Januari Berisik


Sudah berada di penghujung bulan Januari--eh sisa sehari lagi deh--dan rasanya tidak berasa (?) Naon sih, Bell -.-"

Taulah ya pasti maksud saya itu apa?! Intinya mah, Januari berlalu dengan begitu cepat sampai-sampai saya lupa kemarin sudah melakukan hal apa saja. Untungnya sih, mulai membiasakan diri untuk mengabadikan hal-hal itu di Twitter. Meski ya tetap aja kadang mangkir-mangkir juga buat ditulis karena ketiduran. Sebegitunya kekurangan waktu tidur banget Bella tuh :(

Mungkin kalau diibaratkan lagu, Januari itu kayak 'Thank You, Next'-nya Ariana Grande. Di bulan ini saya banyak dapat pengalaman yang menciptakan beragam rasa. Senang iya, sedih iya, kecewa iya, pusing-pusing juga iya. Tapi semua rasa itu akhirnya membentuk pelajaran yang nggak akan pernah saya sesali.

Saya betul-betul merasa Januari itu kayak lari estafet. Selesai satu, satunya lagi  sudah menunggu, bisa napas tenang saja rasanya sudah bahagia. Terus gimana dengan waktu istirahat? Hmm jangan harap banyak waktu. Entah benar atau tidak, tapi buat saya rasanya itu seperti sedang dikejar waktu, atau malah saya yang mengejarnya? 

Jika diingat lagi, sungguhlah bulan Januari menyita semua hari Minggu saya dengan kegiatan di luar rumah. Bahkan di hari-hari biasa pun, kegiatan saya selain di kantor dan di rumah juga masih ada. Nggak jarang, sampai rumah itu sekitar pukul 9 atau 10. Sampai kadang saya bertanya-tanya, "Ini serius gue kerjain sendiri? Serius harus kelar hari ini?"

Januari awal saya penuh dengan deadline yang berkaitan dengan si buku baru yang sebentar lagi akan mengudara. Di minggu kedua dan ketiga Januari, ada beberapa tawaran baik yang menarik untuk diiyakan, meski setelahnya baru mikir, "Dih orang gila, sekarang aja udah jarang tidur, itu semua diiyain mau nggak tidur-tidur apa gimana lo?"

Saya ingin cerita tentang tawaran-tawaran baik itu, tapi nanti saja, tunggu semuanya selesai baru pelan-pelan kembali dibagikan. Jadi marilah kita cari topik lain semisal Stefani Bella yang sedang belajar jadi manusia sesungguhnya. Berat yah, tapi kalau kata Kak Indi gitu.

Jadi di bulan ini saya bertemu dengan seorang kawan yang perjalanan untuk bisa mengenalnya itu sempit dan sebetulnya mutar-mutar aja. Oh ya anggap ini sebuah prestasi lain setelah Bella bisa nonton drama Korea. Karena sungguhlah, Bella itu nggak bisa ketemu stranger yang dijadwalkan. 

I mean gini, kalau ketemu orang asing di jalan, di kereta atau di tempat umum terus senyum dan sampai bisa saling ngobrol itu mah nggak masalah. Tapi kalau ketemu orang baru yang benar-benar baru, dengan janjian pula, Bella tuh jarang mau kecuali memang ada keperluan.

Misal, waktu dulu pertama ketemu penerbit, memang asing tapi tahu apa yang akan dibicarakan. Setidaknya nggak akan kehabisan topik pembicaraan. Setidaknya Bella tidak harus khawatir dan takut untuk berpikir hal yang sebetulnya semu.

Tapi kemarin, di awal tahun 2019 ini, akhirnya Bella melakukan hal itu dengan baik. Setidaknya cukup baik lah ya, meski saya tak tahu itu yang terbentuk di kepala si masnya tentang Bella kayak gimana. Ya bebas juga sih, kan yang penting bagaimana kita sebaik mungkin menilai orang lain, bukan sebaik apa akhirnya orang lain menilai kita. 

