Al Fine. [ episode kesepuluh ]

 

track 9: lose
pertanyaan pertama

 

Utara's POV
 
Gue tuh gampang banget kesal kalau ada orang yang jatuh cinta, tapi pura-pura nggak jatuh cinta. Kayak, ya ngapain sih? Ngaku aja. Masalah ditolak tuh ya belakangan. Kalau emang takut nggak bisa temenan lagi, ya itu berarti emang udah waktunya nggak bareng. Entah biar lo nggak makin sakit hati, atau bisa jadi biar lo juga ya udah pindah ke lain hati.

Ya tapi, ini nggak berlaku buat Rasi. Karena gue juga nggak tahu dia udah beneran move on atau belum. Karena biarpun gue sekarang dekat banget sama Rasi, urusan hati siapa sih yang tahu? Apalagi kemarin mantannya dengan seenak jidat muncul lagi. Nggak yang beneran muncul di hidup dia, tapi sialan aja rasanya muncul di media sosial terus unggah foto mereka dan bilang kangen.
 
Like what the hell are you doing, man?!
 
Lo mau bikin Rasi makin berantakan? Lo mau ngajak Rasi balikan? Atau lo mau ngapain anjir? Karena kalau emang cuma sekadar kangen, ya nggak usah segala upload. Sapa aja anaknya di chat, atau temuin, atau apa gitu. Yang nggak mengharuskan Rasi jadi overthinking apalagi sampai jadi bertanya-tanya.
 
Sialan emang. Coba gue tuh Rasi, udah mencak-mencak kali gue ngatain dia. Tapi ya namanya juga Rasi, semuanya kelihatan baik-baik aja padahal halah, mana ada baik. Buktinya sekarang dia sibuk banget di dapur, padahal gue sama dia baru aja selesai makan, dan piring-piring kami juga udah selesai dicuci.
 
Rasi dan semua kebiasannya emang nggak akan pernah berubah. Selalu menyibukkan diri di dapur tiap kali kepalanya berisik. Sampai kadang lupa sama sekitar, bahkan kayaknya dia udah lupa nih gue nangkring di sofanya, nunggu dia kelar sama apa yang dia kerjain.
 
"Ras," kali ini gue setengah berteriak memanggil dia.
 
Rasi menolehkan kepalanya, "Iya?"
 
"Masih belum selesai emangnya?"
 
"Eh hahahaha," tawanya membuat gue tahu ada banyak hal yang coba dia singkirkan. "Iya udah, bentar ya."
 
Gue kembali menatap punggungnya yang hanya mengenakan kaos oversized berwarna abu. Rasi mengambil secangkir air mineral, sambil berjalan mendekat ke arah gue dengan senyum yang ia sunggingkan.
 
"Udah?"
 
Ia hanya mengangguk, lalu memilih salah satu judul drama dari ragam pilihan yang disediakan pada tayangan Netflix. Gue menghela napas, menimbang banyak hal yang ingin dipertanyakan, namun juga ragu bila Rasi akan menolak.
 
Tapi ya udahlah, daripada gue simpan terus, mending langsung ditanyain aja. Daripada gue bisulan kebanyakan mendem, ya nggak?
 
"Ras."
 
Lagi, Rasi menolehkan kepalanya, lalu memandangi gue lekat. "Hm?"
 
"Kita sekarang tuh gimana, ya?"
 
Lama ia tak menjawab, lalu torehkan senyum, dan kembali membawa tanyanya. "Sahabat?"
 
"Sahabat nih, ya?" sekali lagi gue bertanya, mencari celah keraguan yang mungkin dia miliki.
 
"Hmmm. Kamu...kakaknya sahabat aku?"
 
"Udah itu aja?"
 
"Maksud kamu apa sih, Aditya?"
 
Gue meletakkan gelas berisi jus buatannya yang sejak tadi masih ada di tangan, lalu menatapnya tepat di manik mata. "Pernah nggak kamu mikir mau pacaran lagi, Ras?"
 
