtis Lee-Young-ae dan aktor Song Seung-heon (kiri)
Bambu hitam atau Ojuk (kanan)


Rumah Ojukheon adalah tempat syuting drama “Saimdang, Memoir of Colors (2017)” dan memiliki plakat batu dengan cetakan tangan para pemeran utama drama tersebut, yang dapat kamu lihat sesaat setelah berjalan melewati pintu masuk. 

Di dalam gedung terdapat gedung Rumah Ojukheon, Munseongsa, sarangchae (kamar tamu utama), eojaegak, Balai Peringatan Yulgok Yi-i, dan Museum Kota Gangneung.

Rumah Ojukheon
Alamat: 
24, Yulgok-ro 3139beon-gil, Gangneung-si, Gangwon-do (강원도 강릉시 율곡로3139번길 24)
Jam operasional: 09.00–18.00 (Kunjungan terakhir 1 jam sebelum tutup)
* Tutup pada hari libur 1 Januari, Seollal (Hari tahun baru Korea) & Chuseok (Hari Thanksgiving Korea)
Pertanyaan: +82-33-660-3301
Situs web: www.gn.go.kr/museum/ 


  • Jalan Nongoldam-gil

Pemandangan Laut Timur (Donghae) dari Jalan Nongoldam-gil

Jalan Donghae Nondamgol-gil adalah jalan kecil di lingkungan perbukitan, dan juga merupakan desa mural tepi laut. 

Ikuti tangga dan gang untuk mencapai Mercusuar Mukho di puncak bukit untuk dapat menikmati pemandangan Laut Timur. Rumah dan dinding dihiasi dengan mural yang menggambarkan era keemasan Pelabuhan Mukhohang dan desa di tahun 1970-an.

Tangga dan gang di Nongoldam-gil (kiri)
Mercusuar Mukho (kanan)

Toko souvenir di Jalan Nongoldam-gil (kiri)
Mural di Jalan Nongoldam-gil (kanan)

Jalan Nongoldam-gil ditampilkan dalam beberapa drama. Dalam "The Heirs (2013)," area ini adalah lokasi syuting rumah Cha Eun-sang (Park Shin-hye), sedangkan Mercusuar Mukho muncul di "Brilliant Legacy (2009)," yang menampilkan Han Hyo-joo dan Lee Seung Gi. 

Berjalan sedikit lebih jauh dari puncak bukit untuk sampai ke tujuan selanjutnya, Lembah Langit Dojjaebigol.

Jalan Nongoldam-gil Donghae
Alamat:
 97, Ilchul-ro, Donghae-si, Gangwon-do (강원도 동해시 일출로 97)
Pertanyaan: +82-33-530-2231
Situs web: www.dh.go.kr/tour/ 


  •  Lembah Langit Dojjaebigol

Dibuka pada Juni 2021, Lembah Langit Dojjaebigol dilengkapi dengan tempat-tempat wisata seperti Sky Cycle, Giant Slide, dan Skywalk Overlook. 

Skywalk memiliki lantai kaca transparan untuk menunjukkan kepada pengunjung pemandangan yang mendebarkan 59 meter di bawah kaki mereka.

Pintu Masuk Lembah Langit Dojjaebigol (kiri)
Lantai Skywalk Transparan (kanan)

Observatorium Haerang Dojjaebigol (kiri)
Observatorium berbentuk pentung dokkaebi (kanan)

Kata dojjaebi adalah dialek Gangwon-do dan Gyeongsang-do untuk dokkaebi, goblin Korea yang muncul dalam cerita rakyat. Lembah itu dinamai makhluk mitos karena legenda tentang dojjaebi di lembah. 

Jika kamu mengikuti jalan menurun menuju laut dari Lembah Langit Dojjaebigol, kamu akan segera mencapai Observatorium Haerang yang menjorok ke laut. Kamu akan melihat dari jauh bahwa dek observatorium berbentuk oval, yang sebenarnya dirancang menyerupai tongkat pentung yang digunakan oleh dokkaebi. 

Observatorium Haerang juga memiliki lantai dasar kaca transparan yang memungkinkan pengunjung untuk melihat air biru tepat di bawah kaki mereka.

