Kok Bisa Kuat?



Kemarin ada sebuah pertanyaan yang mampir dari salah satu sahabat, “Kok bisa kuat banget sih? Caranya gimana?” 

Tentunya pertanyaan itu menjurus pada aktivitas yang saya lakukan selama ini. Yang pada akhirnya membuat saya tergerak untuk bercerita ke teman-teman semua. Anyway, terima kasih kamu karena kembali datang dengan pertanyaan yang membuat saya berkontemplasi dan jujur pada diri sendiri, sekali lagi.

Kami bersahabat sejak dipertemukan dalam kelas yang sama pada saat SMA. Dia adalah salah satu life support saya. Dia adalah seseorang yang tahu salah satu kisah terburuk di hidup saya. Oke, kembali dengan pertanyaannya tadi. Reaksi pertama saya ketika dia bertanya itu adalah tersenyum sekaligus berkaca-kaca. Kenapa? Jadi begini, saya akan sedikit membahas tentang kehidupan persekolahan saya. Anggap saja sedang mengenang, bukan menggenang ya hehe. 

Long story short, kebetulan ketika kelas 3 SD, saya pindah ke Yogyakarta. Di benak saya pertamanya adalah kehidupan baru yang lebih baik sedang berada di depan mata. It was fun, in my dream of course. Sampai kemudian saya bertemu dengan keadaan yang membuat saya berpikir, bagaimana cara saya beradaptasi dengan lingkungan yang baru? Bagaimana saya memahami bahasa daerah baru yang juga menjadi mata pelajaran di sekolah itu? Bahasa daerah yang benar-benar asing. Karena dulu di Jakarta bahasa daerah yang dipelajari adalah bahasa Sunda.

Sejak SD saya senang berteman dengan siapa saja, bergabung dengan siapa pun, bahkan menolak untuk diantar jemput dan memilih untuk naik sepeda. Karena dengan begitu saya merasa akan menjadi cepat untuk bisa beradaptasi. Tapi entah kenapa, mungkin juga karena saya murid pindahan, di SD itulah saya justru menjadi korban bullying.

Dikucilkan ketika jam pelajaran olahraga, berkali-kali disindir ketika tidak ada guru, bahkan hingga sepeda saya pun ikut dirusak dengan tanpa alasan. Waktu itu, apa yang bisa saya lakukan selain menangis? Tidak ada. Karena, saya dibesarkan dengan ajaran untuk tidak membalas perbuatan jahat seseorang dengan perbuatan jahat juga. Dengan kata lain, menerima dengan ikhlas setiap perlakuan mereka adalah hal yang saya jalani bertahun-tahun hingga lulus.

Kehidupan SMP saya berlangsung berbeda, ketika saya memberanikan diri memilih sekolah yang tidak sama dengan pilihan teman-teman SD saya. Sewaktu SMP itulah saya kenal beberapa sahabat yang sampai dengan detik ini, masih begitu sering saya repotkan ketika berkunjung ke Yogyakarta. Jika di SD saya lebih memilih untuk diam dan sibuk dengan kegiatan les di luar sekolah. Ketika SMP saya justru lebih ekspresif dan betah menghabiskan waktu untuk mengikuti kegiatan di sekolah, seperti pramuka, kemah, paskibra, hingga mc-ing acara-acara keagamaan di sekolah. Hal yang begitu berbeda jauh dengan pengalaman SD saya.

Pun begitu juga ketika saya akhirnya kembali pindah ke Jakarta saat SMA. Saya betul-betul kembali harus beradaptasi. Saya ingat sekali, pertama kali datang ke sekolah sebelum MOPDB itu saya menggunakan angkot karena kebetulan hujan. Waktu itu saya telat, belum lagi saya harus terpleset di koridor karena lantai yang licin, ditambah saya juga kebingungan mencari kelas. Karena ya itu tadi yang saya bilang, saya kembali harus beradaptasi. Tidak punya teman sama sekali, tidak kenal siapa pun, dan benar-benar sendirian. Oleh sebab itulah saya akhirnya merasa perlu untuk ikut kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler. Kenapa? Di pikiran saya hanyalah agar kejadian sewaktu SD tidak terulang lagi. Trauma? Mungkin iya.

Ikut OSIS buat saya adalah sesuatu hal berharga di hidup. Saya jadi lebih bebas untuk mengeluarkan pendapat (saya ini cerewet fyi hehe), saya bisa kenal dan dekat dengan lebih banyak stake holder di sekolah maupun di sekolah lain (zaman-zaman ketika mengisi penyuluhan HIV/AIDS di sekolah lain, that was funnnn!).

Mungkin saya sudah pernah bilang di postingan saya dulu, kontur rahang wajah saya ini tegas. Efeknya ya saya jadi terlihat jutek. Mungkin itu yang bikin kakak kelas saya akhirnya tidak suka dengan saya, yang katanya sok dekat dan kenal sama ini itu. Hingga akhirnya saya lagi-lagi di-bully.

