Al Fine. [ episode pertama ]

track 0: 8 letters
2022 dan kehilangan

 

Jika saya boleh berkata bahwa hidup adalah tentang datang dan pergi. Maka perasaan yang meliputinya juga soal senang dan sedih, bukan? Dan sejak awal hidup, sejak orangtua saya tak pernah ada di rumah untuk ajarkan banyak hal yang kata banyak orang adalah template, saya sudah persiapkan semua itu sedari pertama.


credit

Untuk semua kedatangan, saya selalu bersiap untuk kemudian kehilangan. Untuk semua kepergian, saya selalu bersiap untuk rebahkan senyum di antara pertemuan yang kembali berulang. Tidak hanya pada manusia, juga pada hal-hal yang akhirnya hilang; benda juga kenangan.

Dan mungkin, itu juga yang menjadi alasan saya tetap seperti sekarang ini.

Tetap tertawa, meski kemarin malam ada beberapa bening di ujung pelupuk mata yang butuh pelukan. Tetap bercengkrama, meski seharusnya tatapan sekosong harapan yang sudah habis dihancurkan. Tetap tersenyum, walau katanya amarah adalah satu kesatuan di antara pecah dan juga kata meninggalkan.

Saya tetaplah Rasi yang seperti sebelumnya dikenali.

Terbiasa untuk diam, hanya supaya tak merepotkan. Terbiasa untuk tak mengatakan apa pun, hanya untuk biarkan orang lain tak juga rasa sesak khawatir. Terbiasa untuk simpan semuanya sendiri, sebab memang tak ada yang bisa diajak berbagi.

Andai hidup punya satu kartu kesempatan untuk lihat masa depan. Mungkin saya takkan pernah gunakannya untuk lihat cinta habis menjadi abu bernama pahit kenangan. Mungkin, saya hanya akan gunakannya untuk pastikan hari esok saya punya kesempatan bernapas dengan tenang. Dan bila ternyata itu tak ada, lagi-lagi saya hanya harus siapkan kata ‘tak apa’ untuk pemakluman yang tak boleh bertepi.

Buat saya, hidup selaiknya gelas-gelas kosong yang saat ini sedang saya tuangkan air dingin juga beberapa sendok sirup lemon.

Menyegarkan untuk diteguk mereka yang haus oleh penatnya hidup. Terlalu masam untuk mereka yang terbiasa jadi juara di pahitnya kenyataan. Dan terlalu mengagetkan untuk mereka yang pandai dijamu manisnya dunia.

Di kepala saya, beberapa lagu yang suarakan duka terus bergema. Tapi sayangnya, airmata tak jua mau rasakan indahnya jatuh. Ia lebih memilih bertahan di balik dua kelopak mata yang menghitam, sebab kantuk juga terpaksa pergi seiring dengan pertanyaan yang datang dan pergi tanpa jawaban.

“Ras, sarapan besok bikin bareng aku, ya?!”

Lamunan saya berhenti sejenak untuk sambut seseorang yang ambil nampan berisi gelas-gelas minuman. Saya tersenyum melihatnya. “Iya,” jawab saya singkat sebelum ia mengacungkan kedua ibu jarinya, lalu beranjak meninggalkan.

“Ras,” ia kembali memanggil saya. Tubuhnya yang berdiri tegap, tepat di antara tembok yang memisahkan dapur dan juga ruang paling ramai diisi teriakan karib kami yang bersenda gurau. Ia tak kedipkan matanya sedikit pun. Ia tatap saya dengan mata cokelatnya yang pancarkan pengertian, “Ada aku.”

Saya diam. Tak merespon apa-apa pada ucapannya. Saya hanya diam dan menatap lelaki yang sejak awal paling tahu lemah yang diemban pundak paling rapuh. Ia tersenyum dan tampilkan lesung pipinya. Satu anggukan saya berikan untuk biarkan khawatir tak peluknya lebih jauh. Alis tebalnya bertaut, “Ada aku, Ras.”

Sekali lagi ia ucapkan satu kalimat itu, lalu berlalu meninggalkan saya sendirian. Satu kalimat yang entah harus saya anggap betul atau sekadar angin lalu. Satu kalimat yang katanya bisa menenangkan, tapi bagi saya justru bawa banyak perasaan tak tenang. Karena, apa lagi yang bisa saya harapkan dari gagal yang kini harus dihadapi?

Andai boleh jujur, saya jadi ragu untuk percaya; pada cinta yang katanya bisa dimenangkan ketika doa baik dirajut. Sebab nyatanya, ikhlas lagi-lagi jadi satu hal yang kembali digaungkan, meski harap sudah dijatuhkan.

Apa lagi yang bisa dilawan, jika restu didapat, namun jiwa tak selaras temui kata sepakat? Haruskah saya dan dia menyesali semuanya? Tentu tidak, ‘kan? Lantas bergantung pada takdir mana lagi saya setelah ini? Berlari ke mana lagi saya sesudah ini? Karena nyatanya kembali saya tak mungkin, bahkan melangkah ke depan saya juga ketakutan.

Denting pesan masuk di ponsel membuat saya merogoh kantong belakang celana.

Satu pesan datang dari ia yang telah lama saya harapkan untuk bersamai hari di masa depan.

Bisa kita ketemu?


© Hujan Mimpi
NA