Kembali Pulang!




Selamat kembali!

Iya, sebuah sapaan yang saya berikan bukan untuk siapa pun, melainkan untuk diri saya sendiri. Yang sudah sebegitu baiknya sanggup melewati malam-malam terberat, bahkan paling berat dari semua pikiran yang membelenggu. Malam di mana semuanya seakan diambil paksa, lalu menghilang begitu saja, dan perlahan-lahan melumpuhkan logika serta melupakan mereka-mereka yang percaya.

Sudah tahu ya berarti kenapa saya sempat menghilang sejenak? Semoga jawaban tersiratnya membantu. Tak apa jika kemudian ingin berspekulasi, namun setidaknya saya sudah sanggup jujur pada diri sendiri. Hal yang susah itu jujur dengan diri sendiri, kan? Well, terlalu singkat tapi ya menghilangnya, tapi buat saya itu satu-satunya waktu terlama dan terpanjang yang tak ingin saya rasakan lagi. 

But, lupakan saja tentang itu dan mari kembali pada niat saya menuliskan ini; yaitu untuk melepaskan dan sudah sepenuhnya menerima segala perasaan yang sempat ada, telah berlalu dan sekarang saya tahu keberadaannya. Jadi, ini akan menjadi surat sekaligus tulisan paling emosional yang pernah kalian baca, maybe.

Saya diam lama termenung memikirkan apa itu sebenarnya cinta dan rasa sayang. Apakah perasaan yang begitu mendalam bisa melumpuhkan sekaligus mematikan? Apakah perasaan ada untuk kemudian menghancurkan—entah orang lain dan yang terpenting diri sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu tak terjawab lugas dari mulut seseorang, melainkan dari diri sendiri yang kemudian menyentak kesadaran saya secara perlahan.

Saya ini tidak pernah bisa berbohong pada siapa pun, terlebih pada mereka yang mengenal saya lebih daripada saya mengenal diri sendiri. Sekuat apa pun saya tunjukkan bahwa saya baik-baik saja, sekeras apa pun saya berteriak saya baik, itu tidak akan menutupi apa pun yang saya rasakan. Dan terima kasih, karena sudah mau untuk mengerti keadaan saya yang amat sulit terbuka, I owe you!

Tak jarang saya berbohong untuk menyamarkan sakit yang saya rasa, untuk menutupi luka yang saya pendam. Tapi satu yang saya pahami kemarin malam, bukan mereka yang saya bohongi, tapi diri saya sendiri yang saya tipu habis-habisan. Hingga ia mengerang dan menyatakan ketidaksanggupannya untuk terus terlihat baik-baik saja padahal tidak. 

Long story short, saya sadar bahwa saya seringkali menyayangi seseorang hingga sebegitunya. Tanpa perlu mereka tahu apa yang saya rasa, tanpa perlu tahu apa saja yang saya lakukan untuk membuat mereka tersenyum. Saya merasa begitu cukup ketika bisa melihat mereka tersenyum dan merasa baik. Hal yang saya kira akan bisa terus membuat saya merasa bahagia.

Bertahun-tahun saya terbiasa seperti itu. Hal yang ternyata tanpa saya sadari menciptakan ekspektasi diam-diam untuk dihargai hadirnya kemudian. Hal yang ternyata menciptakan harapan agar tak dilukai dengan tangan mereka yang pernah saya jabat erat, bahkan saya bantu berjalan di tengah kegelapan yang ternyata hidup saya pun tak seterang itu.

Dari dulu saya hanya meyakini, berbuat baik harus pada siapa pun, tak menuntut balasan, tidak setengah-setengah agar bisa setulus dan seikhlas mungkin. Saya mampu merasakannya bertahun-tahun, saya bangkit menjadi saya yang sebahagia itu membantu seseorang untuk mengenal kesempatannya dan dunia di luar sana. Saya tidak ingin, apa yang pernah saya rasakan juga dirasakan oleh orang lain, padahal mereka memiliki kesempatan untuk mengubahnya. Sama seperti saya dulu, saat Tuhan yang memberikan kesempatan-Nya pada saya untuk mengubah apa yang bisa saya ubah bagi diri saya saat ini.

Hingga suatu waktu, keyakinan saya dipatahkan oleh perasaan sayang saya. Tanpa sadar, saya telah rela mengorbankan diri dan apa pun yang saya miliki hanya agar seseorang itu bahagia dan keluar dari kegelapan malamnya. Saat di mana ia membagi semua ceritanya pada saya, saat itu pula i really know I do fallin’.

Saya tidak menyesali apa pun saat ini. Saya hanya sempat kecewa dan menyesal, kenapa harus ia yang menusukkan pisaunya pada saya. Kenapa harus ia yang melukai semua rasa percaya saya dengan sederet sikap dan perlakuannya di belakang saya. Setidak menyangka itu saya akan dijatuhkan, dijelekkan, didorong bahkan dibuat tak baik di mata orang lain lewat semua ucapan dan persepsinya atas saya.