Rasi yang sedang meneguk minumannya kini tersedak, membuat gue lekas mendekat dan mengusap punggungnya. "Minum dulu minum, cantik."
 
Iya, gue paham betul pertanyaan gue akan mengusik rasa tenangnya. Bahkan gue juga bisa melihat ada ketegangan yang sekarang warnai paras cantiknya. Tapi bodo amat, nggak bisa juga gue sama dia diem-dieman kayak gini, seolah-olah gue nggak ada apa-apa ke dia. Yakali.
 
"Pernah nggak kepikiran?" kembali gue bertanya, sebab dari tadi dia enggan menjawab, bahkan memalingkan wajahnya dari gue.
 
"Kepikiran apa, Dit?"
 
"Ya pacaran lagi."
 
Rasi berdeham, kedua tangannya kini memilin ujung kaosnya. "Gatau."
 
"Gataunya kenapa?"
 
Perempuan cantik yang demi Tuhan buat gue emang cantik banget ini menatap gue, "Dit..."
 
Kali ini giliran gue yang menghela napas, tak kuasa melihat binar matanya yang berubah sendu. "Sekali-sekali boleh nggak aku ngomong serius, Ras?"
 
"Ya boleh, Dit."
 
"Ya udah dijawab atuh, cantik. Jadinya kamu pernah kepikiran, nggak?"
 
"Kalau aku bilang aku masih takut gimana?"
 
"Takutnya kenapa?"
 
Rasi membuang napasnya kasar dari mulut, lalu menaikkan kakinya di sofa, dan mendekapnya erat. "Dit, boleh nggak kalau nggak ngomongin ini?"
 
Ini kalau gue nggak tahan-tahanin, gue pasti udah luluh, dan menolak buat membahasnya. Tapi nggak, kali ini gue juga ingin obrolan kami nggak hanya sebatas hal-hal biasa. Sebab gue juga ingin memperjelas semuanya. Ya setidaknya, kalau memang dia belum benar selesai, gue tahu apa yang gue tunggu dan gue hadapi. Seenggaknya, gue tahu harus bersikap seperti apa.
 
"Alasannya kenapa kamu nggak mau ngomongin ini, Ras?"
 
"Aku. Aku belum bisa aja."
 
Jemari gue beralih mengitari pinggiran gelas yang ada di meja. Bohong kalau gue tidak ingin marah karena Rasi berulang kali menghindari hal ini. Bohong juga kalau gue tidak punya rasa penasaran atas apa yang saat ini ada di hati dan kepalanya.
 
"Mau sampai kapan, Ras?"
 
Rasi diam. Ia tundukkan kepalanya sembari pegangi jemari kakinya yang terbungkus kaos kaki. Kalau boleh jujur, gue enggan mengalah dan ingin terus mencecarnya dengan pertanyaan. Tapi, dasar bucin, rasa nggak tega gue jauh lebih besar dari pertanyaan yang membuat gue nggak pernah tenang ini.
 
"Ya udah, kalau gitu aku pulang, ya. Kamu istirahat aja."
 
Gue beranjak dari duduk, lalu berdiri lama di depannya untuk mengusap puncak kepalanya berkali-kali. Susah buat nggak memeluk Rasi di saat seperti ini. Tapi jauh lebih susah lagi buat gue mengendalikan perasaan yang ingin sekali gue tanyakan padanya, seberapa besar pengaruh Bintang bagi dirinya hingga sesulit ini ia usai dari kisahnya kemarin.
 
Itu yang pernah bilang perempuan lebih gampang move on, mana coba sini keluar? Ini Rasi nggak kelar-kelar elah. Eh nggak deh, gue nggak tahu dia beneran belum kelar atau nggak. Gue sih lebih curiga ada banyak pertanyaan di kepalanya.
 
Rasi mengantar gue sampai ke depan pintu, jemarinya memegang pergelangan gue saat gue sudah ingin membuka kenop pintu. "Dit, maaf."
 
