[Rewind] Roller Coaster di 2018


Libur telah tiba, libur telah tiba, libur telah tiba~ 

Ayey, kini sudah berada di penghujung tahun! Tapi rasanya masih ada yang kurang kalau belum mengulang beberapa ingatan sepanjang tahun 2018. Warning, postingan ini akan sangat amat panjang. Skip aja kalau nggak mau ya, Beb.

Hm mari diam sejenak... seingat saya 2017 hadir sebagai tahun dengan bentuk kurva yang menjulang di akhir. Meski ya di sepanjang tahunnya ada garis naik turun yang cukup drastis, tapi semuanya benar-benar berubah di akhir tahun. Dan itu juga yang menjadi pemicu 2018 saya rasanya seperti naik roller coaster. 

Tangis, tawa, kecewa, bahagia, semuanya berkumpul jadi satu di tahun ini. Semua perasaan itu ada yang terjadi dalam bulan yang berbeda, dan nggak jarang terjadi dalam satu bulan yang sama. Kejutan-kejutan manis datang sebagai harapan, tapi beberapa kejadian miris yang tak terduga sempat membuat saya berkali-kali tersandung bahkan terjatuh. Namun beruntungnya, saya masih punya mereka-mereka yang membantu bangkit dan kembali tegak. Meski memang kadang tertatih dan merasa lelah dengan terlalu.

Naik turun 2018 benar-benar membuat saya semakin banyak belajar, terutama tentang kepercayaan dan persahabatan. Dimulai dari Januari yang diisi dengan kedatangan Kak Indi ke Jakarta. Dan membuat saya diperkenankan jadi bocah beberapa hari karena berasa punya kakak perempuan sungguhan. Padahal mah mainnya nggak jauh, cuma ke Sea World. Yaelah standar nggak? Tapi tanpa sadar semuanya bermula dari sini.


Manusia satu ini yang akhirnya membuat saya lebih percaya bahwa didengar juga kita perlu. Januari selain diisi racun drama Korea dari Kak Indi, saya juga coba-coba jadi seseorang editor. Nggak jago, belum jago, belum ada apa-apanya, tapi dikasih kepercayaan sebesar itu membuat semangat saya untuk belajar terus bertumbuh. Sebuah kejutan manis pertama yang mengawali kejutan berikutnya di bulan Februari, salah satu bulan yang menjadi highlight saya tahun ini.

Lebih dari enam tahun lalu saya pernah bermimpi dan berdoa dalam hati untuk bisa duduk di Gramedia Matraman. Bukan sebagai pengunjung, tapi sebagai seseorang yang bercerita tentang buku yang ditulisnya. Dan Alhamdulillah-nya, di Februari 2018 hal itu terwujud. Ada rasa haru, terkejut, serta banyak bahagia yang memenuhi saya kala itu. Bahkan sampai detik ini, saya masih merinding kalau mengingat kisah sepanjang perjalanannya. Satu mimpi terwujud tanpa pernah disangka, membuat saya semakin percaya bahwa Tuhan akan selalu wujudkan doa umatNya meski waktunya tak bisa diprediksi.


Awal tahun 2018 memang penuh dengan kejutan-kejutan manis yang membuat saya terus-terusan mengucap syukur. Pun begitu halnya di bulan Maret. Untuk kali pertama di hidup saya, Makassar menjadi pulau di luar Jawa yang berhasil di kunjungi seorang diri. Literally sendirian, bukan karena study tour yang pernah saya lakukan zaman dulu sekolah haha. Mungkin buatmu biasa, tapi buat saya ini pencapaian yang luar biasa.

Karena ajaibnya, perjalanan saya waktu itu direstui oleh Ibu saya yang biasanya melarang saya pergi jauh sendirian. Padahal waktu itu saya hanya berbekal kenal dengan teman-teman Tumblr, meski memang punya saudara jauuuuuuh sekali di Makassar, tapi beberapa hari saya di Makassar hanya bertemankan mereka yang baru pertama ketemu. Kecuali Kak Indi tentu saja~~~


Kalau Januari sampai Maret jadi hadiah saya untuk membuat diri bahagia dengan mencoba hal dan pengalaman baru. Maka April kembali jadi hari-hari saya berkutat dengan kesibukan untuk melahirkan Elegi Renjana bagi teman-teman pembaca. Dan ya tentu saja, membuat saya kembali mengakrabkan diri dengan tidur pagi dan isi kepala yang tak bisa rehat barang sejenak.


