Last But Not Least



Probolinggo, 22 Januari 2017

Bangun udah, nyiapin baju udah, tapi males untuk mandi sampai harus suit dulu. Andai bisa nggal mandi mah enak banget kali ya. Maka dengan sisa-sisa keikhlasan, akhirnya mandi juga. Setelahnya, mulailah bereksperimen untuk dandan. Kali kedua dandan sendiri setelah wisuda kemarin, jadi yaaa sebisa dan seadanya saja haha. Si mbak-mbak manten udah nitip pesen dari jauh-jauh hari supaya live tweets dan ngerekam semua kejadian tapi karena satu dan lain hal, akhirnya tidak terlaksana dengan sempurna permintaan tersebut. Yang penting sudah sah, intinya itu!

Sayang beribu sayang, udah mampir ke jatim tapi engga bisa ketemu pasukan kitajatim. Tapi masih Alhamdulillah bisa ketemu Julsss, ya setidaknya sudah nyetor muka, biar engga dikira fake si janpi ini, eh.

Sampailah pada saat-saat yang nggak pernah disuka; pamit pulang. Me, engga mungkin banget kalau nggak mellow apalagi nangis. Alhamdulillah banget bisa mengantarkan onty ke gerbang pernikahan, setelah tau sedikit galau-galaunya dulu, dan segala keribetan menjelang pernikahan. Katakanlah saya orang yang selalu mellow ketika berhubungan dengan perpisahan, sedihnya kadang bisa sampai berlarut-larut. Tapi kali ini nggak, justru saya bisa untuk terlihat sewajar dan sangat amat biasa, bahkan masih bisa ketawa lepas.

Sepanjang perjalanan pulang ke Surabaya, saat Kaklim dan Kak Naqib tidur, saya nggak bisa untuk nggak mikir apa yang sudah saya dapat selama perjalanan ini. Apa yang menyebabkan saya bisa untuk sebiasa ini menghadapi perpisahan.

Well, ketika seseorang menikah maka suka tidak suka akan selalu ada perubahan yang terjadi. Entah dari kebiasaan, pola komunikasi dan hal-hal lainnya. Itu adalah satu dari sekian hal yang akan terjadi apabila kita cukup dekat dengan seseorang. Tapi demikianlah hidup, akan selalu ada yang beranjak serta akan ada yang kemudian bertandang. 

Hingga saya sampai pada kesimpulan bahwa, ketika seseorang bergerak meninggalkan kita—dengan ataupun tanpa alasan—maka waktu mereka memang sudah habis untuk berbagi kisah dengan kita. Meski waktunya usai, bukan berarti segala ceritanya usai begitu saja, sebab mungkin di suatu waktu di masa depan kita akan kembali bertemu dan kembali membuat cerita.

Maka, kesedihan yang hadir saat perpisahan sudah seharusnya diubah menjadi sebuah ucapan selamat datang kepada hal baru yang menanti untuk dibukakan pintu.

Surabaya, 13.00 wib

Setelah mampir makan, akhirnya sampailah di kostannya Kak Naqib. Niat awalnya mau kulineran di Surabaya, tapiiiii setelah melihat kocek yang sudah sekarat—ya gimana nggak sekarat kalo cuma bawa uwang 250ribu dan belanja oleh-oleh segala, nggak ngerti kenapa pinter banget perencanaan keuangannya teh—dan kebetulan hujan, akhirnya diputuskanlah untuk berghibah saja di kostan. Liburan penuh dosa astagfirullah haha. Enggak hanya ghibah kok, tapi juga memikirkan mau ke mana dan gimana cara untuk bisa melakukan perjalanan berikutnya lagi.

Setelah makan tahu telur (elah makan lagi) akhirnya tiba saatnya untuk beneran pulang ke Jakarta. Mulai dari nggak ngerti jalan, driver ubernya ngajak ngomong tentang jalanan Surabaya dan tarif uber yang langsung berubah semua menambah kesyahduan perjalanan pulang.

Setelah selesai check-in, pas masuk ruang tunggu kaget dengan jumlah manusia yang banyak banget. Delayed, sampai Jakarta jam berapa coba. Cobaan mah emang selalu ada, tapi kayak bahagia yang selalu gandengan sama sedih, cobaan juga selalu berkaitan dengan berkah.