Terlebih ketika saya harus orasi sebagai salah satu kandidat ketos. Di flyer foto saya begitu banyak coretan dan hinaan bagi saya. Motif orang tersebut sebetulnya hanyalah alasan pribadi, yang bisa dikatakan ‘menga-ada’ (udah kayak sinetron memang wk). Tapi yaaa, itulah hidup saya yang tidak pernah bisa dibilang sepenuhnya bahagia dan sempurna, seperti yang mungkin saat ini teman-teman lihat di media sosial saya.

Maka, berangkat dari situlah mungkin secara tidak sadar kepribadian saya terbentuk. Sampai dengan yang melekat di mata orang-orang yang mengenal saya saat ini adalah, i’m an independent woman, saya pelit sama diri sendiri, saya terlalu banyak mikir, saya terlalu struktural dan semuanya berdasarkan perencanaan. Saya tidak bisa langsung menelan sesuatu secara bulat dan utuh, saya pemilih, dan saya terlalu berusaha untuk bisa mengerjakan semua hal dengan sempurna. Hingga pada akhirnya membuat beberapa orang merasa tidak cukup yakin untuk berkenalan dan cukup dekat dengan saya. Jadi buat yang sampai detik ini bertahan di dekat saya, sungguh, saya beruntung punya kalian dan terima kasih atas kerelaannya mengenal saya lebih jauh!

Kepanjangan ya curhatnya hehe, oke kembali ke pertanyaan sahabat saya tadi, bagaimana saya bisa kuat? Saya rasa, pengalaman hiduplah yang akhirnya membuat saya bisa sekuat ini. Begitu banyak hal yang terjadi membuat saya ditempa oleh semesta, hingga kemudian mau tidak mau, siap tidak siap, saya memang hanya harus kuat. Karena ya pilihan yang tersedia hanya itu.

Sejujurnya saya punya satu alasan besar yang membuat saya selalu bisa kembali semangat menjalani sesuatu, meski lelah dan keluhan itu ada di diri saya. Namanya manusia hidup, merasakan lelah dan berkeluh wajar, kan? Hmmm…. Apa dan siapa? Mungkin saya akan mengutip apa yang saya katakan pada sahabat saya itu, “Kalau bukan saya, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau mudanya aja masih leha-leha dan nggak mau capek-capek, nanti tuanya mau kayak apa?”

You only live once, itu mungkin pegangan hidup saya sampai detik ini. Apakah saya pernah iri sama hidup orang lain? Pernah, tentu saja. Apakah saya ingin juga bisa ini itu, ke sana ke sini, capai cita-cita A-Z seperti orang lain? Oh ya jelas, pastinya begitu. Tapi saya, sudah sampai di titik di mana saya akan kembali bertanya ke diri sendiri. Apakah saya mau untuk tetap menjadi orang-orang yang iri itu atau saya bergerak melakukan perubahan untuk diri saya? Apakah saya lagi-lagi harus merendahkan diri saya dan mengucilkan diri saya, serta melabeli bahwa saya ini bukan siapa-siapa dan tidak bisa menjadi apa-apa? Oh tentunya, tidak!

Mungkin saya tidak bisa berbuat banyak untuk orang lain. Mungkin saya belum mampu ke sana ke sini seperti teman-teman saya. Mungkin saya juga belum bisa untuk ini itu seperti kebanyakan orang. Tapi di benak saya kini tertanam, "Semoga saya bisa berguna setidaknya untuk diri sendiri, keluarga dan mereka yang percaya pada saya."

Setidaknya, saya bisa membuat mereka bangga dengan kontribusi positif dan kontribusi kecil dari saya ini. Setidaknya, saya tidak perlu mengakhiri hidup saya dengan membunuh mimpi orang lain atau mengkhianati mimpi orang lain. Setidaknya, saya tidak melupakan bantuan dari orang-orang, yang sampai detik ini bisa membuat saya berdiri tegak dan berada di podium kehidupan seperti sekarang. 

Justru jika mungkin, kenapa bukan saya yang menjembatani dan membantu mimpi orang lain? Hanya itu yang sekarang menjadi alasan saya ingin tetap berjuang dan bergerak dalam banyak hal yang semoga membaikkan dan menguatkan.

Di sini, sekarang dan saat ini, saya membagikan kisah ini bukan tanpa tujuan. Alasan saya membagikan ini adalah sebagai proses penerimaan diri saya sendiri tentunya. Dan juga untuk mengingatkan teman-teman semua bahwa yang bisa membuat diri kita kuat dan bertahan itu pilihannya adalah diri sendiri. Lingkungan berpengaruh memang, namun dengan lingkungan yang sudah kita pilih untuk bisa menyokongnya. Bukan dengan mendengarkan lingkungan yang terus-terusan menjatuhkan.

Everything has changed. Semua kehidupan saya berangsur membaik, entah itu dari keluarga pun dari lingkungan pertemanan. Look at me now, i survived! Dan saya percaya, teman-teman juga bisa survive seperti saya, bahkan lebih. Karena saya tahu, dan saya percaya, jika saya bisa, kamu juga bisa!


1 comment

© Hujan Mimpi
NA