Gue tertawa kecil, lalu mengambil alih jemarinya untuk kemudian gue genggam dengan dua tangan. "Kamu ngapain minta maaf, Ras?"
 
Tatapannya beralih ke mata gue, sambil mengigit bibir bawahnya. Damn! Ini Rasi bener-bener nggak tahu pesonanya sendiri atau gimana sih? Gimana kalau gue nggak sanggup kontrol diri? Gimana kalau gue nyium dia gitu aja?
 
Nggak, nggak, nggak. Gue harus kontrol diri, karena Rasi berhak dijaga, bukan diperlakukan nggak tahu diri. Apalagi gue bukan siapa-siapanya. Halah, Utara sok banget dah otak lo, padahal megang tangan Rasi aja gue udah mau langsung narik dia sambil peluk.
 
Rasi masih lekat memandangi gue dengan dua bola mata indahnya. Gue membalas semua khawatirnya dengan senyuman, dan juga belaian di surai hitam legamnya. "Aku harap kamu ngerti kalau aku punya intensi yang jelas ke kamu ya, Ras. Nggak cuma sebagai sahabat atau kakak dari sahabat kamu. Aku harap kamu tahu kalau aku punya niat yang baik."
 
Genggamannya di jemari gue menguat, dan gue anggap itu sebagai jawaban darinya yang tahu bahwa gue tidak sedang bermain-main, apalagi berniat untuk memainkan kedekatan dan perasaannya. Gue harap dia tahu bahwa ketulusan gue nggak berubah, dari hari pertama kami kenal di masa OSPEK dulu.
 
"Aku balik dulu, Ras. Good night."

***

Rasi's POV
 
Punggung Utara menjauh dan menghilang dari pandangan saya. Satu persatu ingatan yang saya punya tentangnya kembali hadir. Tidak mengganggu, tapi cukup mengusik semua pertanyaan dan ragu yang juga menyeruak di kepala dan hati.
 
Utara yang saya kenal tidak pernah berubah. Meski ditutupi banyak tawa dan juga tingkah lakunya, Utara tak pernah main-main dengan pilihan hidup bahkan kata-kata yang ia punya. Janjinya tak pernah ia abaikan. Buktinya saja, hingga saat ini semua adik tingkat di kampus tetap mengenal ia sebagai alumnus terbaik, juga mantan ketua BEM terbaik yang mereka punya.
 
Saya hirup semua oksigen yang gratis Tuhan berikan, lalu terduduk lemas di depan pintu membayangkan betapa jahatnya diri yang enggan jawab pertanyaan Utara dengan lantang.
 
Xaviero Bintang Pratama.
 
Lelaki itu hadir lagi dan ucapkan kata rindu meski hanya lewat unggahan di dunia maya. Buat saya yang memang masih pertanyakan banyak hal, kembali gelisah dengan ia yang begitu saja menghilang setelah pisah capai sepakat oleh kami. Ia menghilang tanpa pernah jelaskan apa-apa, bahkan tanpa usahakan apa yang semestinya bisa untuk rengkuhkan bahagia. Dia biarkan saya menggantungkan banyak tanya, hingga enggan untuk beranjak.
 
Dan jahatnya lagi, saya berikan itu pada Utara. Saya biarkan ia bertanya, dan gantungkan semua pertanyaan tentang dekat kami yang memang tak selaiknya sekadar sahabat. Aditya Wira Utara, bisakah saya berikan jawaban agar tak lukai kamu?

***
 
Utara's POV


 
 
Utara's POV
 
"Ngerokok lo?" Athaya Sebastian menyapa gue dengan satu pertanyaannya yang tidak pernah bertabur basa-basi.
 
"Sebat doang," jawab gue singkat.
 
Lelaki yang mengenakan baju lengan panjang berbahan rajut berwarna hitam itu pun tertawa menghina. "Bohong abis. Ini mobil lo bau begini ya, Nyet."
 