Lembah Langit Dojjaebigol
Alamat: 
2-109, Mukhojin-dong, Donghae-si, Gangwon-do (강원도 동해시 묵호진동 2-109)
Jam operasional: Musim panas 10.00–18.00 / Musim dingin 10.00–17.00
* Tutup setiap hari Senin
Pertanyaan: 82-33-530-2042
* Observatorium Haerang Dojjaebigol dibuka sepanjang tahun, kecuali dalam kondisi cuaca yang buruk

• Hotline Perjalanan Korea 1330: +82-2-1330 (bahasa Korea, Inggris, Jepang, Mandarin, Rusia, Vietnam, Thailand, Melayu)


Jadi, sudah siap untuk terbang ke Korea? Semoga tahun ini keinginanmu terwujud, ya!

sumber artikel 

Al Fine. [ episode kesepuluh ]

 

track 9: lose
pertanyaan pertama

 

Utara's POV
 
Gue tuh gampang banget kesal kalau ada orang yang jatuh cinta, tapi pura-pura nggak jatuh cinta. Kayak, ya ngapain sih? Ngaku aja. Masalah ditolak tuh ya belakangan. Kalau emang takut nggak bisa temenan lagi, ya itu berarti emang udah waktunya nggak bareng. Entah biar lo nggak makin sakit hati, atau bisa jadi biar lo juga ya udah pindah ke lain hati.

Ya tapi, ini nggak berlaku buat Rasi. Karena gue juga nggak tahu dia udah beneran move on atau belum. Karena biarpun gue sekarang dekat banget sama Rasi, urusan hati siapa sih yang tahu? Apalagi kemarin mantannya dengan seenak jidat muncul lagi. Nggak yang beneran muncul di hidup dia, tapi sialan aja rasanya muncul di media sosial terus unggah foto mereka dan bilang kangen.
 
Like what the hell are you doing, man?!
 
Lo mau bikin Rasi makin berantakan? Lo mau ngajak Rasi balikan? Atau lo mau ngapain anjir? Karena kalau emang cuma sekadar kangen, ya nggak usah segala upload. Sapa aja anaknya di chat, atau temuin, atau apa gitu. Yang nggak mengharuskan Rasi jadi overthinking apalagi sampai jadi bertanya-tanya.
 
Sialan emang. Coba gue tuh Rasi, udah mencak-mencak kali gue ngatain dia. Tapi ya namanya juga Rasi, semuanya kelihatan baik-baik aja padahal halah, mana ada baik. Buktinya sekarang dia sibuk banget di dapur, padahal gue sama dia baru aja selesai makan, dan piring-piring kami juga udah selesai dicuci.
 
Rasi dan semua kebiasannya emang nggak akan pernah berubah. Selalu menyibukkan diri di dapur tiap kali kepalanya berisik. Sampai kadang lupa sama sekitar, bahkan kayaknya dia udah lupa nih gue nangkring di sofanya, nunggu dia kelar sama apa yang dia kerjain.
 
"Ras," kali ini gue setengah berteriak memanggil dia.
 
Rasi menolehkan kepalanya, "Iya?"
 
"Masih belum selesai emangnya?"
 
"Eh hahahaha," tawanya membuat gue tahu ada banyak hal yang coba dia singkirkan. "Iya udah, bentar ya."
 
Gue kembali menatap punggungnya yang hanya mengenakan kaos oversized berwarna abu. Rasi mengambil secangkir air mineral, sambil berjalan mendekat ke arah gue dengan senyum yang ia sunggingkan.
 
"Udah?"
 
Ia hanya mengangguk, lalu memilih salah satu judul drama dari ragam pilihan yang disediakan pada tayangan Netflix. Gue menghela napas, menimbang banyak hal yang ingin dipertanyakan, namun juga ragu bila Rasi akan menolak.
 
Tapi ya udahlah, daripada gue simpan terus, mending langsung ditanyain aja. Daripada gue bisulan kebanyakan mendem, ya nggak?
 
"Ras."
 
