track 5: if u could see me cryin' in my room
untuk berakhir
Canberra, tiga hari menuju kepulangan.
Pernah tidak punya perasaan jengah untuk berada di satu kota? Pernah tidak punya rasa ingin pergi, tapi kembali pada tempat lain yang sebetulnya juga menyakitkan? Pernah tidak? Saya pernah, dan sedang merasakannya. Dari kemarin hingga hari ini, dan mungkin hingga nanti akan berulang lagi perasaannya.
"Rasi, kamu beneran mau tahun baru di Jakarta?"
Ibu berada di ambang pintu kamar, menatap saya yang kini sembunyikan helaan napas, dari panca inderanya. "Iya, Ma," lirih saya menjawab tanyanya.
"Bareng temen-temenmu? Atau ba—"
"Sendirian, Ma," potong saya dengan cepat, sebab tahu pernyataannya hanya akan mengarah pada satu nama. "Lagian aku 'kan harus karantina dulu."
Sudut mata saya menangkap Ibu tengah menggeleng dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Mungkin saya yang terlalu pintar menangkap gelagatnya, tapi firasat saya sudah tentu benar, Ibu akan lakukan banyak cara untuk tunda saya berangkat.
Kalau saja Ibu tahu, saya ini mati-matian ingin pulang atas alasan apa, mungkin tidak ya ia masih akan tetap berbicara tenang seperti ini?
"Tuh 'kan, kalau gitu mending di sini dulu aja, berangkatnya setelah tahun baru."
Satu kalimat ucapannya membuat gemuruh di dada saya bergejolak. Tapi kepalang tanggung bila saya harus luapkan perasaan itu. Sebab sejak dahulu Ibu tahu, saya tak pernah tentang inginnya akan sesuatu.
Hanya satu gurat senyum yang otomatis tergambar di wajah saya, diikuti dengan omong kosong yang saya jamin akan ditertawakan oleh dunia. "Kangen Jakarta, Ma. Kangen tahun baru di sana."
Balas saya berusaha sesingkat mungkin, namun tetap padat dan jelas, berharap bisa diterima oleh Ibu sebagai alasan yang kuat.
Jemari saya bergerak memegang gelas kosong di sudut meja belajar. Sama kosongnya dengan tawa yang tersungging di bibir saya, usai ucapkan alasan paling tak masuk akal untuk diri sendiri. Kangen katanya. Ya, memang itu tadi yang saya lantunkan. Tapi kalau harus akui kenyataan, sudah pasti kalimat itu jadi kebohongan terbesar yang saat ini sedang saya yakini.
Lancang rasanya bila saya agungkan rindu, tapi saya tak benar-benar tahu apa itu rindu dengan kota yang penuh kenang dan juga genang airmata. Saya sesungguhnya masih tak bisa paham, kenapa harus saya sebut rindu padahal saya tahu itu omong kosong yang seharusnya Ibu pun mengerti saya tengah mengada-adakan alasan. Saya berbalik, memutar gelas yang saat ini tengah saya genggam beberapa kali, lalu alihkan pandangan padanya, sebelum memutuskan melewatinya untuk keluar dari kamar.
"Ras, Mama lagi mau ajak kamu ngobrol lho!"
Saya tahu ada sedikit emosi di antara ucapannya. Tapi saya juga malas untuk mengobrol, bila ujungnya akan dibasuhkannya satu kalimat tanya yang sudah muak saya dengarkan. "Be right back, Ma. Rasi haus, mau ambil minum dulu."
Hanya itu yang saya utarakan. Dengusan kesal terdengar di antara napas dan juga decakan bibirnya.
Ironis, ya?
Dulu saya selalu berharap bisa berkumpul bersama kedua orangtua. Untuk habiskan kebersamaan di meja makan, yang sering tak saya miliki sejak usia tumbuh kembang. Untuk lewati waktu dengar cerita mereka diiringi tawa yang penuhi ruang keluarga. Untuk menikmati rasa penuh, sebab bertahun saya temui kosong di rumah yang temani sepi masa remaja saya.
Dulu, itu dulu. Sebelum saya mengenyam kuliah lanjutan yang saya putuskan di negeri ini. Sebelum saya menyadari bahwa hidup sendiri dan mandiri di Jakarta, terasa jauh lebih menenangkan dibandingkan harus berdekatan dengan mereka di sini. Sebelum saya menyadari, bahwa pertanyaan-pertanyaan kedua orangtua saya justru mencekik napas kebebasan saya.
"Nanti di sana dijemput siapa?"
Lamunan saya buyar, ketika Ibu sudah berdiri di samping saya, dan kembali hadiahkan pertanyaan. Saya tersenyum, berusaha maklum, dan kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang masih akan berlanjut.
"Ma, taksi banyak. Apa pun tuh ada di Jakarta. Lagian, Rasi udah lama tinggal di sana, it's not my first time, Ma."
"Ya siapa tahu nanti kamu dijem—"
"Aku bisa jaga diri aku sendiri, Ma. Dulu 'kan Rasi juga semuanya serba sendiri, Ma."
Saya tahu ucapan saya tadi itu berisikan sindiran, tapi saya juga lebih tahu Ibu semestinya paham jika saya tak suka gantungkan sesuatu pada orang lain. Tidak dulu ketika saya sendiri, atau kini saat saya sudah memiliki seseorang yang berada di samping.