"Hehehe," hanya itu yang sanggup gue berikan sebagai jawaban karena memang benar gue sempat menghabiskan beberapa batang rokok sepanjang perjalanan mengemudi ke rumah Athaya.
 
"Abis dari mana lo?"
 
"Rasi."
 
Dari sudut mata, gue bisa melihat Athaya tertawa sembari menepuk pelan pahanya. "Bener-bener rajin ya lo anter jemput Rasi."
 
Gue hanya mengedikkan bahu, sambil tetap menatap jalan malam yang tak pernah sepi, meski jam tangan gue saat ini menunjukkan pukul setengah dua belas. "Jadi, gimana?"
 
"Apaan gimana?"
 
Decakan gue hadir bersamaan dengan gue yang mengistirahatkan punggung, ketika lampu merah bersinar terang di hadapan. "Sepupu lo elah, Tha."
 
"Oh hahahaha." Athaya masih tertawa, seolah menganggap kelakuan gue saat ini terlalu lucu untuknya. "Lo mau tahu apaan, Ut?"
 
Gue menghela, "Kata lo mereka putus bukan karena kemauan mereka."
 
Athaya mengangguk, kali ini tawanya dihilangkan. Athaya mengganti lagu yang berputar di mobil dengan siaran radio, sebelum menjawab tanya gue. "Ya emang bukan. Bukan kemauan internal, tapi faktor eksternal yang bikin mereka kayak gitu."
 
"Gimana maksudnya?"
 
"Gue nggak tahu jelasnya, tapi yang gue tahu tuh, Bintang disuruh nikahin Rasi, tapi..."
 
"Anjing!" refleks gue mengeluarkan kalimat yang tak pernah disukai Athaya untuk dilontarkan di antara kami. Tapi peduli setan deh, karena gue sudah terlalu kaget dengan apa yang belum selesai dari ucapan Athaya. "Jangan bilang sepupu lo nolak?"
 
"Emang."
 
Pandangan gue beralih melihat Athaya yang kali ini sedang mengeluarkan smirk andalannya. "Hell no! Kok bisa? Maksud gue kenapa?"
 
Athaya menyuruh gue kembali menatap ke depan, lalu berdeham dan mengecilkan volume suara radio. "Nah itu yang gue nggak terlalu tahu. Rasi cuma cerita kalau Bintang milih mundur, karena sering banget ditanyain nyokap bokapnya Rasi."
 
"Rasi cerita ke elo?" tanya gue, bolak-balik membagi fokus melihatnya dan juga jalanan.
 
Sahabat gue yang sering kelewatan dinginnya ini hanya mengernyitkan keningnya, menatap gue dengan sedikit raut kesal. "Ya menurut lo aja, Ut? Gue bisa tahu dari siapa lagi emang?"
 
"Bintang nggak cerita?"
 
Athaya kini memecahkan tawanya. "Lo lagi berharap sapi bertelur sampai dia bisa cerita?"
 
Gue diam. Bukan karena kehabisan topik untuk berbicara, tapi memang karena isi kepala yang terlalu penuh dengan semua kemungkinan yang ada di antara hubungan Rasi dan Bintang. Yang katanya sih udah selesai, tapi gue gatau selesainya seperti apa.
 
"Bintang sayang banget sama Rasi. Rasi juga sayang banget sama Bintang."
 
Ucapan Athaya membuat gue mengepalkan tangan kanan, sambil menoleh ke arahnya sekilas. "Gausah lo perjelas, gue juga tahu, Tha."
 
"Yaaaa siapa tahu lo mau coba denial, Ut."
 
"Kocak tapi," gue setengah tertawa, "Sayang kok nggak berani nikahin Rasi."
 
Athaya mematikan pendingin mobil, lalu membuka jendela dan membiarkan angin malam menyapa kami. 
"Well, kita nggak pernah tahu alasan orang lain yang sebenernya apa, 'kan, Ut?"
 
"Ya iya sih. Tapi menurut lo, Tha, mereka bakal balikan nggak?"
 