Lagi, Rasi menolehkan kepalanya, lalu memandangi gue lekat. "Hm?"
 
"Kita sekarang tuh gimana, ya?"
 
Lama ia tak menjawab, lalu torehkan senyum, dan kembali membawa tanyanya. "Sahabat?"
 
"Sahabat nih, ya?" sekali lagi gue bertanya, mencari celah keraguan yang mungkin dia miliki.
 
"Hmmm. Kamu...kakaknya sahabat aku?"
 
"Udah itu aja?"
 
"Maksud kamu apa sih, Aditya?"
 
Gue meletakkan gelas berisi jus buatannya yang sejak tadi masih ada di tangan, lalu menatapnya tepat di manik mata. "Pernah nggak kamu mikir mau pacaran lagi, Ras?"
 
Rasi yang sedang meneguk minumannya kini tersedak, membuat gue lekas mendekat dan mengusap punggungnya. "Minum dulu minum, cantik."
 
Iya, gue paham betul pertanyaan gue akan mengusik rasa tenangnya. Bahkan gue juga bisa melihat ada ketegangan yang sekarang warnai paras cantiknya. Tapi bodo amat, nggak bisa juga gue sama dia diem-dieman kayak gini, seolah-olah gue nggak ada apa-apa ke dia. Yakali.
 
"Pernah nggak kepikiran?" kembali gue bertanya, sebab dari tadi dia enggan menjawab, bahkan memalingkan wajahnya dari gue.
 
"Kepikiran apa, Dit?"
 
"Ya pacaran lagi."
 
Rasi berdeham, kedua tangannya kini memilin ujung kaosnya. "Gatau."
 
"Gataunya kenapa?"
 
Perempuan cantik yang demi Tuhan buat gue emang cantik banget ini menatap gue, "Dit..."
 
Kali ini giliran gue yang menghela napas, tak kuasa melihat binar matanya yang berubah sendu. "Sekali-sekali boleh nggak aku ngomong serius, Ras?"
 
"Ya boleh, Dit."
 
"Ya udah dijawab atuh, cantik. Jadinya kamu pernah kepikiran, nggak?"
 
"Kalau aku bilang aku masih takut gimana?"
 
"Takutnya kenapa?"
 
Rasi membuang napasnya kasar dari mulut, lalu menaikkan kakinya di sofa, dan mendekapnya erat. "Dit, boleh nggak kalau nggak ngomongin ini?"
 
Ini kalau gue nggak tahan-tahanin, gue pasti udah luluh, dan menolak buat membahasnya. Tapi nggak, kali ini gue juga ingin obrolan kami nggak hanya sebatas hal-hal biasa. Sebab gue juga ingin memperjelas semuanya. Ya setidaknya, kalau memang dia belum benar selesai, gue tahu apa yang gue tunggu dan gue hadapi. Seenggaknya, gue tahu harus bersikap seperti apa.
 
"Alasannya kenapa kamu nggak mau ngomongin ini, Ras?"
 
"Aku. Aku belum bisa aja."
 
Jemari gue beralih mengitari pinggiran gelas yang ada di meja. Bohong kalau gue tidak ingin marah karena Rasi berulang kali menghindari hal ini. Bohong juga kalau gue tidak punya rasa penasaran atas apa yang saat ini ada di hati dan kepalanya.
 
"Mau sampai kapan, Ras?"
 
Rasi diam. Ia tundukkan kepalanya sembari pegangi jemari kakinya yang terbungkus kaos kaki. Kalau boleh jujur, gue enggan mengalah dan ingin terus mencecarnya dengan pertanyaan. Tapi, dasar bucin, rasa nggak tega gue jauh lebih besar dari pertanyaan yang membuat gue nggak pernah tenang ini.
 
"Ya udah, kalau gitu aku pulang, ya. Kamu istirahat aja."
 
Gue beranjak dari duduk, lalu berdiri lama di depannya untuk mengusap puncak kepalanya berkali-kali. Susah buat nggak memeluk Rasi di saat seperti ini. Tapi jauh lebih susah lagi buat gue mengendalikan perasaan yang ingin sekali gue tanyakan padanya, seberapa besar pengaruh Bintang bagi dirinya hingga sesulit ini ia usai dari kisahnya kemarin.
 