Oke, bicara tentang rasanya gimana? Wah jangan ditanya, susah, bingung, meski nggak sampai keringat dingin juga. Kalem, Bella tuh masih bisa sok cool ehehe. Awalnya saya kira akan krik-krik dan banyak hening, eh tapi dasarnya si Bella cerewet memang jadi aja semua dibicarain. Bahkan bisa untuk seterbuka itu bercerita tentang apa yang dulunya takut banget diceritain ke orang lain.

Sebenarnya sih, itu sebagai ajang uji coba juga, apakah saya pribadi sudah semenerima itu dengan diri dan masa lalu. Atau jangan-jangan semua yang saya tuliskan dan usahakan selama ini masih sebatas wacana. Bilang menerima diri padahal belum. Tapi Alhamdulillah, saya bisa menceritakan dengan baik tanpa harus berkaca-kaca, malah saya nggak sedikit menertawakan hal-hal tersebut.

Bagi saya, Januari ini punya banyak hal ajaib yang kalau saya ulang kembali di ingatan bikin senyum sekaligus menggeleng tak percaya. Ketemu banyak orang baru, melakukan hal yang saya kira tak mungkin, mengiyakan apa-apa yang kemarinnya saya pikir terlalu jauh, dan sederet hal ajaib lainnya.

Iya, Januari saya berisik, tapi saya bersyukur, punya begitu banyak orang yang melimpahi saya kebaikan meski rasanya badan sudah terseok dapat tekanan dan deadline dari mana-mana. Gapapa, semoga berkah dan semoga bisa jadi kebaikan yang kian membaikkan! :)

Dah ah, jangan lupa nabung, tanggal 5 Februari nanti saya akan buka pemesanan spesial untuk kamu yang selalu spesial menanti karya saya. Surprise? Love you!

nb: Bahaya laten kenal penulis itu semuanya bisa dijadiin konten, bhay! 

Kenapa? Ya karena postingan ini terinspirasi oleh mas-mas yang kemarin ngajak ketemu, terus udahannya malah ngasih tahu akan pergi lagi selama 3 bulan. Maaf maaf nih, jadi maksud ngajak ketemu tuh buat salam kenal apa salam ditinggal?

Better Late Than Never bersama Memories of the Alhambra [K-Drama Review]


Memories of The Alhambra adalah drama korea pertama yang aku ikutin selama masa penayangannya. Bukan marathon pas dramanya udah selesai, tapi benar-benar ikutin tiap minggunya. Gila, sebuah apresiasi luar biasa buat diri sendiri setelah akhirnya Bella bersedia nonton drama korea semenjak 2018 kemarin. 

Awalnya, selalu protes kalau dipaksa nonton drama korea yang panjangnya naudzubillah berepisode-episode. Belum lagi malas kalau harus nunggu-nunggu gitu per minggunya, tapi karena setting tempatnya Memories of The Alhambra ini di Granada, ya gila aja lo kalau Bella nggak tertarik mah. Apalagi sinematografinya, duh mari mengagumi keindahan dan keeksotisan Granada di malam hari~



Pun kebetulannya baru selesai mengerjakan naskah dan ingin memberikan hadiah untuk diri sendiri, maka mulailah menonton episode pertama Memories of The Alhambra. Walau di awal sempat bingung dengan Hyun Bin yang tiba-tiba udah K.O, tapi menjelang akhirnya malah hanya bisa melongo dan nggak sadar udah berakhir. 

