track 7: loving you girl
kamu satu-satunya
Gue nggak akan pernah bilang bahwa, gue nggak bersyukur dengan kisah patah hati kemarin. Tapi bukan berarti dengan begitu juga gue mengamini bahwa, gue senang dengan perpisahan.
Shira jadi salah satu mantan terindah yang gue punya. Ini nggak bohong, apalagi sugar coating doang. Shira sekeren itu untuk kemudian sempat jadi seseorang di hidup gue. Dari Shira, gue belajar banyak hal, soal melepaskan, soal peduli, soal usaha yang nggak pernah putus, bahkan soal keberanian. Termasuk keberanian untuk merelakan seseorang yang rasanya ingin lo jadikan tujuan, tapi ternyata nggak pernah menganggap lo sebagai tujuannya.
Shira sebaik itu untuk kemudian membuat gue bertanya, apa mungkin maksud Rasi membiarkan gue bersama sahabatnya ini adalah kebaikan? Apa iya, Rasi bersedia melepas, karena tahu akhirnya gue tetap nggak akan bersama Shira?
"Ngelamun aja lo!"
Shira mendekat dan duduk persis di sebelah gue. Sedang yang lainnya masih sibuk melihat sepasang ikan yang baru saja dipelihara oleh Langit; namanya puppy dan kitten. Jangan tanya gue kenapa namanya seaneh itu, sebab Langit dan isi kepala ajaibnya memang hanya milik segelintir orang saja yang bisa paham.
"Rasi nggak sama lo, Shi?"
"Kenapa nggak sama lo aja?"
Gue mendengus mendengar ucapannya, "Kenapa kalau gue nanya dibales tanya juga sih? Emang nggak pernah cocok deh kita."
Shira tertawa, kali ini membuat gue menatapnya lekat. "Makanya nggak bertahan lama, coba cocok, nggak mungkin putus, nggak sih?"
"Elo tuh ya, mulutnya enteng banget deh bahas kayak gini," tangan kanan gue mengacak rambutnya yang baru dipotong pendek, sedang ia hanya memanyunkan bibirnya, kesal dengan ulah gue.
"Jadi udah sejauh apa sama Rasi?"
"Lo kepo apa beneran pengen tahu?"
"Gue mau gebuk lo sih kalau ternyata masih stuck di tempat," Shira menepuk pelan lengan kiri gue, "Serius, Utara, gimana lo sama Rasi?"
Andai gue bisa teriak tanpa membuat yang lainnya fokus pada kami, mungkin gue sudah berteriak sejak tadi. Tapi sayangnya, gue hanya bisa diam; diam merenungkan pertanyaan Shira, dan diam dengan semua perasaan serta pikiran gue sendiri.
"Utara, gue nanya dih," lutut kirinya ia gunakan untuk menghentikan lamunan gue.
"Nggak gimana-gimana, Shi."
Shira menghela napas, "Segitu susahnya deketin Rasi?"
"Lo tahu nggak alasan mereka putus?"
Shira terlihat berpikir sejenak, sebelum menggelengkan kepala. "Rasi nggak pernah cerita."
"Nah itu alasannya, Shi."
Kali ini perempuan yang mengenakan turtleneck berwarna putih tanpa lengan itu pun menolehkan kepalanya pada gue. Ia mengernyitkan kening dan menaikkan sebelah alisnya, "Lah gimana?"
"Bisa nggak lo deketin orang, kalau lo nggak tahu apa dia udah selesai atau belum sama masa lalunya?"
"Emang lo harus tahu masa lalunya Rasi?"
"Ini bukan soal gue harus tahu masa lalunya, Shi. Tapi ini tuh soal..." Gue menghela napas dan ikut menyandarkan punggung pada sofa yang jadi penyangga kami. "Gimana caranya supaya gue bisa bikin dia berhenti kepikiran sama masa lalunya. You know, Rasi dengan isi kepalanya tuh kadang nggak bisa bikin kita nggak heran."
"Hmmm..."
"Gue nggak tahu dia ambil kesimpulan apa setelah putusnya mereka. Gue nggak tahu gimana caranya dia mandang hubungan mereka kemarin. Dan gue, masih nggak tahu, gimana dia akan belajar nerima hubungan baru lagi, setelah putus dari pacarnya yang sempurna dan hubungan bertahun-tahun itu."
Ada jeda cukup lama yang membuat gue sejenak melamun memandang miniatur air terjun kecil yang mengalir di halaman belakang rumah Langit, di dekat pot tanamannya yang beraneka ragam.
Shira berdeham, "Well, we dont know Bintang bener sempurna atau nggak, Ut. Bisa aja ada kurangnya, siapa tahu kurang oke."
"Hahaha, gue tahu ya arah omongan lo ke mana, Shi." Gue menggelengkan kepala, lalu kini memejamkan mata setelah sebelumnya sempat menatap Shira yang juga memandangi halaman. "Gini, Shi. Lo tahu sendiri, nggak sesederhana itu caranya Rasi mikir. Satu, dia orangnya nggak enakan. Dua, dan yang sejujurnya paling nggak gue suka, dia kadang over planning, menurut gue. Dia selalu mikirin yang terbaik buat orang lain, tanpa mikirin dirinya, bahkan tanpa mikir apa orang lain tuh akan nerima dan ngerasa itu baik atau justru sebaliknya."
"Like us?"
Pertanyaan Shira membuat gue meliriknya. Telunjuk Shira bolak-balik menunjuk gue dengan dirinya, membuat gue menyunggingkan senyum, lalu kembali memejamkan mata. "Kalau lo mau anggep kayak kita, atau kayak gue, ya silakan."
"Rasi terbiasa hidup untuk mikirin semuanya sendirian, Ut. Lo tahu orangtuanya dari dulu nggak tinggal bareng dia."