Itu yang pernah bilang perempuan lebih gampang move on, mana coba sini keluar? Ini Rasi nggak kelar-kelar elah. Eh nggak deh, gue nggak tahu dia beneran belum kelar atau nggak. Gue sih lebih curiga ada banyak pertanyaan di kepalanya.
 
Rasi mengantar gue sampai ke depan pintu, jemarinya memegang pergelangan gue saat gue sudah ingin membuka kenop pintu. "Dit, maaf."
 
Gue tertawa kecil, lalu mengambil alih jemarinya untuk kemudian gue genggam dengan dua tangan. "Kamu ngapain minta maaf, Ras?"
 
Tatapannya beralih ke mata gue, sambil mengigit bibir bawahnya. Damn! Ini Rasi bener-bener nggak tahu pesonanya sendiri atau gimana sih? Gimana kalau gue nggak sanggup kontrol diri? Gimana kalau gue nyium dia gitu aja?
 
Nggak, nggak, nggak. Gue harus kontrol diri, karena Rasi berhak dijaga, bukan diperlakukan nggak tahu diri. Apalagi gue bukan siapa-siapanya. Halah, Utara sok banget dah otak lo, padahal megang tangan Rasi aja gue udah mau langsung narik dia sambil peluk.
 
Rasi masih lekat memandangi gue dengan dua bola mata indahnya. Gue membalas semua khawatirnya dengan senyuman, dan juga belaian di surai hitam legamnya. "Aku harap kamu ngerti kalau aku punya intensi yang jelas ke kamu ya, Ras. Nggak cuma sebagai sahabat atau kakak dari sahabat kamu. Aku harap kamu tahu kalau aku punya niat yang baik."
 
Genggamannya di jemari gue menguat, dan gue anggap itu sebagai jawaban darinya yang tahu bahwa gue tidak sedang bermain-main, apalagi berniat untuk memainkan kedekatan dan perasaannya. Gue harap dia tahu bahwa ketulusan gue nggak berubah, dari hari pertama kami kenal di masa OSPEK dulu.
 
"Aku balik dulu, Ras. Good night."

***

Rasi's POV
 
Punggung Utara menjauh dan menghilang dari pandangan saya. Satu persatu ingatan yang saya punya tentangnya kembali hadir. Tidak mengganggu, tapi cukup mengusik semua pertanyaan dan ragu yang juga menyeruak di kepala dan hati.
 
Utara yang saya kenal tidak pernah berubah. Meski ditutupi banyak tawa dan juga tingkah lakunya, Utara tak pernah main-main dengan pilihan hidup bahkan kata-kata yang ia punya. Janjinya tak pernah ia abaikan. Buktinya saja, hingga saat ini semua adik tingkat di kampus tetap mengenal ia sebagai alumnus terbaik, juga mantan ketua BEM terbaik yang mereka punya.
 
Saya hirup semua oksigen yang gratis Tuhan berikan, lalu terduduk lemas di depan pintu membayangkan betapa jahatnya diri yang enggan jawab pertanyaan Utara dengan lantang.
 
Xaviero Bintang Pratama.
 
Lelaki itu hadir lagi dan ucapkan kata rindu meski hanya lewat unggahan di dunia maya. Buat saya yang memang masih pertanyakan banyak hal, kembali gelisah dengan ia yang begitu saja menghilang setelah pisah capai sepakat oleh kami. Ia menghilang tanpa pernah jelaskan apa-apa, bahkan tanpa usahakan apa yang semestinya bisa untuk rengkuhkan bahagia. Dia biarkan saya menggantungkan banyak tanya, hingga enggan untuk beranjak.
 
Dan jahatnya lagi, saya berikan itu pada Utara. Saya biarkan ia bertanya, dan gantungkan semua pertanyaan tentang dekat kami yang memang tak selaiknya sekadar sahabat. Aditya Wira Utara, bisakah saya berikan jawaban agar tak lukai kamu?

