Jujur tapi Belajar untuk Memilih Apa yang Diucap



Well, saya sudah jarang rasanya kembali menulis di sini. Tapi saat ini saya merasa butuh sekali untuk menuliskannya. Semoga tulisannya tidak terlalu panjang sekaligus bisa menjadi pengingat untuk diri saya.

Pepatah bijak dan lama berkata, lebih baik diam daripada menyakiti, lebih baik tak usah berkomentar jika tak membantu sama sekali.

Awalnya saya sempat setuju, tapi kemudian kejadian pagi tadi membuat saya merasa hal sebaliknya. Bahwa diam tak selamanya menyelesaikan masalah dan mencegah hal itu terulang lagi.
Karena bagaimana pun, manusia itu sebenarnya suka sekali untuk didengar makanya banyak sekali komentar yang akan terlontar ketika melihat atau mendengar sesuatu. Jadi, daripada diam karena enggan menyakiti pun takut hanya memperparah keadaan, bukankah lebih baik kita belajar untuk lebih memilih apa yang sepantasnya diucapkan dan juga tidak? Maaf jika saya salah~

Pagi tadi, saya melihat stories salah satu sahabat baik, tersebutlah X namanya. Tulisan ini pun bukan berarti saya sedang membelanya karena dia adalah sahabat baik. Saya menulis karena saya peduli pada lingkungan terdekat saya. Bukankah perubahan dan kepedulian harus dimulai dari yang lebih dekat dulu? Jangan terlalu jauh berpikir ABCDZ tapi melupakan yang terderkat, mari diingat. Saya menulis ini karena saya peduli dengan mereka yang sedang dan masih berusaha menjaga mimpinya tetap hidup.

Jadi begini, ada sebuah DM yang masuk padanya, isinya adalah ‘mengoreksi’ tulisan tangannya yang di tengah-tengah kata tersemat huruf kapital. Orang ini menyebut si X ini kemudian dengan alay. Reaksi pertama saya membaca hal itu justru sedih sekaligus terkejut. Kenapa?

Pertama, saya dan si X kenal dan berteman baik dengan orang tersebut. Kedua, saya menyayangkan kenapa masih banyak sekali orang-orang yang gampang melontarkan sesuatu hal yang tidak dipikirkan akibat jangka panjangnya? Apalagi berbicara hal itu pada orang yang dia tidak kenal sama sekali, pun dengan orang terdekatnya juga.

C’mon people, saya tahu banyak yang bilang sahabat atau teman yang baik adalah yang tidak sugarcoating ketika mengoreksi kita salah dalam melakukan sesuatu. Tapi saya rasa, mengoreksi juga tidak seharusnya dengan sesuatu yang terlalu jujur. Saya sepakat jika manusia harus jujur, toh itu prinsip pertama kehidupan. Tapi, belajar untuk menjadi tidak hanya menjadi jujur saja, saya rasa juga perlu. Belajar untuk lebih empati, belajar untuk lebih dari sekadar peduli dan belajar untuk semakin peka.


Karena kadang, kejujuran bisa sekali menyenangkan bahkan melukai. Sudah seperti dua sisi mata uang yang berlainan bukan?

Gini, saya percaya bahwa yang bisa mematikan dan terus menghidupkan mimpi kita adalah diri sendiri. Tapi orang terdekat juga bisa menjadi alasan apakah kita mampu untuk terus bertahan menghidupkan mimpi itu.

Saya sedih dengan DM yang masuk tersebut karena begini, coba kita bicara akibat jangka panjangnya. Bagaimana jika kita menjadi si X? Bagaimana kira-kira perasaannya setelah membaca itu? Bagaimana jika awal lahir karya-karyanya adalah dari tulisan tangan? Bagaimana jika kemudian dia malas untuk menulis lagi? Bagaimana jika karyanya itu adalah mimpi yang selama ini coba dia tetap jaga? Bagaimana jika setelah membaca kritikan ‘becanda’ dari kita ia menjadi malas untuk menulis lagi? Bagaimana jika selama ini ternyata, menulis adalah satu-satunya caranya untuk membahagiakan diri sendiri?

Saya berbicara cukup jauh mungkin, tapi pernahkah kita berusaha untuk jauh memikirkan konsekuensi setiap ucapan sebelum melontarkannya? Batas toleransi sakit hati manusia itu beda-beda. Kita, saya, kamu, tidak pernah ada yang sama, maka kita tidak bisa menyamaratakannya dengan diri sendiri. Yang bagi kita hanya becandaan, belum tentu dimaknai sebagai candaan pula untuk orang lain. Terlebih kita tidak tahu apa aktivitas yang seharian sudah dilaluinya. Jika sedang tak dalam kondisi yang baik, maka komentar kita yang hanya becandaan itu justru bisa diterima jadi pemicu besar untuknya semakin merasa tak lagi berguna jadi manusia.

Self-love itu wajib, tapi tidak pernah mudah, Kawan. Biarpun ada seribu orang di luar sana yang memuji dirimu, dan hanya satu dua yang menjatuhkan, jika kita sendiri belum sepenuhnya mencintai diri sendiri. Yang akan kita dengar justru si satu dua yang menjatuhkan tadi. Proses accepting segala kekurangan dan kelebihan diri itu nggak pernah mudah.

Tapi saya percaya, kita selalu belajar bersyukur menerima semua titipan Tuhan. Oleh karenanya, kebebasan bersuara bukan tidak boleh, tapi memilah mana yang perlu diucapkan mana yang tidak adalah keharusan. Menjadi dekat bukan berarti tak ada sekat, karena sebenarnya sekat itulah penjaga, bahwa selalu ada batasan yang harus kita jaga. Karena yang paling sanggup menghancurkan dan melukai selain diri sendiri adalah orang terdekatmu.

Saya juga masih harus terus menerus belajar tentang ini. Tentang berkata jujur namun juga belajar untuk bisa peduli, berempati dan memikirkan orang lain. Tentang lebih baik bersuara daripada hanya diam, namun dalam koridor yang tidak menyakiti siapa-siapa dan memikirkan dampak jauhnya. Bisa bersuara adalah hal baik, tapi bisa memilah suara adalah yang paling baik.

Semangat bertumbuh dalam kebaikan dan saling menguatkan!



2 comments

© Hujan Mimpi
NA