Gue bersumpah tawa Athaya kali ini benar-benar membuat gue tersindir, karena terkesan meremehkan. Ia letakkan kacamatanya ke dalam kantong celana, lalu kembali menghela. "Jiper lo, Ut?"
 
"Enggak."
 
"Masa?"
 
Enggan gue jawab pertanyaannya. Sebab Athaya pun diri gue sendiri tahu, kalau ada sedikit keraguan di antara yakin yang gue punya untuk bersama dengan Rasi. Karena orang yang nggak kenal mereka pun tahu kalau mereka terlalu sempurna, untuk kemudian dipisahkan.
 
Gue nggak buta, untuk lihat Rasi yang selalu senang tiap kali bersama Bintang. Gue juga nggak buta, untuk lihat Bintang sebegitu cintanya beri semua yang dia bisa untuk senyum Rasi. Dan lucunya, hidup memberikan pilihan untuk membuat mereka selesai.
 
Athaya mengetukkan jemarinya. "Hmmm. Bisa aja sih mereka balikan, Ut. Tapi, kalau lo lihat sekarang, udah mau setahun, mereka nggak ada tanda apa-apa, 'kan?"
 
"Kemarin sepupu lo upload kangen-kangen cih, bikin Rasi gabisa move on-move on anjir," jawab gue kesal sambil memukul setir dan sedikit menaikkan kecepatan.
 
"Mau tukeran nyetir nggak?"
 
Gue lekas melihat Athaya, "Dih kenapa?"
 
"Tukeran deh yuk di depan. Gue nggak mau nyawa gue kenapa-kenapa."
 
Permintaan Athaya membuat gue menepikan kendaraan di bahu jalan, lalu bertukar posisi dengannya. Athaya benar, di saat seperti ini memang sudah seharusnya ia yang mengendarai mobil, daripada gue bablas memacu kendaraan dengan kecepatan yang di luar nalar, sebab kesal yang tak lagi tertahan.
 
Baru saja gue mengetukkan bungkus rokok di tangan, Athaya sudah lebih dulu menegur gue. "Gausah nyebat juga, Nyet. Gue gantian nyetir, bukan bikin lo makin tolol. Lo udah kebanyakan rokok, lagian besok pagi lo jemput Rasi. Ini mobil bakal bau rokok banget elah."
 
Gue berdecak sambil tetap mengambil satu batang rokok, dan meletakkannya di sela bibir. "Dia tahu kok gue ngerokok."
 
"Dia tahu lo ngerokok kalau lagi stres, 'kan? Emang mau lo ditanyain sama dia? Atau emang lo mau bikin dia overthinking?"
 
"Ck," gue berdecak, menutup kembali zippo yang tadi sudah sempat gue buka.
 
"Rasi bukan gabisa move on, Ut. Cuma emang Bintangnya aja sialan."
 
"Ya emang. Eh tapi kenapa lo bilang sepupu lo sialan?"
 
"Gue tanya sama lo, udahan pas semuanya baik-baik aja, terus bukan karena masalah internal, menurut lo bakal nyisain pertanyaan nggak?"
 
"Tapi mereka 'kan udah jelas kenapanya," elak gue menolak semua kemungkinan yang ada di kepala.
 
"Jelas sih jelas. Tapi Rasi juga pasti berharap nggak sih, kalau sedikit aja ada usaha atau perjuangannya Bintang?"
 
"Anjing ya! Sepupu lo tuh bego banget, Tha."
 
Athaya tertawa, lalu menambah kecepatan kendaraan karena saat ini kami sudah memasuki tol yang cukup lengang. "Emang. Tapi bego-bego gitu mantannya Rasi. Nggak kayak lo, Ut."
 
"Sialan!" gue menoyornya kesal. "Emang ya darah lebih kentel dari air."
 
"Hahahaha." Athaya hanya tertawa, gue rasa ini manusia beneran lagi bahagia deh, dari tadi sahabatnya bingung dia malah sibuk ketawa doang. "Lo udah bilang belum ke Rasi tujuan lo apa, Ut?"
 