***
 
Utara's POV


 
 
Utara's POV
 
"Ngerokok lo?" Athaya Sebastian menyapa gue dengan satu pertanyaannya yang tidak pernah bertabur basa-basi.
 
"Sebat doang," jawab gue singkat.
 
Lelaki yang mengenakan baju lengan panjang berbahan rajut berwarna hitam itu pun tertawa menghina. "Bohong abis. Ini mobil lo bau begini ya, Nyet."
 
"Hehehe," hanya itu yang sanggup gue berikan sebagai jawaban karena memang benar gue sempat menghabiskan beberapa batang rokok sepanjang perjalanan mengemudi ke rumah Athaya.
 
"Abis dari mana lo?"
 
"Rasi."
 
Dari sudut mata, gue bisa melihat Athaya tertawa sembari menepuk pelan pahanya. "Bener-bener rajin ya lo anter jemput Rasi."
 
Gue hanya mengedikkan bahu, sambil tetap menatap jalan malam yang tak pernah sepi, meski jam tangan gue saat ini menunjukkan pukul setengah dua belas. "Jadi, gimana?"
 
"Apaan gimana?"
 
Decakan gue hadir bersamaan dengan gue yang mengistirahatkan punggung, ketika lampu merah bersinar terang di hadapan. "Sepupu lo elah, Tha."
 
"Oh hahahaha." Athaya masih tertawa, seolah menganggap kelakuan gue saat ini terlalu lucu untuknya. "Lo mau tahu apaan, Ut?"
 
Gue menghela, "Kata lo mereka putus bukan karena kemauan mereka."
 
Athaya mengangguk, kali ini tawanya dihilangkan. Athaya mengganti lagu yang berputar di mobil dengan siaran radio, sebelum menjawab tanya gue. "Ya emang bukan. Bukan kemauan internal, tapi faktor eksternal yang bikin mereka kayak gitu."
 
"Gimana maksudnya?"
 
"Gue nggak tahu jelasnya, tapi yang gue tahu tuh, Bintang disuruh nikahin Rasi, tapi..."
 
"Anjing!" refleks gue mengeluarkan kalimat yang tak pernah disukai Athaya untuk dilontarkan di antara kami. Tapi peduli setan deh, karena gue sudah terlalu kaget dengan apa yang belum selesai dari ucapan Athaya. "Jangan bilang sepupu lo nolak?"
 
"Emang."
 
Pandangan gue beralih melihat Athaya yang kali ini sedang mengeluarkan smirk andalannya. "Hell no! Kok bisa? Maksud gue kenapa?"
 
Athaya menyuruh gue kembali menatap ke depan, lalu berdeham dan mengecilkan volume suara radio. "Nah itu yang gue nggak terlalu tahu. Rasi cuma cerita kalau Bintang milih mundur, karena sering banget ditanyain nyokap bokapnya Rasi."
 
"Rasi cerita ke elo?" tanya gue, bolak-balik membagi fokus melihatnya dan juga jalanan.
 
Sahabat gue yang sering kelewatan dinginnya ini hanya mengernyitkan keningnya, menatap gue dengan sedikit raut kesal. "Ya menurut lo aja, Ut? Gue bisa tahu dari siapa lagi emang?"
 
"Bintang nggak cerita?"
 
Athaya kini memecahkan tawanya. "Lo lagi berharap sapi bertelur sampai dia bisa cerita?"
 
Gue diam. Bukan karena kehabisan topik untuk berbicara, tapi memang karena isi kepala yang terlalu penuh dengan semua kemungkinan yang ada di antara hubungan Rasi dan Bintang. Yang katanya sih udah selesai, tapi gue gatau selesainya seperti apa.
 
"Bintang sayang banget sama Rasi. Rasi juga sayang banget sama Bintang."
 
Ucapan Athaya membuat gue mengepalkan tangan kanan, sambil menoleh ke arahnya sekilas. "Gausah lo perjelas, gue juga tahu, Tha."
 
"Yaaaa siapa tahu lo mau coba denial, Ut."
 
"Kocak tapi," gue setengah tertawa, "Sayang kok nggak berani nikahin Rasi."
 