Kayak ngerasa, "Wah gila sih, tadi itu gue nonton apaan? Kok keren? Jadi tadi itu teh game doang? Jadi, gimana lanjutannya lagi?" Se-excited itu karena akhirnya menemukan lagi tontonan yang bisa bikin kepala mikir. Karena kayaknya udah lama deh nggak nonton film yang seperti ini. Iya emang, Bella-nya aja yang kudet~




Kalau tadi tertarik buat nonton itu karena setting latarnya, tapi setelah lihat episode pertama sampai keempat tuh jadi makin banyak alasan kenapa pengin nonton. Pertama, karena nampaknya kisah romantis unyu-unyu berkya-kya itu akan jarang muncul. Kedua, mengusung genre fantasy dan yang dibahas tentang game AR pula.

Ketiga, menyadari bahwa ahjussi Hyun Bin punya lesung pipi yang tiada dua meski sudah berumur--eh ini abaikan saja haha. Keempat, akting pemainnya yang wah bikin geleng-geleng kepala. Kelima, plot twist di akhir episode yang bikin selalu bertanya-tanya dan akan terjebak dengan jawaban di next episode-nya. Dan juga sederet alasan lainnya yang bikin aku betah nonton sampai ke episode terakhirnya (re: episode 16)




Bicara tentang chemistry dua tokoh utama mah nggak usah diragukan lagi lah ya. Mereka ini nggak perlu banyak ketemu dalam satu scene, nggak perlu romantis ala-ala, bahkan skinship aja bisa dihitung. Tapiiii.... itu aja udah bikin pengin gigit-gigit bantal karena nyeri dan manis dalam satu moment. Kayak gimana kalau genre romantis yang diusung? Hhhhh, diabetes deh ah pasti!






Akting semua tokoh di film ini mah udah deh ya juara! Hyun Bin sama Park Shin Hye juga udahlah, jagoan! Tapi mungkin yang disayangkan adalah masih kurang strong aja untuk karakter lead female-nya di dalam cerita. Andai nih andai, andai doi ikut main dalam game juga seperti lead male-nya, mungkin akan lebih terasa ajib lagi. Karena, sungguhlah, akting PSH saat di episode terakhir sewaktu dia login game lagi itu, mantul sekali~~~


Belum lagi soal theme song. Duh, sebelas dua belas kayak A Star is Born, yang memang sebegitunya ciamik untuk menambah apik filmnya. Balik lagi ke alur cerita si Memories of The Alhambra. Ya namanya juga fantasy, yang nggak masuk akal bisa jadi mungkin. Yang udah diprediksi, bisa banget melesetnya. Sama kayak di ending, yang membuat orang-orang yang sudah merelakan waktunya nonton selama 2 bulan jadi kecewa.

Aku pribadi sih nggak ada masalah dengan endingnya--terlepas akan ada season 2 atau nggak. Karena buatku ya kalau memang udah sampai situ, ya udah cukup. Selain juga karena dari awal episode udah persiapan banget untuk endingnya yang ya udahlah ya terserah penulis skenarionya aja. Karena mau gamau, drakor udah terbiasa begitu, kan? Ini juga salah satu yang bikin gemes, kenapa mereka selalu bisa bikin drama yang keren sepanjang alur dan sejak awal, tapi endingnya selalu bikin ngerasa kurang. Syalalalalala, manusia mah emang suka ngeluh kurang terus ehehe~



Jadi mending gausah kasih ekspektasi tinggi-tinggi untuk ending Memories of The Alhambra. Selain juga karena, mau berharap sebesar apa sih sama genre fantasy? Beberapa west film pun banyak yang bikin cengo dan bingung untuk ending-nya. meski memang nggak semua, tapi cukuplah untuk akhirnya maklum dengan writer Nim yang agak anti mainstream dan doyan bikin penonton emosi hehe.

Kurun waktu 7 bulan untuk menghasilkan film seperti Memories of The Alhambra sih perlu banget untuk diapresiasi. Jadi kesampingkan dulu endingnya. Karena people seriously, film ini tuh overseas. Yang mana crew-nya beda-beda, dan pastinya banyak melibatkan orang serta pasti complicated selama pembuatannya.