"Barusan tadi."
"Oalah pantesan jadi begini banget lo. Emang lo bilang gimana sih?"
 
"Gue tanya dia anggep kita apa."
 
Athaya memelankan laju kendaraan dengan tiba-tiba lalu menatap gue dengan heran, dan juga tatapan penuh makian. "Si bego! Terus dia jawab sahabat pasti, 'kan?"
 
Kali ini justru gue yang terhenyak dengan jawabannya yang begitu akurat. "Kok tahu?"
 
"Ya menurut lo aja, Nyet?!"
 
"Tapi tadi gue tuh nanya, dia siap apa nggak buat pacaran lagi?"
 
"Dia nggak akan mau bahas."
 
Gue menepuk pundaknya dan duduk memandanginya, bukan lagi duduk menghadap ke depan. "Kok lo tahu?"
 
"Yah, Ut. Lo kayaknya sih lupa gue sedeket apa sama Rasi."
 
"Anjing iya juga. Gue mestinya takut sama lo deh daripada sama Bintang."
 
Satu hal yang kadang hampir gue lupakan. Meski tidak terlihat, Athaya selalu ada dan dekat dengan Rasi. Meski tidak begitu tampak, Athaya jauh lebih memahami dan mengerti Rasi hanya dari tatap dan bahasa tubuhnya.
 
Ini gue nggak lagi mau bandingin diri sama Athaya, apalagi jiper sama dia, cuma kalau dipikir-pikir lagi, Athaya tuh emang punya kesempatan lebih besar untuk mendapatkan Rasi. Tapi... kenapa Rasi kepincut sama Bintang?
 
Damn! Pasti ada sesuatu yang spesial dari Bintang nggak sih kalau gitu?
 
"Hahaha. Lo beneran serius tapi, 'kan?"
 
"Ya menurut lo aja deh, Tha."
 
Athaya kali ini menepikan kendaraan di bahu jalan, untuk membeli sebotol minum dari warung yang terlihat usai kami keluar dari tol. Gue mengambil sebotol air mineral yang dia berikan, sambil menatap pada jalanan yang mulai lengang, dan hanya diisi beberapa motor yang berlalu lalang.
 
"Kenapa Rasi sih? Kenapa ngebet banget, bahkan serius ke dia? Lo kenal dia, lo deket sama dia juga nggak lama-lama amat, 'kan? Kok bisa yakin banget?" Pertanyaan Athaya memecah keheningan yang ada, sebelum ia kembali melajukan kendaraan, dan mengarahkan perjalanan ini kembali ke rumahnya.  
 
"Ya karena dia Rasi," gue nggak ragu dan nggak perlu waktu lama untuk beri jawaban itu ke Athaya. Karena satu-satunya jawaban yang gue punya sejak dulu memang hanya, karena dia Rasi.
 
Karena dia Rasi, gue mau kasih apa pun yang terbaik buat dia. Gue mau bikin dia senang dan diri gue senang dengan lihat bahagianya. Gue mau jaga dia sampai akhir, gue mau terus sama dia, karena dia Rasi. Nggak perlu ada alasan lain, bahkan memang nggak akan ada alasannya.
 
"Punya apa lo sampe pede banget mau deketin Rasi, Ut?"
 
"Anjir, Athaya Sebastian, pertanyaan lo bikin malem-malem mikir ya, Nyet."
 
Athaya tertawa lepas, sambil menyigar rambutnya yang sudah mulai panjang. "Hahahaha, gausah dijawab, Ut. Buktiin aja kalau lo layak buat Rasi, pun Rasi layak buat lo." 
 
"Tapi Rasi mau nggak ya sama gue?"
 
Kali ini Athaya hanya mengedikkan bahunya. Tidak memberikan jawaban, apalagi tawa, ia dengan tenang membiarkan gue berpikir sendirian.

No comments

Post a Comment

© Hujan Mimpi
NA