Athaya mematikan pendingin mobil, lalu membuka jendela dan membiarkan angin malam menyapa kami. 
"Well, kita nggak pernah tahu alasan orang lain yang sebenernya apa, 'kan, Ut?"
 
"Ya iya sih. Tapi menurut lo, Tha, mereka bakal balikan nggak?"
 
Gue bersumpah tawa Athaya kali ini benar-benar membuat gue tersindir, karena terkesan meremehkan. Ia letakkan kacamatanya ke dalam kantong celana, lalu kembali menghela. "Jiper lo, Ut?"
 
"Enggak."
 
"Masa?"
 
Enggan gue jawab pertanyaannya. Sebab Athaya pun diri gue sendiri tahu, kalau ada sedikit keraguan di antara yakin yang gue punya untuk bersama dengan Rasi. Karena orang yang nggak kenal mereka pun tahu kalau mereka terlalu sempurna, untuk kemudian dipisahkan.
 
Gue nggak buta, untuk lihat Rasi yang selalu senang tiap kali bersama Bintang. Gue juga nggak buta, untuk lihat Bintang sebegitu cintanya beri semua yang dia bisa untuk senyum Rasi. Dan lucunya, hidup memberikan pilihan untuk membuat mereka selesai.
 
Athaya mengetukkan jemarinya. "Hmmm. Bisa aja sih mereka balikan, Ut. Tapi, kalau lo lihat sekarang, udah mau setahun, mereka nggak ada tanda apa-apa, 'kan?"
 
"Kemarin sepupu lo upload kangen-kangen cih, bikin Rasi gabisa move on-move on anjir," jawab gue kesal sambil memukul setir dan sedikit menaikkan kecepatan.
 
"Mau tukeran nyetir nggak?"
 
Gue lekas melihat Athaya, "Dih kenapa?"
 
"Tukeran deh yuk di depan. Gue nggak mau nyawa gue kenapa-kenapa."
 
Permintaan Athaya membuat gue menepikan kendaraan di bahu jalan, lalu bertukar posisi dengannya. Athaya benar, di saat seperti ini memang sudah seharusnya ia yang mengendarai mobil, daripada gue bablas memacu kendaraan dengan kecepatan yang di luar nalar, sebab kesal yang tak lagi tertahan.
 
Baru saja gue mengetukkan bungkus rokok di tangan, Athaya sudah lebih dulu menegur gue. "Gausah nyebat juga, Nyet. Gue gantian nyetir, bukan bikin lo makin tolol. Lo udah kebanyakan rokok, lagian besok pagi lo jemput Rasi. Ini mobil bakal bau rokok banget elah."
 
Gue berdecak sambil tetap mengambil satu batang rokok, dan meletakkannya di sela bibir. "Dia tahu kok gue ngerokok."
 
"Dia tahu lo ngerokok kalau lagi stres, 'kan? Emang mau lo ditanyain sama dia? Atau emang lo mau bikin dia overthinking?"
 
"Ck," gue berdecak, menutup kembali zippo yang tadi sudah sempat gue buka.
 
"Rasi bukan gabisa move on, Ut. Cuma emang Bintangnya aja sialan."
 
"Ya emang. Eh tapi kenapa lo bilang sepupu lo sialan?"
 
"Gue tanya sama lo, udahan pas semuanya baik-baik aja, terus bukan karena masalah internal, menurut lo bakal nyisain pertanyaan nggak?"
 
"Tapi mereka 'kan udah jelas kenapanya," elak gue menolak semua kemungkinan yang ada di kepala.
 
"Jelas sih jelas. Tapi Rasi juga pasti berharap nggak sih, kalau sedikit aja ada usaha atau perjuangannya Bintang?"
 
"Anjing ya! Sepupu lo tuh bego banget, Tha."
 
Athaya tertawa, lalu menambah kecepatan kendaraan karena saat ini kami sudah memasuki tol yang cukup lengang. "Emang. Tapi bego-bego gitu mantannya Rasi. Nggak kayak lo, Ut."
 
"Sialan!" gue menoyornya kesal. "Emang ya darah lebih kentel dari air."
 