Coba deh liat efek CGI dari film ini, wah gila sih bikin melongo dan ingin main juga. Bahkan gamenya sendiri bisa se-real time itu. So, asli nih, hanya gara-gara ending yang nggak sesuai keinginan dan ekspektasi tuh jadi membuat kita lupa sama keseluruhan cerita dan kerja kerasnya yang terlibat di Memories of The Alhambra? Bahkan sampai jadi Trending Topic, eh gapapa deng, itu berarti memang banyak menantikan drama ini.

Bagiku, semua karya itu nggak bisa sempurna, dan nggak semua karya bisa memenuhi keinginan setiap penikmatnya. Tapi buatku pribadi, dengan tidak melihat logika dan miss di beberapa episode Memories of The Alhambra aku masih ikhlas-ikhlas aja untuk kasih nilai 8,5/10.





Karena ya, drama ini berhasil bikin penasaran untuk nge-next episodenya terus-terusan. Dan itu berarti membuat Memories of The Alhambra layak untuk ditonton. Persis kayak kata-kata yang ada di ending

"Kepercayaan adalah keajaiban yang bisa mengubah dunia, bukan teknologi."


Percaya aja, kalau pun nggak ada season 2, berarti akhir Memories of The Alhambra ya memang cukup sampai di situ. Dan kalau ada season 2 itu berarti memang ada yang belum selesai dan masih harus dilanjut menurut kacamata si penulis skenario dan tim produksinya.

Dari Memories of The Alhambra ini juga kita akhirnya bisa belajar kalau better late than never, nggak sih? Mending disampaikan daripada sok unsaid, iya nggak? Haha. Kenapa? Nonton gih, biar tahu kenapanya! Oke, udahan segitu aja review ala-alanya. Sila nonton sendiri kalau penasaran, kenapa drama korea ini sukses bikin aku yang awalnya nggak tertarik menanti drama, eh ini jadi ketagihan setiap minggu. 

Dan btw, setelah menulis ini, entah kenapa logikaku jadi tercerai berai kalau flashback semua alur ceritanya. Happy weekend dan selamat menonton!


Workcation?! Di sini aja, gimana?



Ciat udah 2019 aja, gimana minggu awal tahunnya? Menyenangkan nggak? Kalau masih dirasa abu-abu, santai aja, hidup nggak melulu buram kok. Nikmati dan jalani, toh itu aja kan yang sebenarnya bisa kita lakukan sebelum akhirnya menerima, right?

Anyway, udah pada akrab kan ya pasti dengan kata staycation?

// stay.ca.tion // 
a vacation spent in one’s home country rather than abroad, or one spent at home and involving day trips to local attractions.




Singkatnya, konsep staycation menurut gue pribadi lebih ke menghabiskan waktu luang di hotel atau penginapan—mau dekat dari rumah atau jauh sekalipun ya bebas. Walau di luar negeri sana (kalau nggak salah), staycation termasuk dengan mengunjungi musem-museum dan lokal pariwisata di wilayah tempat tinggal kita. Nah, buat yang nggak punya cuti banyak, waktu libur pun nggak ada kecuali Sabtu-Minggu atau bahkan Minggu doang. Ini bisa jadi salah satu alternative menyenangkan buat rehat dan mengurai penat.

Dan karena itu pula, semakin ke sini semakin banyak pengusaha dan penggiat bisnis kuliner untuk memperindah dan mempernyaman tempatnya. Selain didesain biar instagram-able, mereka juga sering menyatukan kafe dengan ruang kreatif terbuka ditambah lagi dengan tersedianya tempat menginap. Meskipun selama ini kan kita udah sering lihat ya beberapa hotel berbintang dilengkapi dengan restoran dan lalalili lainnya. Tapi sekarang, penginapan-penginapan kelas menengah ke bawah pun mulai merambah ranah lucu-lucu gemay itu. Seperti halnya salah satu tempat di Bandung yang pernah gue kunjungi beberapa waktu lalu.