Padahal, ia yang saya kenal baik—bahkan nampaknya teramat baik yaa—tahu betul seperti apa saya dan bagaimana saya. Di saat itu, saya merasa dunia seolah sedang menampar saya dengan kencang, menenggelamkan saya di palung paling dalam sebuah rasa sakit dan kecewa. Sebuah pengalaman panjang yang menambah luka baru di atas luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Namun kemudian malam kemarin tepatnya, saya introspeksi diri karena tidak ingin untuk terus menerus seperti ini. Tidak ingin terus dilingkupi dengan keinginan untuk mengakhiri apa pun yang tidak pernah salah. Tidak ada orang lain yang bisa membantu, selain diri saya sendiri yang mengakuinya. Tidak ada orang lain yang akan ulurkan tangan, jika saya sendiri memang sekeras kepala itu menyangkal dan tak bersedia dibantu.

Sudah, cukup. Saya akhirnya mengakui bahwa bukan hanya ia yang salah, saya pun punya andil untuk menjadi salah. Pertama, karena saya mengizinkan ia untuk mengobrak-abrik pertahanan diri saya. Kedua, sayalah yang memulai semua perasaan itu dan menciptakan ekspektasi itu; lagi-lagi tentang harapan untuk tidak disakiti oleh orang yang saya coba berikan senyuman dunia. Serta sederet alasan lainnya yang cukup saya simpan sendiri.

Pagi ini, saya merasa begitu penuh karena telah kembali dari rasanya kehilangan diri. Hal yang paling menakutkan itu kehilangan diri sendiri, bukan? Saya merasa se-senang itu karena pada akhirnya menemukan apa maksud dan tujuan Tuhan atas apa yang tengah terjadi pada saya.

Jadi, untuk siapa pun yang sudah mengenalkan saya dengan rasa cinta yang baru. Yang darinya saya juga mengenal rasa sakit, kecewa, dikhianati, perjuangan, dan sederet rasa lainnya. Terima kasih tidak memperlakukan saya seperti siapa pun yang pernah diperlakukan sebelumnya. Terima kasih karena sudah membiarkan saya terjatuh, terpuruk, bahkan kembali mengenali diri saya sendiri, sekali lagi.

Terima kasih terbesar saya juga untuk semua yang masih begitu erat memeluk saya, saat mereka tahu seperti apa hari kelam saya. Terima kasih atas semua cacian, makian, rutukan, pujian dan segala rasa yang dikenalkan pada saya. Terima kasih tetap bersedia ada dan membersamai, terima kasih karena sudah menjadi seperti itu. Saya berhutang sepenuh hidup dan napas saya pada kalian!

Dan meski saya sempat berpikir akan trauma berbuat kebaikan. Saya akhirnya berjanji. Saya takkan pernah berhenti menebar kebaikan. Saya takkan berhenti mengenalkan orang-orang di dekat saya, pada kesempatan untuk berani melihat sinar di dirinya. Saya takkan berhenti melakukan apa pun yang baik, yang telah saya perjuangkan selama ini.

Tapi saya berhenti, berhenti untuk kemudian bertanya pada Tuhan dan semesta-Nya, mengapa saya yang Ia pilih untuk merasakan sakit atau bersikap baik pada orang lain? Mengapa saya yang kemudian dihadapkan pada suatu keadaan yang tak baik? Mengapa harus saya yang sebegininya dikecewakan oleh seseorang itu? Saya berhenti berbohong pada diri saya sendiri. Saya berhenti seolah baik padahal saya tahu tidak betul-betul sedang dalam keadaan baik.

Saya berhenti, karena sekarang saya tahu, Tuhan titipkan tugas itu untuk saya. Tuhan inginkan saya menjadi seseorang yang seperti itu dan akan tetap seperti itu. Saya kembali, dan saya akan tetap menebar kebaikan dan membuka jalan kebaikan—selama masih terus ada kesempatan—untuk siapa pun yang telah sebegitu baiknya hadir di lintasan hidup saya!

Satu pesan saya sebelum tulisan ini berakhir. “Bukan orang lain yang punya kuasa atas hidup, mimpi dan pilihanmu. Karena dirimu sendirilah yang punya kuasa itu. So, if you think they do, then they don’t really do anything. It’s you, allow them to change you and make you down in that situation. Just wake up, stand up for yourself, not for others. Masa lalu tidak akan pernah bisa diubah, seburuk apa pun, sehina apa pun, masa lalu akan tetap ada dan menjadi bagian dari dirimu dan membentuk kamu saat ini. Tapi masa depan, masih bisa diubah dengan bagaimana kamu menentukan lajunya sekarang.”


No comments

Post a Comment

© Hujan Mimpi
NA