Berkahnya adalah bisa mendengar dan melihat lebih banyak—mulai dari cerita Kaklim, curi dengar serta liat perilaku orang-orang di bandara, sampai dengan ngobrol sama bapak-bapak asli Kupang yang udah nunggu dari jam setengah 7 sampai jam setengah 9 belum ada kabar apa-apa tentang penerbangannya.  

Untuk jam 9 malam, Juanda yang sudah mulai terbilang dingin mulai bikin cacing-cacing di perut bunyi, padahal semua kedai-kedai makanan dan minuman sudah tutup. Ruang tunggu juga udah mulai sepi, sebab penerbangan ke Kupang sudah mulai boarding, jadi tersisalah hanya manusia-manusia yang ingin ke Jakarta.

Dan yap, perhatian saya lagi-lagi tertumpu dengan koper-koper besar yang dibawa masuk ke kabin pesawat. Koper besar please, iya tahu mungkin aja nggak ada isinya, mungkin aja emang hanya untuk jaga-jaga. Tapi, suka nggak habis pikir aja, kenapa manusia bisa seegois itu untuk bawa barang banyak meski kadang berakhir dengan barang-barang itu nggak akan dipakai.

Padahal ketika kita bisa melonggarkan bawaan, pergerakan kita akan lebih nyaman. Padahal ketika kita bisa dan terbiasa untuk memilah mana yang perlu dibawa dan nggak, kita juga akan terbiasa untuk memilah mana yang baik dan perlu untuk kita melanjutkan kehidupan. Saya, sering kali juga suka bawa barang-barang yang nggak diperlukan, hanya karena mikir ah nanti bisa gini gini gini dan gitu. Tapi, saya belajar banyak sebelum berangkat, bahwa saya perlu untuk menyisihkan ruang kosong untuk nanti bisa membawa pulang sesuatu dari Surabaya—entah di tas, entah di kepala.

Singkat cerita sudah di pesawat dan sudah hampir setengah perjalanan, tiba-tiba tanda sabuk pengaman dinyalakan lagi. Akhirnya saya mengerti kenapa bisa terjadi delayed, sebab ternyata cuaca buruk. Guncangan di pesawat jangan ditanyakan lagi. Dan untuk kali ke-sekian saya kembali berpikir dan membandingkan pesawat dengan kereta.

Bagaimana kereta selalu bisa membuat saya terhubung dengan orang yang mengenal saya, sebab tidak perlu khawatir akan ada system navigasi yang terganggu. Bagaimana kereta bisa membuat saya memiliki kesempatan bertukar cerita dengan strangers lebih banyak, sebab waktunya yang tak dipangkas hingga tak mungkin waktu dihabiskan hanya dengan duduk diam membaca atau tidur terlelap. Bagaimana kereta bisa membuat orang-orang yang menanti kedatangan saya tidak perlu khawatir, sebab masih sanggup dikabari apa-apa saja yang mengganggu laju perjalanan.

Mungkin, itu sedikit dari banyak alasan kenapa jika masih ada banyak waktu yang saya miliki dan sebuah perjalanan masih bisa dicapai dengan kereta, saya akan memilih menggunakan kereta . Sebab lagi-lagi, ada banyak investasi untuk memahami beragam hal di sekitar ketika saya menggunakan kereta.

00.00 wib, Bandara Soetta

Masih nggak habis pikir udah di Jakarta lagi, masih nggak nyangka ternyata saya begitu rindu dengan rumah. Mungkin memang benar, bahwa saya butuh pergi untuk selalu mengerti apa itu kembali ke rumah. Mungkin memang benar jika saya harus sering melakukan perjalanan untuk tahu seperti apa rindu untuk kembali pada zona nyaman.

Inginnya nggak masuk kerja, tapi inget masih punya tanggung jawab ehehehe. Dannnn hal yang menutup perjalanan ini semakin gembira adalah masuk kantor di hari Senin jam setengah 10. Tiap hari weh begituuuuu~~~

Untuk menutup seluruh kisah ini, saya hanya ingin mengingatkan kepada diri saya sendiri atau mungkin kepada orang-orang yang mau meluangkan membaca tulisan ini, bahwa we just need to stay away for a moment to get back home (Life Traveler, Windy A)


No comments

Post a Comment

© Hujan Mimpi
NA