Namun rasanya hal itu bukan kelelahan jika kemudian dibalas dengan Mei yang penuh dengan sukacita karena saya bisa terbang kembali ke Makassar untuk jadi salah satu orang yang akan bercerita di MIWF (Makassar International Writers Festival). Mau nangis lagi kalau ingat hari itu, mengingat 2 tahun sebelumnya saya selalu bercita-cita ingin ke sana. Nggak lain nggak bukan karena ingin merasakan ambience-nya festival literasi di negeri sendiri.

Bulan lahir saya memang jadi highlight termanis sepanjang 2018, karena di bulan Mei pula saya ditawarkan  untuk membuat story video clip lagu terbarunya Aldy Maldini "Kiamat Kecil Hatiku." Rasanya masih nggak nyangka bisa kerjasama dengan mereka yang notabene di luar ranah saya (re: penerbitan).


Hidup kalau isinya manis aja, memang harus sedikit dicemaskan untuk hari esok. Karena ya, setelah diberikan hal menyenangkan sejak awal hingga hampir pertengahan tahun, Juni berubah menjadi bulan paling ter-asdfghjkl. I became overwhelmed by the disappointment towards certain people. 

Waktu itu sensitif saya masih ada di kadar awal memang, namun sudah bisa bikin saya super cranky. Beberapa hari saya bisa jadi anti sosial sekali, malas untuk berkomunikasi dengan siapa pun bahkan terlalu khawatir untuk keluar kamar. Tapi ada juga satu dua hari bahkan seminggu penuh, di mana saya rela tidur hanya satu dua jam untuk menyelesaikan beberapa deadline yang rasanya begitu menyenangkan meski underpressure. Mood saya berubah-ubah di bulan Juni, meski ya tetap ada yang bisa disyukuri dari rezeki yang kemudian datang di bulan tersebut.

Hingga kemudian Juli membuat saya mau tidak mau harus menyudahi segala macam rasa nggak jelas yang ada, karena harus menyelesaikan beberapa urusan yang kalau boleh jujur rasanya malas dilanjutkan. Nggak lain dan nggak bukan, penyebabnya karena saya yang terlalu enggan untuk kembali menurunkan ego pada seseorang yang selalu saja mau menyingkirkan dengan semua kelicikannya. Playing victim adalah kemahirannya, dan saya malas harus melihat semua omong kosongnya waktu itu. 

Tapi ya, akhirnya saya mau nggak mau tetap mengalah. Dengan berbekal keyakinan bahwa Tuhan titipkan pelajaran di semua kejadian. Dan hal yang membuat mood setidaknya membaik adalah diberi kesempatan mengisi kelas menulis online MDK bersama dengan Uda Ivan Lanin. Ya subhanallah rasanya, setelah sebelumnya sudah sempat melihat beliau di MIWF. Jangan harap foto, karena Bella anaknya gitu, nggak pernah mau foto sama idola wkwk.

Agustus kembali hadir dengan senyumannya yang membuat saya deg-degan namun belajar bahwa ekspektasi harus diletakkan pada titik terbawah. Iya, nyaris, si novel biru akan divisualisasikan. Namun memang belum jalannya, sehingga atas beberapa alasan, hal tersebut ditunda. Hmmm, doa terbaik aja ya sayang-sayang ~

Mungkin Agustus mengajarkan saya banyak rasa ikhlas dan bersabar. Tapi ternyata itu belum seberapa, ketika sampai di akhir bulan dan beranjak ke September. Bulan sembilan adalah bulan di mana saya nggak mau untuk mengulangnya lagi. Cukup sekali aja seumur hidup, cukup untuk merasa kecewa yang sebegitunya pada orang terdekat. Yang dengan kerennya berhasil menghabisi semua kebaikan dan rasa percaya saya. Didorong, dikhianati, ditikam dari belakang sama teman sendiri yang jago playing victim tuh rasanya kayak ditampar. Lebay ya? Tapi sungguh, saya nggak nemu kata yang lebih pas untuk menggambarkan perasaan saya waktu itu.