"Hahahaha." Athaya hanya tertawa, gue rasa ini manusia beneran lagi bahagia deh, dari tadi sahabatnya bingung dia malah sibuk ketawa doang. "Lo udah bilang belum ke Rasi tujuan lo apa, Ut?"
 
"Barusan tadi."
"Oalah pantesan jadi begini banget lo. Emang lo bilang gimana sih?"
 
"Gue tanya dia anggep kita apa."
 
Athaya memelankan laju kendaraan dengan tiba-tiba lalu menatap gue dengan heran, dan juga tatapan penuh makian. "Si bego! Terus dia jawab sahabat pasti, 'kan?"
 
Kali ini justru gue yang terhenyak dengan jawabannya yang begitu akurat. "Kok tahu?"
 
"Ya menurut lo aja, Nyet?!"
 
"Tapi tadi gue tuh nanya, dia siap apa nggak buat pacaran lagi?"
 
"Dia nggak akan mau bahas."
 
Gue menepuk pundaknya dan duduk memandanginya, bukan lagi duduk menghadap ke depan. "Kok lo tahu?"
 
"Yah, Ut. Lo kayaknya sih lupa gue sedeket apa sama Rasi."
 
"Anjing iya juga. Gue mestinya takut sama lo deh daripada sama Bintang."
 
Satu hal yang kadang hampir gue lupakan. Meski tidak terlihat, Athaya selalu ada dan dekat dengan Rasi. Meski tidak begitu tampak, Athaya jauh lebih memahami dan mengerti Rasi hanya dari tatap dan bahasa tubuhnya.
 
Ini gue nggak lagi mau bandingin diri sama Athaya, apalagi jiper sama dia, cuma kalau dipikir-pikir lagi, Athaya tuh emang punya kesempatan lebih besar untuk mendapatkan Rasi. Tapi... kenapa Rasi kepincut sama Bintang?
 
Damn! Pasti ada sesuatu yang spesial dari Bintang nggak sih kalau gitu?
 
"Hahaha. Lo beneran serius tapi, 'kan?"
 
"Ya menurut lo aja deh, Tha."
 
Athaya kali ini menepikan kendaraan di bahu jalan, untuk membeli sebotol minum dari warung yang terlihat usai kami keluar dari tol. Gue mengambil sebotol air mineral yang dia berikan, sambil menatap pada jalanan yang mulai lengang, dan hanya diisi beberapa motor yang berlalu lalang.
 
"Kenapa Rasi sih? Kenapa ngebet banget, bahkan serius ke dia? Lo kenal dia, lo deket sama dia juga nggak lama-lama amat, 'kan? Kok bisa yakin banget?" Pertanyaan Athaya memecah keheningan yang ada, sebelum ia kembali melajukan kendaraan, dan mengarahkan perjalanan ini kembali ke rumahnya.  
 
"Ya karena dia Rasi," gue nggak ragu dan nggak perlu waktu lama untuk beri jawaban itu ke Athaya. Karena satu-satunya jawaban yang gue punya sejak dulu memang hanya, karena dia Rasi.
 
Karena dia Rasi, gue mau kasih apa pun yang terbaik buat dia. Gue mau bikin dia senang dan diri gue senang dengan lihat bahagianya. Gue mau jaga dia sampai akhir, gue mau terus sama dia, karena dia Rasi. Nggak perlu ada alasan lain, bahkan memang nggak akan ada alasannya.
 
"Punya apa lo sampe pede banget mau deketin Rasi, Ut?"
 
"Anjir, Athaya Sebastian, pertanyaan lo bikin malem-malem mikir ya, Nyet."
 
Athaya tertawa lepas, sambil menyigar rambutnya yang sudah mulai panjang. "Hahahaha, gausah dijawab, Ut. Buktiin aja kalau lo layak buat Rasi, pun Rasi layak buat lo." 
 
"Tapi Rasi mau nggak ya sama gue?"
 
Kali ini Athaya hanya mengedikkan bahunya. Tidak memberikan jawaban, apalagi tawa, ia dengan tenang membiarkan gue berpikir sendirian.
© Hujan Mimpi
NA