Ibu masih menatap saya. Tegas seperti biasanya, namun ada sedikit keluh yang juga ingin disampaikan. Saya diam, meliriknya beberapa kali lalu memutuskan untuk beranjak kembali ke kamar. Mungkin bagi Ibu saat ini, saya bukanlah Rasi yang dahulu. Yang tetap bersedia menanti Ibu berkata, sudah sana ke kamarmu, baru kemudian beranjak menyudahi obrolan.
Tapi sungguh, anak berbakti pun pasti punya rasa lelahnya. Ada banyak resah dan hilir mudik kekesalan yang juga saya genggam di kepala. Yang mungkin akan meledak sewaktu-waktu, bila sederet pertanyaan selalu jadi jamuan di antara obrolan yang semestinya menghangatkan.
"Rasi, kalau nanti Bintang telepon kamu, bilang Mama mau bicara."
Kalimat itu lolos menemani perjalanan saya menuju kamar. Lepas kendali sudah rasanya emosi saya untuk sekadar jawab iya bagi retorika itu. Saya tutup pintu kamar dengan sedikit suara yang mengagetkan, lalu rebah jadi pilihan utama untuk saya berkutat dengan isi kepala yang itu-itu saja.
Bicara soal isi kepala, saya jadi teringat di tahun-tahun awal saya tinggal dengan kedua orangtua, usah ditanya bagaimana bahagianya saya selalu tatap manik mata mereka. Tapi kini, setiap kali saya terbangun dari lelap, satu-satunya hal yang terlintas di benak saya hanya, bagaimana lagi cara saya melewati deret pertanyaan mereka yang tiada berujung.
Sejujurnya, saya takkan peduli bila pertanyaan itu hanya pertanyaan biasa yang tak sentuh hubungan saya. Tapi ini berbeda, orangtua saya lewati garis batas itu, hingga berkali-kali ciptakan renggang di antara hubungan saya dengan dia.
Sudah sejak awal saya bilang, prinsip saya itu enggan untuk gantungkan hidup pada siapa pun. Tidak soal rasa, juga tidak soal bahagia. Tapi bagi orangtua saya, mereka perlu itu untuk wujudkan impian mereka pada putri semata wayangnya.
Xaviero Bintang Pradana.
Satu nama yang sering saya sebut dalam doa itu, jelas-jelas selalu jadi bulan-bulanan pertanyaan 'kapan' dari Ibu dan Ayah. Pertanyaan yang saya, atau lebih tepatnya kami pun belum bisa tentukan jawabannya. Karena untuk menjadi yakin, bukan hanya sekadar jumlah uang di rekening, kestabilan hidup yang tampak, dan juga latar belakangnya yang dirasa baik juga sempurna. Sebab untuk urusan serius, ada luka yang harus sembuh dan juga berani untuk dihadapi.
Sedang baginya, kesiapan itu belum ada, dan ketakutan itu memenjarakan. Lantas saya harus berbuat apa bila demikian adanya? Saya lelah berkonfrontasi dengan kedua orangtua, untuk bela ia tanpa perlu jelaskan duduk masalah. Saya juga lelah berdebat dengannya, untuk beri paham bahwa orangtua saya hanya inginkan abu-abu berubah jadi hitam atau putih. Saya bosan berada di tengah, saya bosan untuk memahami, bahkan saya kelelahan untuk sekadar duduk dan pahami maunya diri.
Tanya saja pada muda-mudi di luar sana. Siapa yang tak ingin bina hari tua dengan seseorang yang dirasa yakin dan benar, untuk berikan semua sisa usia? Siapa yang tak bersedia untuk jalin bahagia, tanpa dosa yang sering warnai nafsu di tengah banyaknya temu?
Saya tak ingin kedua orangtua saya sesali pilihannya, untuk lahir dan besarkan saya di dunia ini. Saya juga tak ingin bila harus sesali pilihan, sebab yakin bahwa ia yang akan jadi satu-satunya, tanpa harus memilih serta dijadikan deret pilihan di antara banyak pilihan. Tapi lagi-lagi saya juga harus berani tatap fakta yang ada. Saya tak bisa paksakan kehendak, sebab abu-abu juga penuhi ruang-ruang penantian.
Oleh karenanya saya putuskan sudah. Sudah untuk terus hidup di sini, di dekat kedua orangtua saya. Sudah untuk dengar semua pertanyaan itu, dengan melarikan diri ke kota yang pernah jadi juara untuk semua dilema saya di masa muda.
Ini pelarian. Jelas saya tahu.
Ini hanya menghindari dan bukan menyelesaikan. Jelas betul saya pahami itu.
Tapi apalagi pilihan saya untuk bawa damai bagi diri? Di saat tuan yang saya kagumi hingga lelah penuhi penantian serta doa, belum juga bisa beri jawaban. Di saat kedua malaikat di hidup saya, terus-menerus beri tuntutan yang sebetulnya juga jadi pertanyaan untuk saya. Apalagi yang bisa saya lakukan selain berlari dan juga menghindar? Apalagi?
***
Kepada jengah di puncak lelah,
bisakah lepas jadi bebas yang diimpikan?
Kepada tanya di perantara sapa,
bisakah jawaban berikan kepuasan?
Kepada salam di sudut hari,
bisakah jarak redakan segala pertentangan?
Kepada kamu di semua rasa percaya,
bisakah kita lalui segalanya bersama?
No comments
Post a Comment