Semua hal rasanya menguap, kenyataan demi kenyataan yang saya dapat membuat saya semakin jatuh terluka bahkan berujung dengan munculnya simtom-simptom depresi. Mulai dari tidur gelisah, khawatir yang berlebihan dan hal lainnya lagi yang sudah cukup saya simpan saja sendiri. Hal itu terus terjadi sepanjang September hingga kemudian saya lelah, sebegitu lelahnya menjadi manusia.
Hingga kemudian di bulan Oktober saya menemukan coping terbaik untuk mengatasi kejenuhan saya akan rasa capek itu. Dan tahu apa yang terjadi? Saya menemukan titik balik dan membawa saya ke rasa seperti habis patah hati dan kecewa berkali-kali sama orang yang sama. Terus dengan bodohnya selama ini saya nggak sadar bahwa manusia itu, nggak worth it buat ditangisin apalagi kehadirannya dianggap ada dan menganggu laju saya.

Berbenah dan perubahan besar-besaran terjadi pada diri saya di bulan Oktober. Mungkin ada banyak sisi diri saya yang retak bahkan hancur, tapi saya sadar jika masih bisa bernapas, berarti Tuhan masih sisakan saya sisi yang kokoh untuk menopang dan terus berjuang. Dan puncaknya adalah saya kembali melanjutkan passion saya dalam menulis. Meski harus berjuang dengan semua kehesemehan yang sudah terjadi, saya sadar bahwa saya tidak akan kalah hanya karena pernah membantu orang yang salah. Namanya juga hidup, yang baik bukan berarti berwujud teman, pun yang jahat bukan selalu musuh. Maka nikmati saja selagi bisa, dan tetap berjalan karena bumi masih berputar.

Setelah memulai Oktober dengan pergulatan batin pun serangkaian kejadian untuk melanjutkan Keping Ingatan, saya akhirnya berhasil rehat sejenak ke Jogja di bulan November. Liburan? Bukan kayaknya, tapi lebih cocok disebut pulang ke rumah kedua. Karena selama di sana, saya nggak datang ke tempat-tempat wisata selain Ratu Boko. Saya dan Kak Indi hanya menghabiskan waktu di kamar hotel, makan tteokbokki dan nonton bioskop di Amplaz, sepedaan di Malioboro, isi perut di Raminten, hening di Affandi, berisik di Trans Jogja, motoran di tengah padat Jogja dan sederet hal sehari-hari lainnya yang seolah hanya pindah tempat ke Jogja sejenak.

Meski ya, menjelang hari kepulangan drama kehidupan kembali berlanjut dan membuat saya hampir hilang kendali pada diri sendiri. Tapi lagi-lagi saya beruntung masih punya orang-orang yang memeluk. Dan karena itu pula, saya tetap berusaha keras untuk bisa melewati bulan sebelas dengan sisa tenaga dan rasa percaya yang ada.

Di setiap tahun, Desember adalah bulan yang selalu saya tunggu-tunggu. Ambience-nya sih yang sebenarnya saya nantikan. Selain karena ada banyak tayangan anak-anak di tv, juga karena adanya hawa liburan, serta wangi-wangi damai menjelang akhir tahun. Saya selalu merasa Desember jadi penanda bahwa perjuangan baru akan dimulai lagi, pun sudah waktunya untuk menyudahi apa-apa yang sudah seharusnya berakhir. 

Keping Ingatan berakhir di bulan ini, beberapa deadline juga berhasil dituntaskan, meski beberapa lainnya memang masih setengah jalan. Rumah baru untuk tulisan dalam jagat maya pun akhirnya berhasil berlayar. Tumblr kembali dibuka blokirnya, beberapa resolusi pun sudah sepenuhnya dibuat dengan senyum mengembang. Serta nggak lupa, di bulan Desember saya meluangkan waktu untuk bertemu dengan kawan-kawan lama.


Sebenarnya itu adalah momen penanda, bahwa saya siap untuk lebih terbuka dan menerima diri dengan sebegitu baiknya. Bahwa sudah waktunya saya kembali tersenyum, melihat semesta yang kadang suka melucu dengan semua kejadian yang menjengkelkan pun menyenangkannya. 

Saya nggak menyangka bahwa 2018 saya sebegitunya naik turun. Mood berubah-ubah, emosi kadang di luar ambang batas normal, peluh dan air mata bahkan seolah melekat, bahkan tawa kadang susah gambarkan bahagia. Begitu banyak pelajaran dan pengalaman di tahun ini, tapi semoga saya nggak kapok untuk terus berjalan.

Terima kasih 2018! Terima kasih untuk semua kejutan manis bahkan kejutan-kejutan lainnya yang tidak terduga. Semoga pelajaran di tahun ini, bisa mempermudah tahun 2019 untuk disikapi, dianalisa dan dimaknai. Terima kasih untuk diri sendiri yang bertahan sejauh ini. Love!


3 comments

© Hujan Mimpi
NA