Santai, ini bukan lagi endorse kok (lagian siapa gue di-endorse beginian haih), ini tuh cuma lagi mau sok ala-ala aja ngulas salah satu tempat yang pernah gue kunjungi beberapa waktu lalu. Kalem ya, ini murni emang pengen belajar nulis hal lain selain naskah. (BTW SIAP-SIAP NABUNG BUAT BULAN DEPAN YA! XD)


Yap, Summerbird Bed and Brasserie

Letaknya kira-kira hanya 10-15 menit dengan jalan kaki dari Stasiun Bandung. Serius nih, karena waktu itu gue memang ke tempat ini jalan kaki. Dari Stasiun belok kiri, terus belok kanan, baru belok kiri lagi, dan sampailah di tempatnya. (Tuh asli masih hapal kan, orang deket banget)




Jangan dikira gue ke sini buat liburan ya. Ini aja foto-fotonya ada karena dari pagi ke malam gue nggak ke mana-mana. Benar-benar cuma di bawah, di tempat makannya aja. Mulai dari say hi sama penerbit, ngobrolin kepenulisan, bahas naskah, sampai ketemu dengan teman-teman. Itu kenapa, gue nyebutnya workcation!

Buat gue pribadi, tempat ini lebih dari sekadar menyenangkan buat dijadikan lokasi kerja sambil nenangin pikiran. Kenapa gitu?

1. Karena lokasinya dekat sama Bandar Udara dan Stasiun. Yang dikejar waktu lumayan kan tuh bisa nggak tua di jalan hanya untuk duduk-duduk cantik yet serius. 

2. Suasananya tenang, teduh, dan bikin betah ngelamun lama-lama. Meski pengunjung yang makan bukan cuma mereka yang menginap, tapi mereka nggak berisik. Ada juga yang pakai tempat ini untuk bridal shower malah. Kurangnya paling satu, lagunya itu-itu aja yang diputar, krayyy. Ah ya, workspacenya yang di lantai atas juga asyik. Syahdu~ 



 
3. Makanannya enak huhu. Untuk ukuran makan berat, kalian merogoh kocek 60ribu/orang juga udah kenyang banget. Karena porsinya besar banget sungguh. Nah, buat yang mau ngopi-ngopi cantik juga nggak perlu jual ginjal kok, harganya masih wajar.

4. Instagram-able! Bahkan, di sudut pojokan tangga aja bawaannya mau difoto. Dan, kalau kalian naik mobil terus parkirnya di bagian dalam, pastiin lihat ke atas. Karena, kalian akan langsung keingat sama Greenhost Boutique di Jogja.


5. Selain interior desainnya yang unik, pelayanannya juga ramah pun kebersihan di tiap kamarnya udah bisa banget bikin senyum bahagia dan lelah jadi hilang.

Jadi, untuk yang cari rate penginapan di bawah 500ribu dengan tempat yang nyaman pun fleksibel untuk ke mana-mana, langsung aja bisa ke sini. Lokasi persisnya di Cicendo (terdeteksi kok di maps, tenang hehe) Mau mengerjakan pekerjaan tapi nggak kayak lagi kerja? Mau cari tempat yang atmosfernya nggak bikin under-pressure, tapi bosen ke kafe atau tempat kopi warna ijo? Atau mau ketemuan sama kolega, tapi waktu yang dimiliki singkat dan males buang-buang waktu untuk bolak-balik tempat nginap? Ya udah coba ke sini aja sesekali, dijamin ketagihan!


Anyway, maaf ya nggak ada foto kamarnya, karena emang ke kamar cuma numpang mandi dan tidur sekejap doang haha. Tapi cari di Traveloka atau Google juga tersedia kok, dan yang pasti tema tiap kamar katanya beda-beda. Plussssss, tulisan di tiap pintu kamarnya tuh wah banget pokoknya HAHAHA.



© Hujan Mimpi
NA