Gue kembali menegakkan tubuh, usai mendengar ucapan Shira, "Got the point, Shi?"
Shira menautkan kedua alisnya yang tebal. Gue tersenyum maklum, lalu menghela napas sebelum kembali bersuara. Gue tahu, obrolan ini akan jadi lebih serius. "Itu yang gue mau bangun sama dia."
Shira masih terdiam, seolah memberi gue kesempatan untuk memberinya penjelasan.
"Gue mau Rasi lihat gue sebagai seseorang yang nggak hanya harus dikasih afeksi, layaknya orang pacaran. Gue mau jadi tempat dia ceritain semua isi kepalanya, tempat dia berbagi pandangan, meski semuanya tetep akan gue kembaliin ke dia. But at least, dia punya pendapat dari orang lain. Dia terbuka dan belajar buat ngasih tahu perasaannya dan pikirannya. Seenggaknya, put herself first. Jangan selalu orang lain, dan nggak harus selalu baik buat orang lain."
"Berat, ya."
"Putus sama lo juga berat, Shi."
Satu cubitan mampir di lengan kiri gue, diiringi dengan gelak tawa merdu Shira yang dulu sempat jarang terdengar. "Masa? Hahaha."
"Lo nggak tahu aja gue juga sempet galau."
Shira mengibaskan tangan. Kebiasaannya untuk membuat gue berhenti bercanda, agar bisa kembali fokus pada obrolan kami sebelumnya. "Tapi serius, Utara, kenapa lo harus jadi seseorang itu? Kenapa lo harus gitu dulu? Maksud gue, kenapa nggak langsung aja deketin Rasi dulu, baru nanti setelah itu ya pasti akan terbuka nggak sih kalau udah pacaran?"
"Kalau Rasi itu elo, mungkin iya. Tapi Rasi Karina yang kita kenal, nggak kayak gitu, Shi. Kalau gue paksa jadian sama dia, okelah bisa aja."
"Sombong!"
"Yee serius," balas gue meyakinkannya.
"Oke lanjut."
"Iya gue bisa aja dan mungkin aja jadian sama Rasi sekarang, tapi gue nggak yakin dia lihat gue sebagai Utara yang emang pantes buat dia, atau dia pantes buat gue. Dia bisa aja cuma ngerasa nggak enak sama gue, dia bisa aja mikir dan khawatirin hal lain, yang next-nya justru nggak bagus buat hubungan gue sama dia."
Dua kaleng minuman dengan gambar bunga crysantheum diambil Shira untuk dirinya dan juga gue. "Lo mau serius sama Rasi ya, Ut?"
Kaleng berwarna kuning itu kini gue tuangkan isinya ke dalam kerongkongan hingga habis seperempat. "Kalau Tuhan izinin, gue mau dia jadi yang terakhir, Shi. Gue udah nggak muda, gue nggak akan mikir dua kali buat bawa hubungan gue sama dia jadi serius. Tapi, sebelum itu gue mau dia sayang dan peduli sama dirinya dulu. Dia harus maafin dirinya sendiri dulu, untuk semua hal di hidupnya. Yang udah terjadi, yang akan terjadi, yang ngelibatin dia, bahkan nggak ngelibatin dia."
Shira masih diam memandang gue, dengan tangan kanannya yang kini sibuk mengetukkan jemari di kaleng minuman tadi.
"Buat nerima orang lain di kehidupan kita tuh gampang, Shi. Nyocokin selera juga gampang. Tapiii buat nerima diri lo sendiri, dan ngerasa diri lo berhak bersama dengan seseorang itu nggak gampang. And i guess, Rasi dengan semua isi kepalanya belum ada di titik itu. Dia belum kasih kesempatan itu buat dirinya, dia masih fokus buat bikin semua orang bahagia."
"Terus mau sampai kapan Utara lo gini terus?"
Kali ini gue yang dipaksa diam, kembali meneguk minuman, lalu melempar pandangan kosong ke depan. "Sampai dia siap, mungkin," jawab gue ragu.
"Yee nggak bisa gitu dong, seenggaknya lo bikin pergerakan."
Bibir gue menyunggingkan senyum, "Pergerakan apa? Pergerakan bawah tanah? Atau pergerakan 30 September?"
"Buat Rasi paham," jawab Shira mengabaikan bercandaan gue. "Buat dia ngerti kalau lo ada dan mau jadi kayak gitu buat dia, Ut."
"Lagi gue usahain kok, cuma emang nggak bisa sat set sat set. Ini gue ngadepinnya Rasi soalnya, bukan perempuan lain. I need to kiss her mind, her heart, not only her lips." Lekas gue melanjutkan kalimat, setelah sadar Shira mendelik pada ucapan gue. "Kiasan Shira kiasan, lo jangan marah dulu."
"Gue nggak marah dih! Gue tuh penasaran aja, kenapa ya mereka putus? Siapa yang mutusin? Rasi atau Bintang? Anjir, tapi kalau Rasi nggak mungkin nggak sih, Ut?"
"Putusnya bukan pure kemauan mereka. Bukan kemauan dua-duanya." Gue dan Shira lantas menoleh mendengar jawaban dari seseorang. Seseorang yang kini berdiri di belakang kami, sambil membawa tiga kotak pizza. "Nanti gue jelasin, tapi bukan sekarang, dia bentar lagi masuk."
i feel that " keberanian untuk merelakan seseorang yang rasanya ingin lo jadikan tujuan, tapi ternyata nggak pernah menganggap lo sebagai tujuannya" cuman ya gitu malah jadi pengalaman yang berharga karena di titik ini kita bisa belajar banyak hal
ReplyDeletetrue! kita belajar dari semua hal yang seperti itu. meski butuh proses untuk menerimanya.
Delete